expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

28/04/2020

PERTANDA KIAMAT-MARAKNYA FENOMENA KEMUSYRIKAN

لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلَ مِنْ أُمَّتِيْ بِالْمُشْرِكِيْنَ وَ حَتَّى يَعْبُدُوْا الْاَوْثَانَ

Hari kiamat tidak akan datang sebelum beberapa kelompok dari umatku ini ada yang bergabung dengan orang-orang musyrik sampai-sampai mereka pun turut menyembah berhala-berhala mereka. (HR. Abu Dawud, Al-Fitan wal Malahim, hadits no. 4232. Dari Tsauban رضي الله عنه).
Pertanda ini muncul pertama kali pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar رضي الله عن yaitu ketika banyak kabilah yang kembali menyembah berhala setelah wafatnya Rasulullah صلى الله عليه وسام
Namun kelompok musyrik tersebut berhasil dibasmi pada saat Perang Riddah. Lambat laun, muncullah fenomena musyrik lainnya seperti pengeramatan terhadap kuburan dan berbagai tempat ziarah. Mereka menganggap bahwa makam-makam tersebut bisa mendatangkan keuntungan. Bahkan di antara mereka menjadikan kuburan menjadi wasilah berdoa. Hal yang sama dengan yang dilakukan kaum kafir Quraiys ketika menjadikan berhala sebagai wasilah dalam beribadah kepada Allah.
Pada zaman modern ini, kemusyrikan yang baru terus bermunculan. Munculnya sekulerisme (memisahkan kehidupan dari Agama) berimbas kepada munculnya berbagai macam hurriyyah (Kebebasan). Di antaranya kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan yang lainnya. Di antara kebebeasan-kebebasan tersebut, termasuk kebebasan manusia dalam merumuskan hukum di luar ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسام. Padahal sebagaimana kita ketahui, hak membuat hukum hanyalah milik Allah dan manusia wajib berhukum hanya kepada hukum Allah sebagai konsekuensi dari Tauhid Ubudiyah.

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّه

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS. Al-An’am: 57)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Ma’idah: 44)
Sistem Demokrasi memberikan hak kepada manusia untuk membuat hukum dan menjadikan suara terbanyak sebagai pemutus terhadap perkara yang diperselisihkan. Hal ini membuat manusia bisa menghalalkan yang haram atau pun mengharamkan yang halal. Mereka di parlemen itu mempermasalahkan yang sudah jelas haram dan yang sudah jelas halal dengan memvotingnya sesuai hawa nafsu mereka.

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al-An’am: 116)
Hal ini pulalah yang dilakukan orang-orang Yahudi yakni beribadah kepada Rahib-rahib mereka. Allah berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (QS. At Taubah : 31)
Rasulullah صلى الله عليه وسام bersabda:
Ayat ini ditafsirkan dengan hadits Adi bin Hatim Ath Thoo-i radhiyallahu ‘anhu dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut kepada beliau. Kemudian beliau berkata : “Wahai Rasulullah, kami tidaklah beribadah kepada mereka”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أليس يحلون لكم ما حرم الله فتحلونه، ويحرمون ما أحل الله فتحرمونه؟

Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan sehingga kalianpun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan sehingga kalian mengharamkannya?”. Beliau (Adi bin Hatim) berkata : “Benar”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فتلك عبادتهم

Itulah (yang dimaksud) beribadah kepada mereka” (Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan mengatakan : “Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan beliau menilainya hasan, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Abi Hatim, dan Ath Thabrani dari banyak jalur”. Lihat Fathul Majid hal. 109,  Daarus Salam)
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut menafsirkan bahwa maksud “menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” bukanlah maknanya ruku’ dan sujud kepada mereka. Akan tetapi maknanya adalah mentaati mereka dalam mengubah hukum Allah dan mengganti syari’at Allah dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Perbuatan tersebut dianggap sebagai bentuk beribadah kepada mereka selain kepada Allah dimana mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah tersebut sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam masalah menetapkan syari’at.
Barangsiapa yang mentaati mereka dalam hal tersebut, maka sungguh dia telah menjadikan mereka sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam menetapkan syari’at serta menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Ini adalah syirik besar”
Padahal Allah telah berfirman jika kita berselisih terhadap suatu perkara, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Jika kalian berselisih paham dalam suatu perkara, hendaklah kalian merujuk kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) (QS an-Nisa’: 59).
Dan perlu diketahui juga bahwa sistem demokrasi adalah buah dari munculnya pemisahan gereja dan pemerintahan di Eropa pada abad ke 18. Pada saat itu suara gereja adalah suara Tuhan. Namun karena gereja melakukan penyelewengan kekuasaan dan semena-mena terhadap rakyat serta para cendekiawan, maka dialihkanlah kekuasaan tersebut kepada rakyat, maka dikenallah “Suara Rakyat, Suara Tuhan”. Ini adalah kekufuran, karena suara manusia berbeda dengan Tuhan. Karena manusia berdasarkan hawa nafsu sedangkan Allah adalah Tuhan Al-Khaliqu Al-Mudabbir, yang Maha Menciptakan dan Maha Mengatur. Dia yang menciptakan manusia dan hanya Dia-lah yang berhak mengatur karena hanya Dia yang Maha Mengetahui mana yang buruk dan mana yang baik untuk manusia.
Maka sudah sepantasnya lah kita sebagai manusia yang diciptakan dari setetes air yang hina, hanya tunduk dan beribadah kepada Allah semata serta menjauhi perkara-perkara yang dapat menjerumuskan kepada kemusyrikan. Karena syirik adalah dosa yang tidak bisa diampuni dan membuat pelakunya kekal di neraka kecuali jika pelakunya bertaubat sebelum ajalnya.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48).
Allaahu a’lam bish showaab