Dakwatuna.com - Salah satu keistimewaan al-Quran adalah bahwa ia sampai ke tangan kita dengan riwayat yang mutawatir. Artinya, al-Quran ditransmisikan dari generasi ke generasi oleh orang dalam jumlah yang banyak dan mustahil terjadi kebohongan. Bahkan, sedemikian pentingnya periwayatan itu, apabila ada bacaan (atau pemahaman) yang secara logika terlihat lebih dekat pada kebenaran, bacaan atau pemahaman itu tetap wajib ditolak.
Contoh Pertama
Dalam surah al-A’raf, Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.” (QS al-A’raf 40).
Mayoritas ulama qiraat membaca ayat tersebut sebagaimana kita dapati dalam mushaf yang sekarang ini kita miliki. Hanya saja, di kalangan mayoritas itu-pun, ada sedikit perbedaan ketika membaca kata “f-t-h”. Sebagian membaca dengan huruf ت sehingga terbaca, (تفتح) dan sebagian lain membaca dengan huruf ي sehingga terbaca (يفتح).
Dengan merujuk pendapat Ibn Ja’far, Imam At-Thabari dalam tafsirnya menyimpulkan, baik bacaan dengan huruf “ta” atau “ya” keduanya dapat dibenarkan, sebab memiliki riwayat yang shahih dan tidak mengubah makna. Apabila dibaca dengan menggunakan huruf “ت”, maka itu berarti “pintu-pintu langit tidak ada yang dibuka satu persatu”. Sementara jika dibaca dengan huruf “ي”, maka semua pintu langit tidak dibuka untuk ruh orang-orang kafir secara serentak.
Perbedaan kedua dalam hal qiraat adalah pada kata “j-m-l” (الجمل). Mayoritas ahli qiraat membaca ayat tersebut sebagai “الجَمَل” yang berarti unta. Ketika ditanya, apa maksud kata الجمل di ayat itu, Ibn Mas’ud menjawab, هو زوج الناقة “dia adalah pasangan unta perempuan”. Karena itu, terjemahan yang populer berbunyi, “hingga unta masuk ke lubang jarum”. Maksudnya adalah, bahwa orang kafir mustahil masuk surga sebagaimana mustahilnya unta masuk ke lubang jarum.
Sedangkan Ibnu Abbas membaca, “الجُمَل” yang berarti tambang yang besar (dadung) yang biasa digunakan untuk menarik kapal ke dermaga. Jadi, jika merujuk pada riwayat Ibn Abbas, ayat tersebut (dapat) diterjemahkan sebagai, “hingga tambang masuk ke lubang jarum”. Bacaan Ibn Abbas ini seakan lebih tepat sebab pasangan asli jarum adalah benang, maka membandingkannya dengan unta seakan berlebihan.
Karena itu pula, ketika membaca surah al-Mursaalat,
إِنَّهَا تَرْمِي بِشَرَرٍ كَالْقَصْر * كَأَنَّهُ جمَالَةٌ صُفْرٌ
Ibnu Abbas men-dhomah-kan hurf ج yang artinya, “sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana (*) seperti gulungan tambang yang berwarna kuning”.
Namun demikian, riwayat Ibn Abbas ini riwayat yang syadz (aneh), karena itu tidak diikuti oleh para ahli qiraat baik dari kelompok Kufah atau Madinah.
Contoh kedua:
Dalam surah al-Ghasyiyah, Allah SWT berfirman,
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17)وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan
Pada ayat ke-17 itu, ada yang membaca kata الابل dengan tasydid (berat). Akibatnya, maknanya menjadi berbeda, bukan lagi “unta” tetapi “gumpalan awan”. Sekilas, orang akan mengatakan bacaan dengan mentasydid lebih cocok sebab pada ayat berikutnya Allah menjelaskan tentang penciptaan langit, gunung, dan bumi, mengapa kok di awalnya “unta” bukan “awan”. Tetapi, sekali lagi, al-Quran ini sampai ke tangan kita dengan riwayat sehingga, mengutip Imam Al-Qurtubi, bacaan dan pemahaman tersebut tak dapat diterima.
Demikian semoga bermanfaat. (dakwatuna/hdn)
Sumber: http://www.dakwatuna.com/