expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

13/02/2021

KEMUNGKARAN DAN 'FATWA' HATI NURANI



Hidayatullah.com | SEBUAH  hadits Nabi Muhammad ﷺ dari Abu Sa’id al-Khudriy RA, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ  bersabda: “barangsiapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran dengan tangannya.  Jika tidak mampu, hendaklah dengan lisan.  Jika tidak mampu juga, hendaklah mencegahnya dengan hatinya.  Itulah selemah-lemah iman”.  (HR. Muslim).

Hadits di atas kemudian dijadikan dasar bagi umat Islam untuk mengatasi patologi sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Prinsip dari hadits di atas bahwa, umat Islam tidak boleh membiarkan kemungkan atau kerusakan (mafsadat) terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Kenapa demikian? Karena dampak dari kemungkaran tersebut pasti berimbas negatif bagi kemaslahatan masyarakat itu sendiri.

Sebagai contoh, jika perjudian, minuman keras dan prostitusi merajalela, tanpa ada yang perduli untuk membasminya, maka lambat laun pernyakit sosial itu akan menjadi wabah bagi umat di sekitar wilayah tersebut.   Demikian juga, kalau kemungkaran dalam bentuk eksploitasi yang “gila-gila” sumber daya alam yang ada, maka imbasnya yang paling pertama merasakan adalah umat atau masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut

Atau, ketika terjadi korupsi mengurat-mengakar. Jika hal ini dibiarkan, maka bangsa itu akan menanggung akibatnya.  Seperti bisa jadi akan menjadi masyarakat yang permisif terhadap tindakan tersebut, dan pada akhirnya akan mendegradasi moral generasi bangsa tersebut.

Pertanyaan kita kemudian, apakah dimensi dari hadits Nabi ﷺ tersebut hanya diarahkan kepada personal-personal kaum beriman semata?  Atau terbuka peluang untuk ditafsirkan dalam konteks struktural dan sistemik?

Kompleksitas kemungkaran yang terjadi akhir-akhir ini, yang dimensinya sistemik dan massif.  Cukup sulit untuk mencari figur atau tokoh perseorangan yang memiliki kapasitas yang mumpuni untuk menumpas segala bentuk kemungkaran.

Oleh karenanya, saya berijtihad bahwa, hadits tersebut dapat dibaca dalam konteks sistem politik yang kita anut (Trias Politica).  Dimana kekuasaan terdistribusi kepada tiga institusi utama yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Legislatif fungsinya sebagai lembaga penampung aspirasi publik, membuat undang-undang dan menetapkan anggaran negara.  Sedangkan eksekutif bertugas menjalankan roda pemerintahan dalam konteks praktis dan strategis.  Sedangkan yudikatif adalah lembaga penegak keadilan dan kebenaran.

Dalam sistem pemerintahan Presidensial seperti Indonesia, ketiga institusi tersebut harus sama-sama “kuat”, dalam rangka terwujudnya keseimbangan (check and balance).   Secara simbolik, hadits di atas dapat diartikan yang menjadi kekuatan mulut atau lisan (lisan) adalah lembaga legislatif.  DPR/MPR harus   berani dan lantang menyuarakan aspirasi masyarakat.  Termasuk meminta eksekutif untuk menindak segala bentuk kemungkaran yang terjadi.  DPR/MPR harus optimal menjadi oposisi bagi eksekutif, agar eksekutif tetap dalam koridor yang benar.

Kemudian yang memerankan fungsi tangan (yad) seyogyanya adalah eksekutif yang nota bene memiliki alat-alat kekuasaan untuk menjalankan fungsi tersebut. Seperti memiliki Kementerian pada bidangnya masing-masing, memiliki Polisi dan Tentara. Tangan adalah simbolisasi kekuasaan atau kekuatan (wewenang).

Pemerintah memiliki kewenangan untuk menumpas, membasmi dan mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat. Oleh karenanya, eksekutif harus didorong menggunakan “tangannya”, untuk membasmi segala kemungkaran.  Tentu saja harus tetap mengacu kepada koridor hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.   Agar wewenang yang besar, tidak menjadi kesewenang-wenangan.

Selanjutnya fungsi hati (qalb) adalah fungsi yang dapat diperankan oleh Yudikatif, lembaga penegak hukum.  Mengapa simbolnya hati, karena sebenarnya kunci penegakan hukum itu adalah “sinaran hati nurani”.   Bismar Siregar (mantan Hakim Agung MA) kurang lebih pernah berkata bahwa “rasa keadilan itu jangan dicari pada kitab undang-undang, melainkan carilah pada hati nurani, karena pada akhirnya mahkamah yang paling tinggi adalah hati nurani”.

Suara hati nurani yang tidak diungkapkan menjadi sebuah keputusan hukum, tentu akan menjadi sesuatu yang lemah.  Karena tidak akan menimbulkan efek perubahan apa-apa.  Sementara, suara hati yang terlembagakan menjadi keputusan, apalagi keputusan hukum, tentu akan sangat powerfull. 

Jangan mengecilkan arti hati nurani, karena Nabi Muhammad ﷺ  dalam banyak kesempatan menegaskan tentang arti penting hati (qalb).  Sampai-sampai beliau mengatakan agar kita meminta fatwa kepada hati nuranimu (istafti qalbak).  Rasulullah ﷺ bersabda:

وَيَقُولُ يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ نَفْسَكَ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ قَالَ سُفْيَانُ وَأَفْتَوْكَ

Wahai Wabishah bin Ma’bad, mintalah fatwa pada hatimu (3 kali), karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu.  Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu.  Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa”. ( HR. Ahmad).

‘Fatwa Hati Nurani’

Bahkan dalam dunia sastra dikatakan suara hati lebih “nyaring pekikannya” ketimbang suara pikiran.  Seperti pribahasa Belanda, “het gevoel spreekt sterker dan het verstand” (suara hati atau perasaan lebih lantang dari pikiran).  Oleh karenanya, kunci keadilan adalah ketika hakim dan para penegak hukum tidak hanya berdasarkan kitab-kitab hukum yang sifatnya formal, akan tetapi perlu juga mendengarkan fatwa hati nurani.

Ketika ketiga fungsi ini bekerja optimal pada tugas dan porsinya masing-masing, maka insyallah upaya menumpas kemungkaran akan optimal pula. Namun jika terjadi sebaliknya, maka kita jangan berharap banyak dapat mengatasi kemungkaran yang ada.

Ini yang menjadi kerpihatinan penulis, ketika hampir semua partai politik yang mengisi kursi legislatif menjadi koalisi eksekutif.  Maka, fungsi menjaga keseimbangan melalui mekanisme oposisi semakin sulit diwujudkan.  Sehingga kemudian “memaksa” muncul kelompok-kelompok “oposisi swasta” dari masyarakat sipil, mengantikan peran legislatif untuk menjaga keseimbangan (check and balance).

Tentu saja mereka “kalah powerfull” dibanding dengan eksekutif.

Harapan penulis, berangkat dari substansi dari penghayatan atas hadits Nabi Muhammad ﷺ , masing-masing institusi tersebut dapat kembali mengoptimalkan fungsinya masing-masing.  Agar kelangsungan roda pemerintahan dan kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan seimbang, serta dapat menegakkan martabat bangsa dan negara. Wallah a’lam bi shawab.*/ Eka Hendry Arpengajar IAIN Pontianak

Sumber : hidayatullah.com