expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

20/04/2020

LUBANG BESAR ITU BERNAMA KEMATIAN ULAMA


KIBLAT.NET – Di awal tahun 2020 ini umat Islam Indonesia kehilangan dua ulama. Prof Dr Yunahar Ilyas yang wafat pada 2 Januari 2020. Sebulan berselang giliran KH Sholahuddin Wahid yang meninggalkan kita.
Tidak hanya di Indonesia, di akhir Januari lalu jauh di Barat dunia Islam kita juga kehilangan seorang ulama Muhammad Amin Bu Khubzah, seorang ulama kharismatik dari Al-Jazair. Pada awal November yang lalu kota Mekkah ditinggal oleh ulamanya Syaikh Muhammad Amin Al-Harori Al-Ethiopi.

Para ulama silih berganti meninggalkan kita, mereka wafat dan hilanglah ilmu dan teladan dalam membela kebenaran. Dari Abdullah bin Amru bin Ash, Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ اللَّهَ لا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ….
Artinya, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah menanggkat ilmu dengan mewafatkan para ulama…(Bukhori Muslim)
Wafatnya Ulama adalah Musibah
Sebagaimana disebutkan oleh hadits di atas bahwa kematian seorang ulama adalah tanda dicabutnya ilmu secara perlahan dari bumi oleh Allah SWT. Ini adalah musibah pertama. Karena jika ilmu sudah dicabut, maka secara perlahan cahaya wahyu yang menerangi perjalanan hidup manusia mulai meredup. Sehingga tak sedikit yang berjalan tanpa arah dan jauh dari arahan wahyu, karena para pembawa lentera sudah hilang satu per satu.
Adalah Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat ketika menafsirkan firman Allah :
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الْأَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا
Artinya, “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?..”  (QS Ar-Ra’du : 41)
Ayat di atas bercerita bagaimana Allah SWT membebaskan negeri-negeri yang dahulunya dikuasai kekufuran dan kesyirikan dan meneranginya dengan cahaya wahyu. Namun kemudian negeri-negeri tadi dikurangi sedikit demi sedikit dari ujungnya.
Ketika menjelaskan dikurangi sedikit demi sedikit, dalam sebuah riwayat Ibnu Abbas berkata:
خراب الأرض بموت علمائها وفقهائها وأهل الخير منها
Artinya, “Hancurnya dunia dengan kematian ulama, ahli fikih dan orang-orang baik di dunia.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/169, penerbit Muassah Qurthubah)
Imam Ibnu Katsir meriwayatkan sebuah syair dalam tafsirnya:
الْأَرْضُ تَحْيَا إِذَا مَا عَاشَ عَالِمُهَا               مَتَى يَمُتْ عَالِمٌ مِنْهَا يَمُتْ طَرَفُ
كَالْأَرْضِ تَحْيَا إِذَا مَا الْغَيْثُ حَلَّ بِهَا        وَإِنْ أَبَى عَادَ فِي أَكْنَافِهَا التَّلَفُ
Bumi akan hidup selama ulamanya hidup
Ketika ulamanya meninggal maka akan mati satu kepingannya
Seperti yang hidup ketika hujan turun menyapanya
Jika hujan tak kunjung datang maka permukaan bumi akan hancur
Sedangkan Ayyub As-Sikhtiyani seorang pentolan Tabi’in mengungkapkan pedihnya perasaan ditinggal seorang ulama bagaikan bagian tubuh yang terpotong.
إني أُخبَرُ بموت الرجل من أهل السنة، فكأني أفقد بعض أعضائي
Artinya, “Saya ketika dikabarkan kepada saya tentang meninggalnya seorang dari Ahlussunnah seolah saya merasa kehilangan anggota tubuh.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah Al-Lalikaiy 1/6)
Kehilangan seorang ahlussunnah saja seperti itu perasaannya apalagi kematian ulama yang menjadi panutan. Hasan Al-Bashri meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud:
موت العالم ثُلْمَة في الإسلام لا يسدُّها شيء ما اختلف الليل والنهار
Artinya, “Kematian seorang ulama adalah kebocoran di dalam Islam dan tidak bisa ditutup meskipun malam dan siang datang silih berganti.” (Ma’alimut Tanzil 4/327, Dar Thoibah)
Sa’id bin Jubair pernah ditanya :
“Apa tanda kehancuran manusia? Sa’id menjawab, “Meninggalnya para ulama di tengah mereka.” (Ma’alimut Tanzil 4/327, Dar Thoibah)
Orang Bodoh dan Pengikut Hawa Nafsu yang Menjadi Panutan
Ulama bukan hanya mereka yang pintar dalam ilmu agama, menghafal dalil-dalil dan  kepandaian dalam bidang-bidang keagamaan. Ulama adalah mereka yang menghiasi ilmu dengan ketakwaan, wara’dan  jauh dari hawa nafsu.
Syaikh Muhammad bin Ismail Al-Muqaddam di dalam kitab Hurmatu Ahlil Ilmi (Kehormatan Ulama) berkata:
العالم هو من يخشى الله تعالى، ويعمل بمقتضى علمه
Artinya, “Ulama adalah mereka yang takut kepada Allah dan mengamalkan konsekuensi ilmunya.” (Hurmatu Ahlil Ilmi 326)
Hasan Al-Bashri berkata, “Ulama adalah mereka yang amalnya sesuai dengan ilmunya.” (Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhili, atsar 1241)
Ketika sosok yang mengumpulkan ilmu dan amal dan jauh dari hawa nafsu hilang di tengah-tengah umat, maka umat akan dipimpin oleh orang-orang bodoh. Sebagaimana lanjutan hadits di atas, Rasulullah SAW bersabda:
……ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳﺒْﻖ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
Artinya, “…..Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhori Muslim)
Maka ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama umat dipimpin oleh orang-orang yang berilmu namun lebih mendahulukan hawa nafsunya dari wahyu. Mereka menjadikan ilmu mereka sebagai barang dagangan, mereka menerima pesanan fatwa dari para pengikut hawa nafsu untuk melegalkan nafsu mereka. Sehingga umat terkecoh dengan fatwa-fatwa tersebut, mengikutinya lalu kemudian tersesat.

Inilah yang terjadi pada ulama Bani Israil di umat sebelum Nabi Muhammad. Para pendeta dan rahib-rahib mereka bukannya menjadi panutan justru merusak agama yang dibawa oleh Nabi mereka. Hal ini karena mereka tergiur oleh hawa nafsu dan dunia, baik jabatan, kemasyhuran dan harta duniawi.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS At-Taubah : 34)
Syaikhul Islam menukil dari para salaf sebuah ungkapan mengenai ayat di atas:
احْذَرُوا فِتْنَةَ الْعَالِمِ الْفَاجِرِ وَالْعَابِدِ الْجَاهِلِ،فَإِنَّ فِتْنَتَهُمَا فِتْنَةٌ لِكُلِّ مَفْتُونٍ
Artinya, “Berhati-hatilah kalian terhadap fitnah seorang ulama yang gemar berbuat dosa (mengikuti hawa nafsu) dan ahli ibadah yang jahil. Fitnah keduanya adalah fitnah bagi setiap orang yang tertipu.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 1/97)
Kemungkinan yang kedua adalah munculnya orang-orang yang tidak berilmu, namun dijadikan pemimpin oleh umat. Sehingga mereka berfatwa tanpa ilmu, memimpin umat tanpa ilmu, menjauhkan umat dari wahyu. Bak orang buta yang menuntun perjalanan di tengah gelap malam.
Terkait dua kemungkin di atas Rasulullah SAW bersabda:
إنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ
Artinya, “Sesungguhnya yang aku takutkan menimpa umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)
Sebagaimana ugkapan yang masyhur dari Ibnul Mubarok
وهل أفسدَ الدينَ إلا الملوكُ … وأحبارُ سُوءٍ ورُهبانُها
Artinya, “Dan tidak ada yang merusak agama melainkan para penguasa, pendeta dan rahib (baca;ulama) yang buruk.”
Inilah musibah terbesar yang akan menimpa umat apabila mereka ditinggal oleh ulama mereka. Karena umat memiliki peran sentral dan krusial dalam membimbing umat dengan cahaya wahyu. Mengarahkan mereka untuk kembali kepada Allah dari hiruk pikuk kehidupan dan kenikmatan duniawi, memerintah umat untuk menjalankan kebaikan dan mengingatkan mereka agar tidak jatuh kepada kemungkaran dan menarik tangan uma dari tepi neraka. Maka ketika seorang ulama wafat, meskipun kebocorannya tidak bisa ditutup harus ada orang yang berupaya sekuat tenaga menjaga kebocoran-kebocoran tersebut agar umat ini tidak semakin jauh dari cahaya wahyu. Wallahu a’lamu bissowab.
Penulis: Miftahul Ihsan
Editor: Arju


Sumber : kiblat.net