expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

05/08/2020

POTRET KHILAFAH ALA MINHAJIN NUBUWAH



KIBLAT.NET – Semakin jauhnya umat Islam dari era khilafah membuat potret khilafah di mata umat menjadi semakin kabur. Semangat untuk mengusung ide khilafah adalah sesuatu yang bagus. Namun, semangat tersebut harus dibarengi dengan upaya untuk memperjelas potret khilafah.

Di antara jenis potret khilafah yang disebutkan hadits adalah khilafah ala minhajin nubuwwah.

Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah (Khilafah ala Nabi) adalah nama umum bagi bentuk khilafah yang dicita-citakan oleh kaum muslimin. Kalau begitu, adakah khilafah selain ala Nabi? Ya, ada. tapi bukan di sini kita membahasnya.
Membahas potret ideal khilafah, Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata :
وَذَكَرَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَحْمَد عَنْ الْخِلَافَةِ فَقَالَ : كُلُّ بَيْعَةٍ كَانَتْ بِالْمَدِينَةِ فَهِيَ خِلَافَةُ نُبُوَّةٍ لَنَا
Artinya, “Disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada imam Ahman tentang khilafah, beliau menjawab, “Setiap baiat yang terjadi di Madinah adalah khilafah ala minhajin nubuwwah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 35/26)
Mengomentari hal ini Imam Zarkasyi berkata, “menurut Imam Ahmad, apa yang disunnahkan oleh khulafa’ rasyidin adalah hujjah yang wajib diikuti. Dan Imam Ahmad berkata, “Setiap baiat yang telah terjadi di Madinah, maka itu adalah khilafah nubuwwah.” Dan sudah diketahui bersama bahwa pembaiatan Ash Shiddiq (Abu Bakar), Umar, Utsman dan Ali –radiyallahu anhum- terjadi di Madinah. Adapun setelah itu tidak ada lagi baiat (khilafah) di Madinah.” (Al Bahrul Muhith fi Ushulil Fiqh 3/531)
Maka setiap baiat yang sesuai dengan tata cara baiat-baiat para khulafa’ rasyidin maka itu adalah baiat khilafah nubuwwah. Dan setiap baiat yang menyelisihi tata cara (minhaj) baiat khulafa’ur rasyidin, maka bukan baiat ala minhajin nubuwwah.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa rule model khilafah ala minhajin nubuwwah adalah era khulafaur rasyidin.
Allah SWT berfirman :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ
Artinya, “Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman di antara kamu dan beramal sholih bahwa Dia (Allah) sunguh-sungguh akan menjadikan kalian khalifah di muka bumi, sebagaimana Allah menjadikan Allah menjadikan orang-orang sebelum kalian berkuasa….” (QS An Nuur : 55)
Di dalam ayat ini Allah berjanji kepada orang-orang beriman untuk memberikan mereka kekuasaan, tentunya jika terpenuhi syarat dan pra syarat untuk itu, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat. Janji Allah ini kemudian terwujud pada era para khulafaur rasyidin, sebagaimana yang disebutkan oleh syaikh Hakim Al-Mathiri.

Rasulullah SAW bersabda :
فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين ، عضّوا عليها بالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل بدعة ضلالة
Artinya, “Sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian akan melihat perbedaan yang banyak. Berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk. Gigitlah dengan gigigeraham. Jauhi oleh kalian perkara yang diada-adakan karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi dan hadits hasan shohih)
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي مِنْ أَصْحَابِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
Artinya, “Dari Ibnu Mas’ud berkata, Rasulullah SAW bersabda, “ikutilah oleh kalian dua orang sesudahku dari kalangan sahabatku, yaitu Abu Bakar dan Umar..” (HR Tirmidzi)
عن سفينة مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك))
Artinya, “Dari Safinah, mantan budak Rasul berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Khilafah pada umatku selama 30 tahun, kemudian setelah itu sistem kerajaan.” (HR Tirmidzi dan dishahihkan oleh Albani)
Ayat dan hadits di atas memberikan isyarat akan wajibnya melazimi sunnah khulafaur rasyidin dalam pemerintahan dan mengatur urusan umat. Karena pada masa pemerintahan merekalah kita bisa menyaksikan ayat-ayat politik Islam itu diimplementasikan dalam ruang waktu.
Dr Hakim Al-Mathiri menambahkan, bahkan saat pemilihan khalifah ke-tiga menyisakan 2 calon, yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, para sahabat mensyaratkan kepada keduanya bahwa siapapun yang terpilih haruslah menjalan pemerintahan berdasarkan sunnah dua khalifah sebelumnya. Kemudian terpilihlah Utsman bin Affan dan para sahabat membaiat beliau berdasarkan syarat di atas.
Unsur lain yang membuat masa khilafah rasyidah sah sebagai rule mode adalah cakupan wilayah yang dikuasai saat itu. Pada era Utsman bin Affan dikenal sebagai era pembebasan, pada saat itu wilayah kekuasaannya membentang dari India hingga Maroko. Sebuah kekuasaan lintas benua yang mampu menerapkan ayat-ayat politik Islam dalam realitas umat Islam.
Tak hanya itu, era khilafah rasyidah juga menjadi tolak ukur kinerja para khalifah sesudahnya walaupun sudah tidak disebut khilafah rasyidah lagi, mulai dari daulah Umawiyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Para khalifah yang terkenal adil seperti  Umar bin Abdul Azis, Al-Mu’tadhid, Al-Mustadhi, An-Nashir, Sholahuddin, Nuruddin Zinki, Yusuf bin Tasyfin, Muhammad Al Fatih dan para khalifah yang adil lainnya, tidaklah mereka berbuat adil kecuali mereka berusaha untuk menjadikan khulafaur rasyidin sebagai teladan dan parameter. Sehingga mereka adalah para khalifah (raja) yang terkenal dengan keadilan dan prinsip syuronya. (disarikan dari buku “Ma’alim Daulah Rasyidah, Dr Hakim Al-Mathiri)

Pemaparan di atas memberikan kita kesimpulan bahwa praktek bernegara dan politik khulafaur rasyidin taken for granted dan finished project sebagai sebuah pengejawantahan ayat-ayat politik Islam.
Ciri Penting Khilafah ala Minhajin Nubuwwah.
Ciri terpenting khilafah nubuwwah adalah berhukum dengan syariat. Dan orang yang diajak untuk mentaati syariat itu berkata ‘kami dengar dan kami taati’. Sebagai praktek dari firman Allah swt :
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An Nur : 51)
Imam Al Mawardi –rahimahullah– berkata bahwa kewajiban seorang khalifah itu ada 10, secara ringkas yaitu, Menjaga akidah, menyelesaikan perselisihan, menebar keamanan, menerapkan hudud (hukum pidana Islam), menjaga perbatasan, memerangi musuh, menarik fai’ dan (sedekah dan zakat), menentukan jumlah santunan dan mendistribusikannya, mengangkat wali (gubernur, menteri, pegawai) yang amanah, terlibat langsung mengurusi negara.
Kemudian Imam Al Mawardi berkata, “Apabila seorang Imam melakukan apa yang telah kami sebutkan (10 poin di atas) yang merupakan hak-hak umat, maka dia telah menunaikan hak Allah yang berupa hak sekaligus kewajiban rakyat, maka seorang imam memiliki 2 hak, yaitu hak ketaatan dan pertolongan selama keadaan imam tidak berubah.”(Al Ahkam As Sulthoniyah, Al Mawardi, hal 28)
Di dalam nukilan di atas imam Abul Hasan Al Mawardi menyebutkan bahwa hak seorang imam untuk ditaati dan diberikan pertolongan erat kaitannya dengan sejauh mana sang khalifah memenuhi kewajibannya terhadap umat. 

Bagaimana Cara Memilih Khalifah Sesuai Syariat
Jabatan khilafah harus berdasarkan ridha kaum muslimin. Inilah metode terpilihnya khulafa’ur rasyidin, baik dengan cara pemilihan (ikhtiyar) ataupun penunjukan (istikhlaf).
Abu Bakar Ash Shiddiq –radiyallahu anhu– saat beliau menyampaikan hujjah kepada kaum Anshar –radiyallahu anhum- beliau berkata di riwayat Bukhari, “Perkara ini (khilafah) tidak layak kecuali bagi suku Quraisy”.(HR Bukhari)
Di dalam Mushnnaf Abdurrazzaq, “Perkara ini (khilafah) tidak layak bagi Arab kecuali dari suku Quraisy, mereka adalah bangsa Arab yang kediaman mereka di tengah-tengah (menjadi pusat) dan paling baik nasabnya.”(Mushannaf Abdurrazzaq, Kitab Al Maghazi, Baiatu Abu Bakar Ash Shiddiq di Saqifah Bani Saidah, hadits no. 9758 , 5/439)
Abdullah bin Abbas meriwayatkan atsar yang begitu panjang tentang adanya orang-orang yang ingin membaiat tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin. Hingga kemudian Umar mengumpukan mereka di Madinah dan berkata :
Artinya,“Barangsiapa membai’at seseorang tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin, niscaya orang tersebut tidak boleh dibaiat dan begitu juga orang yang membaiat dirinya, karena ia telah mempertaruhkan keduanya untuk dibunuh. (HR Bukhori)
Di dalam riwayat lain di Mushannaf Ibnu Abi Syaibah –rahimahullah-, “Sesungguhnya tidak ada khilafah kecuali hasil musyawarah.”(Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Kitab Al Maghazi, Bab Ma ja’a fi khilafati Abi Bakr wa siratuhu fir riddah, hadits no 38.167, 14/563.)
Di dalam riwayat Imam Ahmad –rahimahullah– dengan sanad yang shahih sesuai syarat Muslim, “Barangsiapa membaiat seorang amir(khalifah) tanpa permusyawaratan dari kaum muslimin maka tidak sah baiat kepadanya dan juga baiat orang yang membaiatnya, karena dia telah mempertaruhkan keduanya untuk di bunuh.” (Musnad Ahmad bin Hanbal, Umar bin Khattab, hadits 391, 1/55)
Khutbah ini disampaikan oleh Umar di kota Nabi. Madinah sebagai tempat tinggalnya para pemimin umat, ahlussunnah, fikih dan ilmu. Sebagaimana diingatkan oleh Abdurrahman bin Auf (untuk menyampaikan  hal ini di Madinah).
Umar juga telah mengingatkan kepada kaum muslimin akan urgensinya hal ini. Umar meminta kepada siapa yang memahami isi khutbahnya agar menyampaikannya semampunya. Ini adalah kejadian besar dan penting. Khutbah ini disampaikan di hadapan para sahabat yang sangat banyak, mereka adalah ahlul halli wal aqdi dan tidak ada sahabat yang menyelisihinya, dan diriwayatkan di kitab sunnah yang paling shahih. Khutbah ini hampir seperti ijma’ atau konsensus para sahabat –radiyallahu anhum- yang tidak ada seorangpun yang menyelisihi.
Di dalam khutbah yang sangat penting ini Umar mengingatkan akan perkara-perkara penting :
  1. Barangsiapa yang membaiat seseorang tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin, maka dia telah merampas hak kaum muslimin.
  2. Wajibnya mengingatkan umat akan (bahaya) orang yang seperti ini.
  3. Tidak ada baiat baginya dan tidak diakui pula baiat orang yang membaiatnya.
  4. Apa yang dia lakukan tidak oleh diikuti.
  5. Baiat Abu Bakar Ash Shiddiq adalah baiat yang dilukan oleh mayoritas Muhajirin dan Anshar.
  6. Sesungguhnya Ahlul halli wal aqdi itu adalah dari kalangan ahlu fikih, ahlul ilmi dan para tokoh dan orang yang memiliki kekuatan islam dari kalangan sahabat –radiyallhu anhum- yang berada di Madinah. Bukan orang-orang yang tidak diketahui yang nama, kunyah, dan jumlahnya tidak diketahui dan juga memonopoli hak kaum muslimin dalam menentukan khilafah.

Umar bin Khattab berkata lagi di Mushannaf Abdurrazzaq, “Kepemimpinan itu adalah syuro.”(Mushannaf Abdurrazzaq, Kitab Al Maghazi, Baiatu Abu Bakar Ash Shiddiq di Saqifah Bani Saidah, hadits no. 9760, 5/446)
Imam Al Baihaqi –rahimahullah– di dalam sunan al kubra berkata, bahwa Umar bin Khattab –radiyallhu anhu- berkata kepada para sahabat saat beliau sedang sekarat, ”Jangan terburu-buru, jika sesuatu terjadi denganku (meninggal) hendaklah yang jadi imam Shuhaib Maula (bekas budak) bani Jud’an selama 3 hari. Kemudian pada hari ke tiga hendaklah berkumpul para tokoh dan para komandan pasukan dan jadikanlah pemimpin salah satu dari kalian. Barangsiapa yang menjadi amir (khalifah) tanpa melalui musyawarah maka pukullah lehernya (bunuhlah).”As Sunan Al Kubra Al Baihaqi, Kitab Qital ahlul baghyi, bab ‘man ja’alal amra syuro bainal mustaslihina lahu, hadits no. 17.022, 8/151)
Terkait baiat Utsman –radiyallahu anhu– . Abdurahman bin Auf berkata kepada Ali –radiyallahu anhuma- di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari –rahimahullah- Amma ba’du, “Wahai Ali, saya telah meminta pendapat manusia, saya melihat mereka tidak berpaling dari Utsman, maka jangan kau membuat jalan bagi dirimu”. Kemudian Abdurrahman bin Auf berkata, “Saya membaiatmu atas sunnah Allah, rasulnya dan dua khalifah setelahnya.” Abdurrahman bin Auf membaiatnya dan manusia dari kalangan Muhajrin, Anshar, komandan pasukan, dan kaum muslimin membaiatnya.” (HR Bukhori)
Inilah sirah khulafa’ur rasyidin –radiyallahu anhum- Bahwa sesungguhnya mayoritas umatlah –yang direpresentasikan oleh ahlul halli wal aqdi, apabila mereka setuju, maka umat setuju, namun apabila mereka menolak maka umat menolak juga- yang memilih khalifah mereka dari kumpulan orang-orang yang layak menjadi khalifah.
Sifat yang Penting Dimiliki oleh Seorang Khalifah
Untuk menjadi seorang khalifah ada syarat-syarat yang telah disebutkan oleh fuqaha’. Akan tetapi saya akan fokus kepada satu syarat saja, Karena syarat ini banyak hilang dari pikiran manusia hari ini. Yaitu sifat adil (‘adalah) yang terpenuhi semua syarat adil tersebut.
Sifat adil adalah syarat dari setiap perwalian syar’i (wilayah syar’iyah), oleh karena itu sifat adil adalah syarat bagi ahlul halli wal aqdi dan orang yang dicalonkan sebagai khalifah. Adapun seseorang yang majhul (tidak diketahui), atau cacat sifat adilnya, maka dia tidak layak untuk memiliki hak perwalian (kekuasaan) apapun. Jelas dia tidak memenuhi syarat untuk menjadi ahlul halli wal aqdi apalagi menjadi seorang khalifah. Oleh karena itu Allah swt berfirman, Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.(QS Al Baqarah : 124)

Al-Qurtubi meriwayatkan dari Ibnu Khuwaiz Mindad –rahimahumallahu- di dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Khuwaiz berkata, “Setiap orang zalim, maka dia tidak layak menjadi nabi, khalifah, penguasa, mufti, imam shalat dan riwayat yang diriwayatkannya dari ulama tidak diterima, begitu juga dengan kesaksiannya dalam menentukan hukuman.” (Tafsir Al-Qurtubi 2/191)
Sifat adil inilah yang menghiasi kekhalifahan para khulafaur rasyidin. Mulai dari Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib. Dan mereka juga megingatkan kepada para gubernur mereka untuk berlaku adil kepada rakyatnya. Kita tentu ingat bagaimana seorang Umar bin Khotthob mengingatkan seorang Amru bin Ash agar berlaku adil.
Bukankah ada para khalifah yang tidak berlaku adil? Ada, tetapi bukanlah khulafa’ur rasyidin. Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan khalifah yang tidak adil. Ada yang berpendapat, jika kefasikannya (ketidakadilan) sejak awal sebelum dia diangkat, maka dia tidak boleh diangkat sebagai khalifah.
Qadhi Iyadh berkata, “Dan kekhalifahan tidak boleh diberikan kepada orang yang fasik sejak awal pengangkatan.” (Syarhun Nawawi Ala Shohih Muslim 12/229)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Mujahid berkata,“Sesungguhnya Allah menginginkan bahwa orang zalim tidak boleh diangkat menjadi imam.” (Ahkamul Qur’an Al-Jashshosh 1/69)
Sifat adil saja disyaratkan untuk seorang yang melakukan persaksian di pengadilan syariat, padahal hanya berkaitan hajat satu atau dua orang saja. Apalagi jabatan khilafah yang hajat kaum muslimin berada di bawah tanggung jawabnya.
Syarat ini berlaku jika pemilihan khilafah berjalan secara normal, baik dengan cara istikhlaf (penunjukan) atau ikhtiyar (dipilih oleh ahlul halli wal aqdi). Jika kondisi tidak normal, entah itu karena sulit menemukan seorang khalifah yang adil atau seorang yang menjadi khalifah lewat jalur kudeta, maka jika dia seorang fasik tetap sah kekhilafahannya. Hal ini dikarenakan mafsadat yang ditimbulkan jika kaum muslimin tidak memiliki khalifah. Maka khalifah yang fasik lebih sedikit madhorotnya dari tidak adanya khalifah.
Wallahu a’lam
Penulis : Aiman
Editor : Arju

Sumber : www.kiblat.net