expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

29/01/2021

TAHANAN PEREMPUAN PALESTINA LAPORKAN PELECEHAN INTELIJEN ZIONIS



Hidayatullah.com — Dena Karmi, 41, seorang perempuan Palestina, yang menghabiskan 16 bulan di penjara ‘Israel’ mengenang kisah mengerikan tentang pelecehan seksual yang dia hadapi di balik jeruji besi. Tubuhnya masih gemetar saat menceritakan sesi interogasi pada malam hari oleh petugas intelejen pria Zionis.

Setiap saat, dia dipermalukan, dan semakin mendekati pelecehan seksual yang ekstrem. Seperti Karmi, banyak perempuan Palestina, telah melaporkan pelecehan seksual, mulai dari eksposisi hingga penggeledahan tubuh yang ekstrem pada saat masuk ke penjara ‘Israel’.

Kepada Anadolu Agency, Karmi mengaku pernah mengalami pelecehan seksual selama dua hari di Pusat Interogasi Ashqelon. Dia mengatakan bahwa Zionis telah menjadikan pelecehan seksual sebagai alat untuk menekan para narapidana terutama dalam sesi interogasi.

“Ketika saya menolak untuk melepas pakaian saya, sipir penjara menyerangku. Dia merobek celanaku dan melakukan penggeledahan yang memalukan,” katanya sambil menjelaskan saat-saat pertamanya di pusat penahanan.

Karmi ditangkap pada Juli 2018 dari rumahnya di Hebron – sebuah kota Palestina di Tepi Barat selatan, 30 km selatan Baitul Maqdis atau Yerusalem – dan dijatuhi hukuman penjara 16 bulan. Dia ditahan karena diduga berpartisipasi dalam kegiatan sosial terkait dengan gerakan perjuangan Hamas di kota Hebron bersama enam perempuan lainnya.

“Pelecehan seksual verbal adalah bagian dari kebijakan terorganisir untuk menanamkan penghinaan dan penyiksaan terhadap semua tahanan Palestina terutama terhadap perempuan dan anak-anak,” kata Sahar Francis, Direktur Addameer (kata Arab untuk hati nurani) – sebuah kelompok pendukung tahanan dan hak asasi manusia.

Delapan hari setelah penahanannya di Penjara Shikma di Ashkelon, Karmi sangat stres dan kehilangan kesadarannya beberapa kali. Menurutnya, para interogator mengeksploitasi situasinya dan menggunakan bahasa yang diwarnai dengan sindiran seksual.

Perilaku hina para interrogator

Suaminya, Nashat Karmi, terbunuh pada tahun 2010 oleh tentara Zionis. Menggunakan keadaannya yang hidup sendiri, para interogator berulang kali menuduhnya terlibat dalam hubungan seksual tidak sah.

“Ini sangat memalukan dan mengerikan terutama ketika interogator berperilaku hina mencoba memprovokasi saya. Kadang saat diinterogasi di malam hari, interogator pria itu berusaha mendekat, bahkan memperlihatkan foto yang tidak pantas dalam balutan pakaian renang,” ujarnya.

Perempuan Palestina itu selanjutnya mengatakan ketika tangannya diborgol ke belakang, interogator biasanya mendekat untuk bernapas di wajahnya. Dia bahkan menuduhnya melakukan hubungan seksual dengan petugas intelijen lainnya, yang telah menginterogasinya sebelumnya.

Karmi bercerita bahwa sesi interogasi, terutama tentang interogasi pada malam hari sangat menyakitkan, karena petugas berusaha menganiaya dan menggunakan bahasa kotor dan menghina.

“Dia [interogator] mengancam akan menyiksa saya secara seksual. Kemudian dia membawa saya bersama para sipir ke sel baru. Mereka menghabiskan berjam-jam di dekat pintu sambil tertawa yang membuatku takut. Saya yakin dia akan masuk sel kapan saja dan melakukan pelecehan seksual terhadap saya, ”katanya.

Tahanan Palestina lainnya berusia awal 30-an mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa dia menjadi sasaran pelecehan seksual di dalam kendaraan pemindahan penjara ‘Israel’ yang dikenal sebagai bosta, dari Ramallah hingga Yerusalem.

“Salah satu narapidana kriminal Yahudi yang duduk di seberang saya di bosta, mulai menghina saya secara seksual. Saya terkejut dan mengetuk kurungan besi dengan agresif untuk meminta bantuan. Tapi tidak ada yang menanggapi permohonan saya. Narapidana Yahudi melepas celananya dan melakukan gerakan seksual yang buruk yang tidak dapat saya utarakan,” katanya sambil meminta namanya tidak disebutkan.

Dia mengatakan bahwa tidak ada petugas dari unit Nahshon – yang bertanggung jawab untuk memindahkan para tahanan – membantunya atau mencegah penjahat Yahudi itu melecehkannya. Dia mengatakan tahanan kriminal terus mengganggunya selama lebih dari dua jam.

“Saya menangis, berdoa, dan meminta Tuhan untuk membantu saya,” tambahnya.

Perempuan menghindari menceritakan pelecehan yang mereka alami

Tasneem Jubran, seorang psikoterapis, dan ahli perawatan kesehatan mental mengatakan bahwa sebagian besar tahanan Palestina menghindari membicarakan pengalaman seperti itu karena takut akan stigma, mengingat budaya lokal memperlakukan seks sebagai aib. “Pelecehan seksual dianggap sebagai trauma yang berujung pada kerusakan fisik dan psikis jangka panjang dalam hubungan korban dengan dirinya dan sekitarnya. Hampir berdampak pada kesehatan seksual korban jika tidak menjalani psikoterapi setelah pembebasan,” tambah Jubran.

Aktivis Addmeer, Francis, mengatakan bahwa sistem peradilan ‘Israel’ tidak menanggapi keluhan terkait pelecehan seksual dengan serius. “Kami telah mendokumentasikan dan mengajukan banyak keluhan ke pengadilan Israel dan PBB. Tapi hingga saat ini belum ada respon yang efektif,” ujarnya.

Keluhan menumpuk

Pada tahun 2015, Addameer mengajukan pengaduan terhadap beberapa polisi perempuan yang secara fisik melecehkan seorang tahanan perempuan Palestina, melucuti pakaiannya untuk digeledah. “Polisi menyelidiki mereka tetapi tidak ada dakwaan yang diajukan. Ini adalah satu-satunya kasus di mana polisi menanggapi sebagian, ”tambah Francis.

Namun dalam banyak kasus, pihak berwenang tidak pernah menanggapi.

“Ada kegagalan untuk menghadirkan keadilan bagi korban pelecehan secara lokal dan global. Lembaga kemanusiaan internasional harus mengambil perannya untuk meminta pertanggungjawaban mereka dan membawa mereka ke pengadilan,” kata Fransic, yang juga seorang pengacara dan telah mendokumentasikan puluhan pengaduan selama 10 tahun terakhir.

Sekitar 4.300 warga Palestina, termasuk 41 perempuan dan 160 anak di bawah umur, saat ini ditahan di penjara ‘Israel’, menurut catatan Palestina.*

Sumber : www.hidayatullah.com