expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

12/08/2020

PEKERJAAN SOSIAL PERSPEKTIF ISLAM DAN FILANTROPI (TRADISI, PRAKTIK DAN NILAI)


Samudrabiru – Buku ini bukanlah satu-satunya yang berbicara mengenai Pekerjaan Sosial dari sudut pandangan Islam, karena para pakar ilmu pekerjaan sosial muslim sudah banyak yang membahasnya dalam bentuk dan fokus kajian yang beragam.

Pengerjaan buku ini memakan waktu yang cukup lama terhitung sejak mulai digarap hingga terbitnya “kata pengantar” ini. Satu sisi, Ilmu Pekerjaan Sosial ini relatif masih muda, dan langkanya referensi Ilmu Pekerjaan Sosial yang spesifik dalam Islam pada sisi lain, menjadikan proses pengerjaan buku ini sedikit lamban—namun, hal itu tidak membuat penulis menyerah untuk terus berusaha menemukan nilai dan konsepnya. 
Hasilnya adalah apa yang terurai dalam buku ini, meski sekali lagi masih membutuhkan penelahan yang lebih tajam terutama istilah-istilah kunci yang spesifik membedakan antara Ilmu Pekerjaan Sosial Barat dengan Ilmu Pekerjaan Sosial Islam.
Fokus buku ini adalah seputar Nilai, Tradisi dan Praktik. Al-Qurān dijadikan sebagai sumber kajian nilai, sementara realitas sejarah sumber kajian tradisi dan praktik sekaligus, yakni realitas pada masa Nabi Yusuf (untuk mengukur tradisi dan praktik pekerjaan sosial pra-Islam) dan realitas masa Rasul Muhammad dan masa dinasti kerajaan Islam (Bani Umyyah, Abbasiyah dan Turki Usmani) ini bertujuan untuk melihat tradisi dan praktik pekerjaan sosial masa Islam). 
Hal ini dilakukan dalam upaya menemukan “nilai, tradisi & praktik” tersebut bagaimana sesungguhnya pekerjaan sosial atau pekerja sosial, sekaligus dalam Islam itu sendiri. Karena itu al-Qurān dan realitas sejarah tetap dilibatkan.
Sebagai tolak ukur dalam upaya menemukan tiga poin tadi untuk kemudian dikatakan sebagai sebuah perspektif dalam Islam, Ilmu Pekerjaan Sosial Barat tetap digunakan secara utuh. 
Karena itu, beberapa deskripsi konseptual dan / atau istilah-istilah kunci relevan yang tidak ditemukan dalam al-Qurān/Islam, deskripsinya tetap dikembalikan pada konsep asal yakni perspektif Barat. Hal itu karena sekali lagi, belum adanya rumusan spesifik dalam Islam itu sendiri, yang kaitannya dengan Ilmu Pekerjaan Sosial. 
Adapun beberapa literatur yang ditemukan, masih bersifat konfirmatif, apresiatif, asimilatif dan lain-lain. Sementara spesifiknya, seperti yang ada dalam Ilmu Pekerjaan Sosial itu sendiri, belum banyak. Jujur saja, termasuk buku ini sendiri, belum merepresentasikan Ilmu Pekerjaan Sosial yang benar-benar spesifik dalam Islam, karena itu, hanya memuat “nilai, tradisi dan praktik” hal ini sebagai pintu masuk pengembangan wacana dan penemuan istilah kunci, teori, dan metode sekaligus.
Jelas, jika menanyai “apakah pekerjaan sosial dalam Islam itu ada?” Jawabannya sudah jelas, yakni “ada”—secara “nilai, tradisi dan praktik”. Bahkan jika ditelusuri baik dalam sejarah Islam maupun al-Qurān, hampir semua memuat tentang apa yang dibicarakan dalam Ilmu Pekerjaan Sosial; pelayanan publik, pelayananan sosial, kesejahteraan sosial, kebijakan sosial, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sekaligus pengembangannya, dan lain-lain, begitu jelas ditemukan dalam Islam. 
Bahkan al-Qurān sendiri telah dinobatkan para ilmuan Barat sebagai buku terlengkap, komprehensif dan sempurna, karena materi-materi yang serba kompleks. Akan tetapi, jika bertanya mengenai konsep, teori, dan metode yang spesifik khususnya Ilmu Pekerjaan Sosial, maka jawabannya bermacam-macam, sebagai simbol bahwa ummat Islam belum banyak memfokuskan pada arah itu. 
Inilah juga salah satu kegelisahan Muhammad Gazali yang mengatakan, bahwa ummat belum mampu menentukan sasaran, gagasan dan perspektif al-Qurān tentang ilmu-ilmu sosial, karena hanya menjadikan al-Qurān sebagai kitab “pedoman pembinaan dalam hukum-hukum syar’i” serta menjadikan “sejarah masa lalu” hanya sebagai bahan hafalan, bukan yang lain. 
Padahal tambah Gazali, al-Qurān banyak mengandung ilmu-ilmu sosial, sains, dan lain-lain, dan al-Qurān sendiri banyak membutuhkan jawaban-jawaban sosiologis, antropologis, biologis, sains, dan lain-lain. Selain itu juga, ummat Islam memiliki pengalaman peradaban yang panjang dan mapan, dan Islam sendiri telah mengikuti perubahan-perubahan peradaban tersebut secara seksama. 
Psikologi, sosiologi, biologi, dan lain-lain adalah produk peradaban modern, dan peradaban modern sendiri berakar dari peradaban klasik. Ummat Islam sendiri telah memiliki peradaban tersebut, bahkan sebelum terbentuknya peradaban popular. Islam adalah agama Negara, agama keluarga, agama masyarakat, dan agama peradaban. 
Dan semua simbol peradaban, Islam memilikinya, sayang itu semua telah terkontaminasi. Tapi hal ini bisa terwujud, jika umat Islam tidak lagi berpikir jumud. Demikian simpulan yang bisa penulis tarik dari pernyataan Muhammad Gazali dalam bukunya, Kaifa Nata’amma ma’a al-Qurān.
Menarik pernyataan Muhammad Gazali di atas, karena itu pula buku ini mencoba membuka sedikit demi sedikit, bagaimana pekerjaan sosial itu dalam Islam. Sekali lagi, meski belum maksimal, paling tidak, pengetahuan nilai, tradisi dan praktiknya, sudah bisa ditangkap pembaca. 
Hal ini juga sekaligus memperkokoh tekad beramal soleh melalui profesi pekerjaan sosial—khususnya pekerja sosial Muslim. Di samping itu, juga menjadi referensi tambahan para mahasiswa di jurusan Ilmu Pekerjaan Sosial.
Buku ini banyak melihat beberapa perilaku sosial (individu, kelompok, dan masyarakat) dari tinjauan sosiologis, psikologis dan mencoba mengintegrasikan dengan beberapa tinjauan teori dan praktik ilmu pekerjaan sosial. 

Perlu diperhatikan kelahiran ilmu pekerjaan sosial telah didukung oleh kerangka pengetahuan sosiologis dan psikologis, artinya bahwa ilmu pekerjaan sosial tidak terlepas dari cara panjang dari keilmuan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Ram A. Cnaan, Robert J. Winwburg, dan Stephanie C. Boddie (1893:2-3), secara umum bahwa peran akan keberadaan agama merupakan bagian dari layanan sosial yang merupakan
sebuah ketetapan sebagaimana dalam berbagai literatur pekerjaan sosial terkait dengan afiliasi akan penerimaan pekerjaan sosial berbasis nilai-nilai keaagamaan. Hubungan agama dengan pekerjaan sosial merupakan akar atau pondasi dari penerapan akan nilai-nilai yang dianut dan apabila terjadi pemisahan antara pekerjaan sosial dengan agama akan membahayakan moral masyarakat dan juga akan mempesulit perkembangan ilmu pekerjaan sosial di masa mendatang.
Penulis yakin, di sana-sini masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi. Karena itu, saran dan kritik pembaca sangat berarti bagi penulis. Harapan besar, Allah membalas semua ini dengan balasan setimpal, semoga buku ini bermanfaat, amin.
Judul Buku : Pekerjaan Sosial Perspektif Islam dan Filantropi (Tradisi, Praktik dan Nilai)
Penulis : Abdul Najib
Penerbit : Samudra Biru
Cetakan : I Maret 2018
Dimensi : xiv + 268 hlm, 16 x 24 cm
Harga : Rp