Ustadzah, saya mempunyai pertanyaan dan mohon untuk dijawab: Bagaimana jilbab yang sesuai dengan syariat? Mohon penjelasannya, jazakillah khairan.
Halimah :asy-syauqiyyah@plasa.com
Jawab :
Jilbab yang sesuai dengan syariah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Menutupi seluruh badan
Tidak diberi hiasan-hiasan hingga mengundang pria untuk melihatnya
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan mereka, dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak darinya. Hendaklah mereka meletakkan dan menjulurkan kerudung di atas kerah baju mereka (dada-dada mereka)… (An-Nuur: 31)
Tebal tidak tipis
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Akan ada nanti di kalangan akhir umatku para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang…
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalambersabda ;
“…laknatlah mereka karena sesungguhnya mereka itu terlaknat”. (HR. Ath Thabrani dalam Al Mu`jamush Shaghir dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Albani dalam kitab beliau Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 125)
Kata Ibnu Abdil Baar: “Yang dimaksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam sabdanya (di atas) adalah para wanita yang mengenakan pakaian dari bahan yang tipis yang menerawangkan bentuk badan dan tidak menutupinya maka wanita seperti ini istilahnya saja mereka berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang”.
Lebar tidak sempit
“Usamah bin Zaid berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memakaikan aku pakaian Qibthiyah yang tebal yang dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau maka aku memakaikan pakaian itu kepada istriku. Suatu ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam bertanya: “Mengapa engkau tidak memakai pakaian Qibthiyah itu?” Aku menjawab: “Aku berikan kepada istriku”. Beliau berkata : “Perintahkan istrimu agar ia memakai kain penutup setelah memakai pakaian tersebut karena aku khawatir pakaian itu akan menggambarkan bentuk tubuhnya”. (Diriwayatkan oleh Adl Dliya Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan, kata Syaikh Al-Albani t dalam Jilbab, hal. 131)
Tidak diberi wangi-wangian
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati sekelompok orang agar mereka mencium wanginya maka wanita itu pezina.” (HR. An Nasai, Abu Daud dan lainnya, dengan isnad hasan kata Syaikh Al-Albani dalam Jilbab, hal. 137)
Tidak menyerupai pakaian laki-laki
Abu Hurairah mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Jilbab, hal. 141)
Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam banyak sabdanya memerintahkan kita untuk menyelisihi orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka baik dalam hal ibadah, hari raya/perayaan ataupun pakaian khas mereka.
Bukan merupakan pakaian untuk ketenaran, yakni pakaian yang dikenakan dengan tujuan agar terkenal di kalangan manusia, sama saja apakah pakaian itu mahal/ mewah dengan maksud untuk menyombongkan diri di dunia atau pakaian yang jelek yang dikenakan dengan maksud untuk menampakkan kezuhudan dan riya.
Berkata Ibnul Atsir: Pakaian yang dikenakan itu masyhur di kalangan manusia karena warnanya berbeda dengan warna-warna pakaian mereka hingga manusia mengangkat pandangan ke arahnya jadilah orang tadi merasa bangga diri dan sombong. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Siapa yang memakai pakaian untuk ketenaran di dunia maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat kemudian dinyalakan api padanya”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dengan isnad hasan kata Syaikh Albani dalam Jilbab, hal. 213)
Demikian kami nukilkan jawaban untuk saudari dari kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani t. Adapun pertanyaan-pertanyaan saudari yang lainnya Insya Allah akan kami jawab dalam rubrik Mutiara Kata pada edisi-edisi mendatang. Wallahu a’lam.
Melihat Laki-laki dari Balik Kerudung
Tanya :
Bolehkah seorang wanita (akhwat) melihat sekumpulan laki-laki dari balik kerudungnya? Mohon jawabannya, jazakumullah khairan.
Akhwat di Kroya
Jawab:
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengabarkan terhadap apa yang mereka perbuat” (An-Nur: 30)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“…maka zinanya mata itu adalah dengan memandang…”. (HR. Bukhari 11/503 dan Muslim 4/2046)
Ulama sepakat, sebagaimana dinukilkan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim bahwasanya memandang laki-laki dengan syahwat haram hukumnya.
Sebagian ulama membolehkan untuk memandang laki-laki secara mutlak. Mereka berdalil dengan kisah Aisyah rad. yang melihat orang-orang Habasyah yang sedang bermain tombak (perang-perangan) di masjid sampai ia bosan dan berlalu.
Imam Nawawi menjawab dalil mereka ini bahwasanya peristiwa itu mungkin terjadi ketika Aisyah belum baligh.
Namun Al Hafidz Ibnu Hajar membantahnya dengan mengatakan ucapan Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menutupinya dengan selendang beliau menunjukkan peristiwa ini terjadi setelah turunnya perintah hijab. (Dan Aisyah dihijabi oleh beliau menunjukkan bahwa Aisyah telah baligh).
Imam Nawawi memberi kemungkinan yang lain, beliau mengatakan: Dimungkinkan Aisyah hanya memandang kepada permainan tombak mereka bukan memandang wajah-wajah dan tubuh-tubuh mereka. Dan bila pandangan jatuh ke wajah dan tubuh mereka tanpa sengaja bisa segera dipalingkan ke arah lain saat itu juga. (Lihat Fathul Bari 2/445).
Dengan demikian, hendaklah seorang wanita memiliki rasa malu dan jangan membiarkan pandangan matanya jatuh kepada sesuatu yang tidak diperkenankan baginya, termasuk memandang laki-laki yang bukan mahramnya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bishawwab.
Demikian jawaban ini dinukilkan dari kitab Nashihati Lin Nisa karya Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah hafidzahallah, putri Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i.
Sumber : qurandansunnah.wordpress.com