expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

28/12/2020

KAKAK KANDUNG UMAR BIN KHATTAB, SANG RAJAWALI PERANG YAMAMAH



Hidayatullah.com | PADA suatu hari Nabi ﷺ duduk dikelilingi sejumlah sahabatnya. Selagi pembicaraan berlangsung, tiba-tiba Rasulullah ﷺ terdiam sejenak, kemudian beliau menghadapkan bicaranya kepada semua yang ada di sekelilingnya dengan ucapan:

“Sesungguhnya di antara kalian ada seorang laki-laki yang gerahamnya di dalam Neraka, lebih besar dari Gunung Uhud!”

Karuan saja semua yang hadir dalam majelis itu diliputi ketakutan dan kecemasan akan timbulnya fitnah dalam agama kelak. Masing-masing mereka merasa kecut dan takut, kalau-kalau ia yang akan menerima nasib seperti diramalkan Rasulullah itu.

Tetapi semua, mereka yang mendengar pembicaraan waktu itu, kehidupannya telah berakhir dengan kebaikan, mereka meninggal sebagai syuhada di jalan Allah. Yang masih hidup hanyalah Abu Hurairah dan Rajjal bin `Unfuwah.

Tentu saja Abu Hurairah merasa seluruh persendiannya gemetar dan hatinya diliputi ketakutan, kalau-kalau ramalan Nabi itu menimpa dirinya. Matanya tak mau terpejam ditidurkan, dan belum tenang rasa cemasnya, sampai takdir menyingkapkan tabir orang yang bernasib celaka itu.

Dan orang itu adalah Rajjal bin `Unfuwah, seorang yang murtad. Rajjal keluar dari Islam dan bergabung dengan Musailamah al-Kaddzab, seorang yang mengaku dirinya juga seorang nabi seperti Nabi Muhammad ﷺ.

Rajjal ternyata memang seorang yang licik. Dulu, ia menghadap sendiri kepada Rasulullah, lalu berbai’at dan masuk Islam. Setelah itu kembalilah ia kepada kaumnya. Ia tak pernah datang lagi ke Madinnah, kecuali sesudah Rasul wafat dan terpilihnya Abu Bakar ash-Shidiq menjadi khalifah kaum Muslimin.

Kepada Abu Bakar telah disampaikan berita tentang keadaan penduduk Yamamah dan bergabungnya mereka dengan menang. Lalu ditinggalkannya Islam, dan bergabung ke dalam barisan Musailamah yang bermurah hati kepadanya dan mengobral janji-janji.

Pembelotan Rajjal jauh lebih berbahaya ketimbang Musailamah sendiri. Sebab, ia dapat menyalahgunakan keislamannya yang lalu, dan masa-masa hidupnya bersama Rasul di Madinah. Apalagi ia cukup banyak hafal al-Qur’an. Begitupun dikirimnya ia sebagai utusan oleh Abu Bakar, Khalifah kaum muslimin. Dan benar, semua itu di salahgunakan Rajjal secara keji untuk memperkuat kekuasaan Musailamah dan mengukuhkan kenabian palsunya.

Dengan sungguh-sungguh ia pergi menyebarluaskan kepada orang banyak, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ berkata yang maksudnya: bahwa beliau menjadikan Musailamah bib Habib sebagai serikatnya dalam perkara itu. Sekarang, karena Rasul telah wafat, maka orang yang paling berhak membawa bendera kenabian dan wahyu sesudahnya ialah Musailamah!

Jumlah orang-orang yang bergabung kepada Musailamah semakin bertambah banyak, disebabkan kebohongan-kebohongan Rajjal. Dan berita kebohongan Rajjal itu sampai ke Madinah. Kemarahan orang-orang Islam menjadi berkobar karena tindakan si murtad itu, yang akan menyesatkan manusia sebegitu jauh.

Orang Islam yang paling murka dan terbakar kemarahannya untuk menjumpai Rajjal, ialah seorang sahabat yang mulia, yang cemerlang namanya dalam buku-buku riwayat dan sejarah dengan nama tersayang Zaid ibnul Khatthab.

Siapakah dia? Ia adalah saudara dari Umar ibnul Khaththab. Saudaranya yang tua, dan lebih dahulu masuk Islam.

Zaid adalah seorang pahlawan kenamaan. Ia bekerja secara diam-diam. Kediamannya itu memancarkan permata kepahlawanannya

Keimanan Zaid kepada Allah dan Rasul-Nya sangat kokoh. Ia tidak pernah ketinggalan dari Rasulullah ﷺ dalam setiap kejadian penting maupun peperangan. Di setiap pertempuran niatnya telah dipatrikan menang atau syahid!

Pada Perang Uhud, sewaktu pertempuran memuncak antara orang-orang musyrik dan orang-orang mukmin, Zaid bin Khaththab menebas dan memukul musuh dengan semangat yang tinggi.

Pada saat itu terlihat oleh adiknya, Umar bin Khaththab, baju yang dikenakan Zaid terlepas ke bawah, hingga ia berada dalam kedudukan yang mudah dijangkau oleh musuh. Maka berserulah Umar, “Hai Zaid, ambil lekas baju besiku, pakailah untuk berperang…!” Dijawab oleh Zaid “Aku juga menginginkan syahid, sebagaimana yang kau inginkan hai Umar!” Dan ia terus bertempur tanpa baju besi secara mati-matian dengan keberanian yang luar biasa.

Dengan semangat Perang Uhud itu pula Zaid ingin menghabisi Rajjal. Dalam pandangan Zaid, Rajjal bukan saja seorang yang murtad, bahkan lebih dari itu, ia juga seorang pembohong, munafik dan pemecah belah.

Rajjal murtad karena mengharapkan keuntungan duniawi. Dan Zaid, dalam hal kebenciannya pada kemunafikan dan kebohongan serupa benar dengan saudaranya, Umar!

Tak ada yang lebih membangkitkan kejijikan dan mengobarkan kemarahannya, selain kemunafikan dan kebohongan dengan tujuan hina dan maksud yang rendah. Untuk tujuan-tujuan yang rendah itulah, Rajjal memainkan peranan berbuat dosa, menyebabkan bertambahnya jumlah golongan yang bergabung dengan Musailamah secara menyolok. Dan dengan ini sebenarnya ia menyeret sebagian besar orang-orang kepada kematian dan kebinasaan dengan menemui ajal mereka di medan perang murtad kelak.

Mula-mula disesatkannya mereka, kemudian dibinasakannya! Tujuannya tidak lain untuk menggapai ambisi dan ketamakan tercela yang telah mempengaruhi dirinya dan dibangkitkan oleh hawa nafsunya.

Maka Zaid mempersiapkan dirinya untuk menyempurnakan keimanan dengan menumpas bahaya fitnah ini. Bukan hanya terhadap pribadi Musailamah, malah lebih-lebih lagi terhadap seorang yang lebih berbahaya daripadanya dan lebih berat dosanya, yaitu Rajjal bin `Unfuwah.

Saat pertempuran Yamamah dimulai, bermula dengan keadaan suram dan amat mengkhawatirkan. Khalid bin Walid menghimpun bala tentara Islam, lalu dibagi-baginya tugas untuk menempati beberapa kedudukan dan diserahkannya panji-panji kepada seseorang. Pilihan pemegang panji jatuh kepada Zaid bin Khaththab.

Bani Hanifah, pengikut Musailamah, berperang dengan berani dan mati-matian. Pada mulanya neraca pertempuran berat kepada pihak musuh, dan telah banyak di antara kaum muslimin yang gugur menemui syahid. Zaid melihat gejala turunnya mental dan gairah tempur merasuki hati sebagian kaum muslimin. Ia lalu mendaki sebuah tempat ketinggian dan berseru kepada teman-temannya:

“Wahai saudara-saudaraku… tabahkanlah hati kalian, gempur musuh, serang mereka habis-habisan. Demi Allah, aku tidak akan bicara lagi sebelum mereka dibinasakan Allah atau aku menemui-Nya, dan menyampaikan alasan-alasanku kepada hadirat-Nya!” kemudian ia turun dari tempat ketinggian itu dengan menggertakkan gerahamnya sambil mengatupkan kedua bibirnya tanpa menggerakkan lidahnya untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Ia memusatkan serangannya ke arah Rajjal. Diterobosnya barisan muruh seperti panah lepas dari busurnya, terus mencari Rajjal sampai kelihatan olehnya bayangan orang buruannya itu. Sekarang ia maju lagi menerjang ke kiri dan ke kanan.

Dan setiap bayangan orang buruannya itu ditelan gelombang manusia yang bertempur, Zaid berusaha mengejar dan mendekatinya lalu menghantamkan pedangnya. Tetapi gelombang manusia yang sangat hebat, menelan Rajjal sekali lagi, diikuti terus oleh Zaid yang menyusup di belakangnya agar manusia bedebah itu tidak luput dari tangannya. Dan akhirnya ia dapat membunuh orang yang penuh dengan kepalsuan dan kebohongan serta pengkhianatan itu.

Dengan tewasnya si pembuat kebohongan itu, mulailah berjatuhan pula tokoh-tokoh yang lain. Cemas dan takut menjalari Musailamah sendiri, begitupun Muhkam bin Thufail serta seluruh bala tentara Musailamah! Terbunuhnya Rajjal telah tersebar luas di kalangan mereka tak ubah bagai api berkobar ditiup angin kencang

Sebenarnya, Musailamah telah memberikan janji-janji yang muluk-muluk dengan kemenangan mutlak kepada para pengikutnya. Bersama bersama Rajjal bin `Unfuwah dan Muhkam bin Thufail, setelah kemenangan itu, ia akan membawa mereka ke masa depan gemilang dengan menebarkan agama dan membina kerajaan mereka.

Demikianlah Zaid inbul Khathtab telah menyebabkan kehancuran mutlak barisan Musailamah, si Nabi paslu itu.  Adapun orang-orang Islam sendiri begitu berita tewasnya Rajjal dan kawan-kawannya tersebar di antara mereka, maka tekad dan semangat mereka membesar seperti gunung, bahkan korban-korban yang luka bangkit lagi dengan pedangnya tanpa memperdulikan luka mereka.

Keberhasilan itu menambah rasa syukur Zaid kepada Allah swt. Ia menengadahkan tangannya kelangit, kiranya dirinya menemui syahid di medan peperangan yang lain.

Maka benarlah. Pada saat perang Yamamah berkecamuk, ia berjuang sangat keras, membunuh musuh sebanyak-banyaknya. Gerakan tubuhnya lincah memutar dan melompat bagai seekor burung Rajawali.

Kaum Muslimin berhasil mengalahkan musuh. Dan dalam peperangan ini Allah menentukan syahid untuk jiwa yang mulia Zaid bin Khaththab, untuk beristirahat dengan tenang bersama para pahlawan Islam lain yang lebih dahulu menghadap Ilahi.

Saat para pasukan perang Yamamah memasuki ke kota Madinah, disambut oleh Umar bin Khaththab dan khalifah Abu Bakar. Saat berita duka syahidnya Zaid disampaikan oleh seseorang, Umar berkata, “Rahmat Allah bagi Zaid. Ia mendahuluiku dengan dua kebaikan. Ia masuk Islam lebih dahulu dan ia syahid juga lebih dahulu.” (dikutip dari Majalah Hidayatullah, November 2000

Sumberwww.hidayatullah.com