expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

01/02/2021

TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA



Hidayatullah.com | HASIL Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama yang dilakukan Kementerian Agama pada tahun 2015 menunjukkan rata-rata nasional kerukunan umat beragama berada pada poin 75,36 dalam rentang 0-100. Adapun tiga daerah dengan kerukunan agama tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (83,3 persen), Bali (81,6 persen) dan Maluku (81,3 persen). Hal tersebut secara akademik cukup bisa menepis tuduhan sementara orang yang menyatakan bahwa praktik intoleransi di Indonesia masih tinggi.

Namun di sisi lain ada pertanyaan menggelitik ketika hasil suvei menempatkan NTT dan Bali sebagai provinsi dengan indeks kerukunannya paling tinggi. Padahal jika yang jadi ukurannya adalah soal pendirian rumah ibadat, kenyataannya bagi kalangan muslim yang tinggal di Bali  tidak mudah mendirikan masjid atau mushalla. Di Bali selain diberlakukan PBM No. 9 dan 8 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, juga terdapat Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2006.

Dalam Pasal (2) Peraturan Gubernur Propinsi Bali tersebut dinyatakan bahwa pendirian rumah ibadat dipersyaratkan antara lain: adanya persetujuan Kepala Lingkungan, Dusun/Banjar Dinas dan Banjar Adat/Pakraman, Kepala Desa Pakraman, serta daftar pengguna rumah ibadat -yang akan didirikan- sebanyak 100 Kepala Keluarga (KK) yang dibuktikan dengan copi Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai penduduk tetap di wilayah yang akan dibangun rumah ibadat tersebut. Peraturan Gubernur Bali ini lebih ketat dalam memberikan persyaratannya dari PBM, sehingga tidak mudah mendirikan rumah ibadat bagi umat Islam di Bali.

Fenomena yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak jauh berbeda dengan di Bali, pendirian masjid juga tidak mudah. Demikian juga di provinsi dengan Muslim minoritas lainnya seperti Papua dan Sulawesi Utara. Karena harus memenuhi persaratan PBM yaitu didukung oleh 90 orang calon jama’ah yang dibuktikan dengan KTP, dan disetujui oleh 60 orang non jama’ah. Dalam bebeberapa kesempatan pertemuan nasional yang diselenggarakan oleh MUI pusat, kawan-kawan penulis yang datang dari daerah muslim minoritas sering kali menyampaikan curhatnya  dalam masalah ini.

Lalu bagaimana dengan hasil yang dilakukan Kementerian Agama yang menempatkan NTT dan Bali pada urutan tertinggi dalam indeks toleransi antar umat beragama. Maka jawabnya, temuan tersebut menunjukkan bahwa kalangan minoritas khususnya umat Islam di Bali,  NTT dan tentu saja di provinsi dengan muslim minoritas yang lainnya cukup patuh pada aturan sehingga tidak ada gejolak. Hal ini memberikan suasana kerukuan yang positif. Sekalipun dengan berat hati kalangan muslim minoritas menyadari sepenuhnya terhadap keberadaan PBM No. 9 dan 8 Th 2006 sebagai norma publik yang mengikat seluruh warga negara. Perumusan PBM dilakukan dengan melibatkan secara intensif  wakil majelis-majelis agama tingkat pusat; Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja-Geraja Indonesia (PGI) dari Protestan, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dari Katolik, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Dengan demikian eksistensi PBM adalah kesepakatan bersama yang harus ditatati dengan segala konsekwensinya.

Kenyataan bahwa umat Islam sangat toleran semakin terbukti saat peringatan hari Nyepi tahun 2012 yang ketika itu bertepatan dengan hari Jum’at. Umat Islam yang sedang menjalankan ibadah Jum’at rela saat dituntut menyesuaiakan diri dengan suasana hari Nyepi, sehingga saat beribadah Jum’at pun tanpa mengumandangkan adzan dengan pengeras suara keluar. Selain itu, mereka rela berjalan kaki ke masjid dan meninggalkan kendaraan mereka di rumah agar tidak menimbulkan kebisingan. Bahkan sampai ada yang tidak pergi menunaikan shalat Jum’at karena kebetulan rumahnya cukup jauh dari masjid sehingga tidak memungkinkan untuk menempuhnya dengan berjalan kaki, sehingga mengambil ketentuan hukum yang ringan yaitu ada halangan sehingga tidak bisa menunaikan kewajiban.

Namun ada opini yang tidak fair terhadap pemberlakukan PBM di wilayah Islam mayoritas, yang sering kali muncul sorotan miring seolah-olah  hanya jika umat Islam mayoritas saja yang sulit mendirkan rumah ibadah bagi non muslim. Franz Magnis Suseno  misalnya, sempat menyampaikan protes terbuka kepada The Appeal of Conscience Foundation (ACF) sebuah lembaga di Yew York Amerika Serikat. Pasalnya lembaga tersebut berencana  memberikan penghargaan World Statesman untuk Presiden Republik Indonesia ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurut Franz Magnis Suseno, lembaga tersebut  terlalu latah memberi penghargaan tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak yang ada di Indonesia yang punya pengalaman langsung. Kata Franz Magnis, pula bahwa SBY tidak layak memperoleh penghargan itu karena faktanya betapa susah bagi umat Kristen mendirikan tempat ibadat di Indonesia.

Kritik mendirikan gereja susah dan terjadi intoleransi dalam pendirian rumah ibadat, memang acap kali digulirkan sampai sekarang. Yang sering menjadi tertuduh adalah umat Islam. Beberapa tahun sebelumnya sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bernama Human Right Watch (HRW), membuat laporan ke Dewan HAM PBB perihal potret toleransi beragama di Indonesia yang dianggap sangat bermasalah. Salah satu kasus yang diangkat adalah kasus Gereja Yasmin di Bogor yang ditolak ijnnya oleh pemerintah setempat. Laporan ini juga diamini oleh beberapa LSM yang lain seperti Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Wahid Institute, International Center for Transitional Justice dan Moderate Muslim Society, Setara Institute, Elsam, YLBHI, dan sebagainya.

Tetapi bagaimana fakta yang sebenarnya, maka seperti yang pernah disampaikan oleh Menteri Agama dalam kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Suryadharma Ali pada kesempatan acara Lecture Series bertajuk “Pemilu 2014: Memilih Kepemimpinan Bangsa” di Aula FISIP UIN Jakarta (11/11/2013) bahwa perkembangan  rumah Ibadat non-Muslim di Indonesia tumbuh lebih 100 persen selama 2013. Secara terperinci gereja Kristen tumbuh 156 persen, gereja Katolik tumbuh 136 persen, rumah ibadat Hindu tumbuh 300 persen dan rumah ibadat umat Budha tumbuh 400 persen.

Sedangkan rumah ibadat umat Islam cuma tumbuh 64 persen. Karena itu tegas Menag, jika ada tudingan umat Islam atau Kemenag menghalangi pendirian rumah ibadat bagi warga non-Muslim, itu tuduhan yang keliru dan tidak berdasar.

Harus disadari bahwa Indonesia merupakan negara majemuk dengan berbagai suku bangsa, adat istiadat, dan agama. Pluralitas atau kemajemukan di satu sisi merupakan potensi yang baik apabila bisa dikelola dengan baik. Sebaliknya pluralitas akan bisa menjadi ancaman setiap saat jika tidak dapat dikelola dengan baik.

Ancaman konflik dan disintergrasi yang sewaktu-waktu bisa terjadi bisa menjadi hambatan dalam proses pembangunan. Di sinilah urgensinya adanya norma publik yang disepakati bersama untuk mengatur kehidupan bersama.

Bangsa ini sendiri sudah sejak lama menyepakati untuk hidup bersama dalam wadah NKRI yang isinya majemuk ini dengan semangan Bhinneka Tunggal Ika.  Maka dalam konteks pendirian rumah ibadat keberadaan aturan menjadi sangat penting untuk mencegan adanya benturan yang tidak produktif.

Pendirian rumah ibadah merupakan isu yang rawan jika tidak dibuat aturan main yang jelas. Karena itu kepatuhan pada PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 akan memberikan kepastian secara adil dan jelas terhadap permohonan pendirian rumah ibadat. Selama ini umat Islam yang sering dituduh tidak toleran, padalah kenyataannya membuktikan bahwa umat Islam lah yang justru paling toleran.*

Sekretaris Umum MUI Jawa Timur

Sumber : www.hidayatullah.com