expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

05/12/2019

IRONIS, MASALAH KESEJAHTERAAN GURU HONORER TAK KUNJUNG SELESAI


"Dari teks pidato yang beredar di media, saya perhatikan Mendikbud lebih banyak memberikan “arahan” ketimbang “penghargaan” kepada para guru"
Hidayatullah.com– Ironis, meski sudah 25 tahun Indonesia memperingati Hari Guru Nasional, kesejahteraan guru masih menjadi isu nasional yang tidak kunjung terselesaikan, kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon.

“Dalam naskah pidato Mendikbud untuk memperingati Hari Guru tahun ini, saya melihat, kesejahteraan guru juga belum menjadi perhatian utama. Dari teks pidato yang beredar di media, saya perhatikan Mendikbud lebih banyak memberikan “arahan” ketimbang “penghargaan” kepada para guru. Padahal, semangat utama peringatan Hari Guru bertujuan agar semua pihak, terutama pemerintah, untuk menghormati, mengapresiasi, dan meningkatkan kesejahteraan guru,” ujar Fadli dalam rilisnya diterima di Jakarta, Senin (25/11/2019).
Tapi sayangnya, kata dia, pesan tersebut tak tercermin dalam pidato Mendikbud tahun ini. Tentunya, ini patut menjadi pertanyaan kita bersama, kenapa isu kesejahteraan guru tidak ada dalam public address Mendikbud?
Diketahui, peringatan Hari Guru Nasional secara resmi dimulai sejak tahun 1994 melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.
Menurut Fadli, kunci pendidikan terletak pada kualitas tenaga pengajar. Hanya saja, hingga saat ini, pemerintah belum secara serius mengatasi problem kesejahteraan guru, terutama guru honorer.
Padahal, Indonesia saat ini bisa dikatakan mengalami darurat guru. Berdasarkan data Kemendikbud, guru PNS saat ini berjumlah 1,3 juta orang. Sementara kebutuhan guru se-Indonesia mencapai 2.1 juta. Angka ini akan semakin meningkat, mengingat pada tahun ini terdapat 52 ribu guru PNS akan pensiun.
Sebagian kekurangan tersebut coba ditutupi dengan guru berstatus P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Dan sisanya, sebanyak 746.121 guru coba dipenuhi oleh pemerintah melalui guru honorer. Namun, keberadaan guru berstatus honorer, menurut Fadli, bukannya menyelesaikan masalah tapi justru memunculkan masalah baru, di mana kesejahteraan guru honorer ternyata masih sangat jauh dari layak.
“Pada Juli lalu, misalnya, kita dikejutkan dengan kabar seorang guru di Pandeglang dengan honor Rp 350 ribu per bulan, yang terpaksa tinggal di toilet sekolah. Atau guru honorer di Samarinda yang sudah 10 tahun mengajar, namun bertahan dengan gaji Rp 800 ribu per bulan. Kisah tersebut bisa jadi hanya fenomena gunung es saja. Realita di lapangan, tentunya lebih banyak lagi,” ungkapnya.
Ketua BKSAP (Badan Kerjasama Antar Parlemen) DPR RI ini memberi catatan bahwa pemerintah memang memiliki rencana untuk mengatasi problem tersebut. Tahun lalu, misalnya, pemerintah menyatakan akan mengangkat minimal 110 ribu guru honorer di seluruh Indonesia setiap tahunnya. Namun sayangya, rencana tersebut tidak didukung oleh komitmen yang kuat.
Bulan lalu, Menko Pembangunan dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyatakan tahun ini sebenarnya ada kuota 156 ribu pengangkatan guru PNS. Tapi sayangnya, menurut pemerintah, kuota tersebut tak bisa dipenuhi lantaran banyak guru honorer tidak memenuhi syarat.
“Jika sikap seperti itu yang selalu dikedepankan, menurut saya, pemerintah memang setengah hati memperhatikan guru honorer. Kalau kuota tersedia, dan secara riil tenaga guru honorer juga dibutuhkan, kenapa statusnya untuk menjadi PNS dipersulit?” ungkapnya.
Menurutnya, jika pemerintah serius dengan nasib guru honorer, semestinya ada prioritas. Jangan sampai, upaya para guru honorer mengubah nasib, dihambat hanya karena persyaratan administrasi dan tes yang kerap bersifat formalitas, sementara negara tetap menggunakan mereka dengan kesejahteraan yang minim.
Jika demikian, dimana letak apresiasi pemerintah terhadap nasib guru honorer? Guru honorer seperti dieksploitasi, padahal banyak dari mereka telah mengajar dan mendidik belasan bahkan puluhan tahun.
“Hari Guru tahun ini, semestinya menjadi momentum bagi pemerintah untuk menyelesaikan problem kesejahteraan guru honorer yang kerap terkatung-katung. Bangsa yang abai terhadap guru, pasti akan sulit maju. Karena kualitas generasi penerus salah satunya ditentukan oleh bagaimana negara tersebut mengapresiasi profesi guru. Kualitas generasi harusnya sejalan dengan upaya memprioritaskan sumber daya manusia unggulan,” pungkas mantan Wakil Ketua DPR RI ini.*