expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

31/01/2021

KONSEP KHILAFAH MENURUT AL QUR'AN DAN SUNAH (2-HABIS)



Khilafah dalam Hadist Nabi

Hidayatullah.com | DALAM hadits Nabi, penyebutan kata khalifah atau khulafâ lebih banyak daripada yang disebutkan dalam Al Qur’an dengan makna yang lebih tegas terhadap kepemimpinan. Di bawah ini dibawakan beberapa contoh:

عَنْ أَبِي حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Dari Abu Hazim dia berkata, “Saya pernah duduk (menjadi murid) Abu Hurairah selama lima tahun, saya pernah mendengar dia menceritakan dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda: “Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah (kepala pemerintahan) yang merekan akan banyak berbuat dosa.” Para sahabat bertanya, “Apa yang anda perintahkan untuk kami jika itu terjadi?” beliau menjawab: “Tepatilah baiat yang pertama, kemudian yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, kerana Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka.”

عَنْ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

Dari Hudzaifah, Rasulullah ﷺ bersabda, “Di tengah-tengah kalian ada Kenabian dan akan berlangsung sekehendak Allah. Lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah berdasar manhaj kenabian dan berlangsung sekendak-Nya. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada Kerajaan yang lalim yang berlangsung sekehendak Allah. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada Kerajaan yang Otoriter berlangsung sekendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya.  Kemudian akan ada Khilafah berdasar manhaj kenabian”. Kemudian beliau (Nabi ﷺ) diam.  (Musnad Ahmad, No. 18406).

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ دَخَلْتُ مَعَ أَبِى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ هَذَا الأَمْرَ لاَ يَنْقَضِى حَتَّى يَمْضِىَ فِيهِمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً ». قَالَ ثُمَّ تَكَلَّمَ بِكَلاَمٍ خَفِىَ عَلَىَّ – قَالَ – فَقُلْتُ لأَبِى مَا قَالَ قَالَ « كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.

Dari Jabir bin Samurah, Aku bersama bapakku masuk kepada Nabi, maka aku mendengar beliau bersabda, “Sesungguhnya urusan (Agama Islam) ini tidak akan berakhir sampai berlangsung di tengah mereka dua belas khalifah”. Kemudian beliau ﷺ berkata dengan perkataan yang samar bagiku. Maka Aku bertanya kepada ayahku apa yang disabdakan beliau? Ayahku menjawab, “Semuanya dari Quraesy.” (Shahih Muslim, No. 4809. Sunan Abu Dawud, No. 4279).

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا اسْتُخْلِفَ خَلِيفَةٌ إِلاّّ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْخَيْرِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ

Dari Abu Said al Hudri, dari nabi ﷺ, “Tidaklah seorang khalifah diangkat melainkan ia mempunyai dua teman setia. Teman setia yang menyuruh dengan kebaikan dan teman setia yang menyuruh dengan keburukan dan menganjurkannya. Orang yang terpelihara adalah ia yang dipelihara Allah.” (Shahih Bukhari, No. 6611. Sunan Tirmidzi, No. 2474).

Dua Kaidah tentang Khilafah

Dari beberapa ayat dan hadits yang dikemukakan di atas, kita dapat mengambil beberapa kaidah yang berkaitan dengan kepemimpinan atau kekhilafahan:

Pertama, bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan manusia sebagai khalifah di bumi. Pengertian kekhalifahan manusia di muka bumi mencakup dua makna; makna yang umum dan makna yang khusus.

Secara umum seluruh manusia adalah khalifah karena ia makhluk yang dipilih Allah sebagai penguasa dan pemimpin atas makhluk lainnya yang ada di muka bumi. Manusia juga sebagai khalifah karena setiap orang, kaum dan bangsa datang dan pergi, hidup dan mati, berjaya dan hancur, saling bergantian antara satu generasi dengan  generasi berikutnya.

Kekhilafahan seperti ini dapat diistilahkan sebagai khilafah takwiniyah, kekhilafahan manusia di muka bumi sebagai ketetapan atau taqdir kehidupan yang Allah gariskan bagi manusia, baik ia manusia beriman ataupun manusia kafir.

Makna khilafah secara khusus, yaitu kekhalifahan dalam pengertian kepemimpinan seseorang atas manusia yang lain. Kekhilafahan dalam makna ini tentu saja tidak mungkin ditujukan kepada semua manusia, bahkan tidak setiap orang beriman dapat menduduki kekhilafahan ini, terlebih lagi orang-orang kafir.

Hanya orang-orang yang memenuhi kriteria tertentu yang telah diatur oleh syariat yang berhak menjabatnya. Kekhilafahan dalam makna ini identik dengan imamah atau kepemimpinan formal dalam masyarakat dan negeri muslim.

Kekhilafahan dalam makna ini pula yang dimaksud dalam hadits-hadits Nabi yang berbicara tentang kepemimpinan Islam. Atas dasar itu, kekhilafahan dalam konteks ini dapat diistilahkan sebagai khilafah syar’iyah kepemimpinan berdasarkan syariat Islam.

Kedua, Kekhalifahan pada umat Islam adalah kepemimpinan sebagai pengganti dan pelanjut kepemimpinan kenabian. Karenanya ia disebut sebagai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Dengan demikian khalifah adalah khalifatur rasûl (pengganti dan pelanjut kepemimpinan nabi) bukan khalifatullâh (pengganti atau wakil Allah). Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Mawardi;

الإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

“Imamah adalah maudhu’ (peristilahan yang dibuat) bagi khilafah nubuwah dalam menjaga agama dan menata dunia”. [Imam al Mawardi, Al Ahkam al Sulthaniyah, (Maktabah Syamilah), hlm. 3].

Kalaupun kata khilafah itu disandarkan kepada Allah, khalîfatullâh, maka maknanya adalah penghormatan dan kemuliaan dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba pilihannya, bukan sebagai pengganti dan wakil Allah di muka bumi. Karena tidak ada satu makhlukpun yang dapat menempati, menggantikan, dan mewakili Allah Ta’ala. Sebagaimana dikatakan Al Ragib al Asfahany,

والخلافة النيابة عن الغير إما لغيبة المنوب عنه وإما لموته وإما لعجزه وإما لتشريف المستخلف وعلى هذا الوجه الأخير استخلف الله أولياءه في الأرض

“Khilafah itu adalah perwakilan dari orang lain. Adakalanya (perwakilan itu) disebabkan ketiadaan orang yang diwakilinya, karena kematiannya, atau karena kelemahannya. Adakalanya juga karena sebagai penghormatan atas orang yang disuruh mewakilinya. Makna terakhir inilah yang dimaksud Allah menjadikan khalifah para kekasih-Nya di muka bumi.” [Al Husain bin Muhammad bin Al Fadhal Al Ragib al Asbahani, Al Mufradat fi Gharîbil Qur’an, (Libanon: Darul Ma’rifah, t.t), hlm. 156 [10] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: Darul Qalam, 1984), hlm. 97].

Ketiga, Al-Qur’an dan hadits tidak menetapkan bentuk, format maupun prosedur yang baku tentang negara khilafah. Tetapi para ulama menyatakan bahwa kekhilafahan dibangun berdasarkan prinsip musyawarah, keadilan, kesamaan, penegakan hukum syariat, dan kemaslahatan umat.  Dari semua itu prinsip dasarnya adalah penegakan hukum syariat secara konsisten dan konsekwen berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyatakan,

والخلافة هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إليها، إذ أحوال الدنيا ترجع كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح الآخرة

“Dan khilafah itu adalah menggiring seluruh (manusia) kepada yang sesuai dengan tinjauan syar’i dalam kemaslahatan ukhrawi, dan kemaslahatan duniawi mereka yang kembali kepadanya (kepada kemaslahatan akhirat). Sebab segala kemaslahatan urusan dunia menurut syariat harus ditinjau berdasarkan kemaslahatan akhirat”.

Karena itu, andaipun kepemimpinan atau pemerintahan itu menggunakan terma kekhilafahan Islam, tetapi jika syariat tidak dilaksanakan, kezaliman dan kekejaman merajalela, maka tidak patut disebut sebagai kepemimpinan khilafah yang syar’i, melainkan sebagai Mulkan Jabariyan dan Mulkan ‘Adhan (kepemimpinan raja-raja otoriter yang memeras rakyat). Sebaliknya meskipun suatu kepemimpinan dan pemerintahan berbentuk kerajaan, republik, atau yang lainnya, maka ia dikatakan sebagai khilafah dan pemimpinya layak disebut sebagai Khalifah atau Amirul mukminin. Sebagaimana Allah memanggil Nabi Dawud sebagai Khalifah meskipun beliau berkedudukan sebagai Nabi dan Raja Bani Israil. Begitu pula Umar bin Abdul Aziz, dalam pemerintahan Dinasti Umayah, dan Harun Al Rasyid dalam Dinasti Abasiyah, meskipun keduanya dipilih bukan berdasarkan syura seperti para Khulafaur Rasyidin, keduanya diakui sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin. Dalam konteks inilah sangat tepat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah,

ويجوز تسمية من بعد الخلفاء الراشدين خلفاء وإن كانوا ملوكا ولم يكونوا خلفاء الأنبياء بدليل ما رواه البخاري ومسلم فى صحيحيهما عن أبى هريرة رضى الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (كانت بنو إسرائيل يسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وأنه لا نبي بعدي وستكون خلفاء فتكثر قالوا فما تامرنا قال فوا ببيعة الأول فالأول ثم أعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم) . فقوله (فتكثر)  دليل على من سوى الراشدين فإنهم لم يكونوا كثيرا وأيضا قوله ( فوا ببيعة الأول فالأول) دل على أنهم يختلفون والراشدون لم يختلفوا وقوله (فأعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم) دليل على مذهب أهل السنة فى إعطاء الأمراء حقهم من المال والمغنم وقد ذكرت فى غير هذا الموضوع أن مصير الأمر إلى الملوك ونوابهم من الولاة والقضاة والأمراء ليس لنقص فيهم فقط بل لنقص فى الراعي والرعية جميعا فإنه ( كما تكونون يول عليكم)  وقد قال الله تعالى ( وكذلك نولي بعض الظالمين بعضا (

“Dan boleh saja menamai para pemimpin setelah Khulafa Rasyidin dengan sebutan para khalifah walaupun mereka adalah para raja, dan bukan para khalifah para Nabi dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim pada kitab Shahih mereka dari Abu Huraerah dari Rasulullah SAW bersabda, ‘Dahulu Bani Israel dipimpin para Nabi, setiap meninggal seorang nabi digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi sepeninggalku tidak akan ada Nabi tetapi akan ada khalifah-khalifah yang banyak.’ Para shahabat bertanya, ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’. Nabi bersabda, ‘Tunaikanlah baiat yang pertama kemudian berikan kepada mereka hak-hak mereka karena sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaan mereka tentang rakyat mereka.”

Penyebutan “akan ada khalifah-khaifah yang banyak’ menunjukan bahwa mereka bukanlah Khulafa Rasyidin sebab jumlah Khulafa Rasyidin tidaklah banyak. Demikian pula pernyataan, ‘tunaikanlah baiat pertama dan pertama’ bahwa para khalifah tersebut berselisih sedangkan para Khulafa Rasyidun tidaklah berselisih.  Sedang pernyataan, ‘berikanlah hak mereka karena mereka akan diminta pertanggungjawaban tentag rakyatnya’, menjadi dalil atas madzhab ahu sunnah tentang memberikan hak-hak para pemimpin dari harta dan ghanimah sebagimana saya telah menjelaskan bukan hanya di tempat ini saja, bahwa mengembalikan pelbagai persoalan kepada para raja dan pembantunya dari para pemimpin dan qadhi bukan semata karena kekurangan (kelemahan dan keburukan) yang ada pada mereka saja, melainkan kekurangan (kelemahan) itu juga ada pada rakyat secara bersama-sama, sebab sebagaimana dikatakan (dalam hadits), ‘sebagaimana keadaan kalian, seperti itulah pemimpin kalian’. Allah berfirman, ‘demikianlah kami jadikan orang-orang zalim sebagai pemimpin atas sebagian yang lainnya.” [Ibnu Taimiyah, Al Khilfah wal Muluk dalam Majmu’ Fatwa, jilid. 35 hlm. 20].

Demikianlah beberapa pengertian penting yang dapat diambil dari terma khilafah yang terdapat dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Intinya bahwa Istilah khilafah adalah istilah syar’i, tetapi interpretasi dan aplikasinya dalam politik Islam tidaklah baku dan kaku, melainkan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat Islam itu sendiri. Sesuai dengan pernyataan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha bahwa ajaran Islam telah mengatur prinsip-prinsip politik-kenegaraan, tetapi pada tataran praktisnya menuntut ijtihad yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat.*

Penulis adalah Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Islam (Persis), doktor bidang legalisasi hukum Islam (syariah wal qonun) dari UIN Bandung, penulis buku ‘Politik Hukum Islam – Konsep Teori Dan Praktik Di Indonesia’

Oleh : Jeje Zaenudin

Sumber : www.hidayatullah.com