expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

16/11/2020

ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ DI MEDAN JIHAD



Para sejarahwan dan ilmuan sirah menuturkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq ikut bersama-sama Rasulullah dalam Perang Badar dan dalam berbagai pertempuran semuanya, tanpa pernah absen sekalipun. Pada Perang Uhud, ketika para pasukan yang lain berlarian, namun tidak demikian halnya dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia tetap tegar bertahan bersama Rasulullah pada perang Tabuk, Rasulullah menyerahkan panji beliau yang paling besar dan berwarna hitam kepadanya.

Ibnu Katsir menuturkan, para ulama sirah tidak lagi berselisih bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak pernah sekali pun absen pada semua peperangan.

Az-Zamakhsyari mengatakan, “Sesungguhnya Abu Bakar Ash-Shiddiq selalu disertakan dengan Rasulullah selamanya. Ia berteman dengan beliau sejak kecil, menginfakkan hartanya ketika sudah besar, menyertai beliau ke Madinah dengan unta dan perbekalannya, senantiasa menginfakkan hartanya kepada beliau selama kehidupan beliau, istri beliau ada putrinya, senantiasa menyertai beliau baik di saat menetap maupun di saat bepergian, lalu ketika beliau meninggal, maka beliau dimakamkan di bilik Aisyah yang merupakan perempuan yang paling beliau cintai.”

Diriwayatkan oleh Salamah bin Al-Akwa’, “Saya berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali peperangan. Saya menjadi bagian dari pasukan yang dikirim dalam sembilan kali peperangan, sedangkan panglimanya bergantian, sesekali Abu Bakar Ash-Shiddiq dan sesekali Usamah.”

Dalam kajian ini, kami akan berusaha untuk melacak kehidupan jihad Abu Bakar Ash-Shiddiq bersama Rasulullah, supaya kita bisa melihat bagaimana Abu Bakar Ash-Shiddiq berjihad dengan jiwa, harta, dan pikirannya dalam membela agama Allah.

Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Perang Badar Al-Kubra

Abu Bakar Ash-Shiddiq ikut terjun langsung dalam Perang Badar yang terjadi pada tahun kedua hijriyah. Dalam perang Badar ini, Abu Bakar Ash-Shiddiq memiliki sejumlah sepak terjang yang populer, yang di antaranya yang terpenting adalah:

  • Memberikan pandangan dan pertimbangan menyangkut perang.

Ketika Rasulullah menerima berita kalau karavan ternyata selamat dan sikap para tokoh dan pemuka Makkah yang bersikeras untuk melancarkan perang terhadap beliau, maka beliau pun bermusyawarah dengan para sahabat. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun berdiri dan menyampaikan pandangan dan pertimbangannya dengan baik. Kemudian Umar bin Al-Khathab pun berdiri dan mengutarakan pandangan dan pertimbangannya dengan baik pula.

  • Peran Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam misi investigasi bersama Rasulullah untuk mengetahui hal ihwal pasukan musyrikin.

Rasulullah ditemani Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukan penyelidikan dan investigasi untuk mengetahui hal ihwal pasukan musyrikin. Ketika sedang berkeliling di daerah tersebut, beliau berdua bertemu dengan seorang laki-laki tua dari Arab. Lalu Rasulullah mencoba menggali informasi dari laki-laki itu tentang pasukan Quraisy, serta bertanya kepadanya apakah dirinya mengetahui tentang Muhammad dan para sahabatnya berikut informasi-informasi yang ia miliki tentang mereka. Lalu laki-laki itu berkata, “Aku tidak akan memberikan informasi apa pun kepada kalian berdua hingga kalian memberitahukan kepadaku dari mana kalian berasal.” Rasulullah pun berkata kepadanya, “Jika kamu mau memberi tahu kami, maka kami akan memberi tahu kamu.” Laki-laki itu berkata, “Benarkah demikian?” Beliau menjawab, “Ya.”

Lalu laki-laki itu berkata, “Telah sampai kepadaku informasi bahwa Muhammad dan para sahabatnya berangkat pada hari demikian dan demikian. Jika orang yang memberiku informasi tersebut benar, maka berarti Muhammad dan para sahabatnya pada hari ini sudah berada di tempat demikian dan demikian. Aku juga mendapatkan informasi bahwa Quraisy berangkat pada hari demikian dan demikian. Jika orang yang memberiku informasi memang benar, maka berarti mereka hari ini telah berada di tempat demikian dan demikian (ternyata prediksinya memang benar).” Kemudian ia kembali berkata, “Aku telah memberi kalian informasi yang kalian inginkan, maka sekarang beritahu aku dari manakah kalian berdua?” Lalu Rasulullah berkata, “Kami dari air.” Lalu Rasulullah dan Abu Bakar Ash-Shiddiq pun pergi, sedang laki-laki itu berkata, “Apa maksudnya dari air? Apakah dari air Irak?”

Dalam kejadian di atas, terlihat jelas kedekatan Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan Rasulullah. Abu Bakar Ash-Shiddiq mendapatkan banyak pelajaran dari Rasulullah.

  • Menjaga Rasulullah dalam ’arisy beliau.

Ketika mengatur barisan pasukan, Rasulullah kembali ke tempat di mana beliau menjalankan komando, yaitu ’arisy, semacam tenda yang terletak di atas gundukan tanah yang agak tinggi di pinggir lokasi pertempuran. Di dalamnya, Rasulullah ditemani oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sementara di bagian luar, dijaga oleh beberapa pemuda Anshar di bawah kepemimpinan Sa’ad bin Mu’adz.

Ali bin Abu Thalib menceritakan tentang hal ini, ia berkata, “Wahai orang-orang, siapakah orang yang paling berani?” Mereka berkata, “Anda wahai Amirul Mukminin.” Lalu Ali bin Abu Thalib berkata, “Adapun saya, maka tidak ada seorang pun yang menantangku, melainkan aku membalasnya. Akan tetapi, orang yang paling berani adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kami membuat ’arisy untuk Rasulullah, lalu kami berkata, “Siapakah yang menemani Rasulullah di dalam ’arisy supaya tidak ada seorang pun dari orang-orang musyrik yang menyerang beliau? Maka sungguh demi Allah, tiada seorang pun yang mencoba mendekati beliau melainkan Abu Bakar Ash-Shiddiq menghunuskan pedangnya di atas kepala Rasulullah, tiada seorang pun dari kaum musyrikin yang mencoba menyerang beliau melainkan ia langsung menyerang orang tersebut. Maka, ini adalah orang yang paling berani.”

  • Abu Bakar Ash-Shiddiq menerima berita gembira tentang kemenangan dan berperang di samping Rasulullah.

Setelah mengambil langkah-langkah ikhtiar dan usaha optimal sebagaimana mestinya, maka Rasulullah pun berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan dan kemenangan yang Dia janjikan. Dalam doa tersebut, beliau berkata, “Ya Allah, realisasikanlah untuk hamba apa yang telah Engkau janjikan kepada hamba. Ya Allah, jika segolongan orang Islam ini binasa, maka Engkau tidak akan lagi disembah di bumi ini.”

Rasulullah terus berdoa dengan berapi-api hingga rida` beliau terjatuh. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq mengambilnya dan mengembalikannya ke pundak beliau seraya berkata, “Ya Rasulullah, sudah cukup doa Anda kepada Allah, sesungguhnya Dia pasti akan merealisasikan apa yang Dia janjikan kepada Anda.” Dan Allah menurunkan ayat,

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (Al-Anfal: 9).

Dalam riwayat Abdullah bin Abbas disebutkan, ia berkata, “Pada Perang Badar, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, hamba memohon dengan sungguh-sungguh janji Engkau. Ya Allah, jika Engkau berkehendak, maka Engkau tidak disembah.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq memegang tangan beliau dan berkata, “Cukup wahai Rasulullah, cukuplah Allah bagi Anda.” Lalu Rasulullah keluar dan berkata, “Musuh itu akan kalah dan lari.” Di dalam ’arisy, Rasulullah tertidur, kemudian tersadar lalu berkata, “Bergembiralah wahai Abu Bakar, telah datang kepadamu pertolongan Allah. Itu malaikat Jibril datang sambil mengendalikan kudanya di gigi-gigi bagian depannya terdapat debu.” Kemudian Rasulullah keluar menemui orang-orang lalu menyemangati mereka.”

Dari kejadian ini, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendapatkan sebuah pelajaran Rabbani yang sangat penting tentang totalitas dalam bermunajat kepada Allah semata dan bersimpuh di haribaan-Nya supaya turun pertolongan-Nya. Pemandangan dan peristiwa tersebut begitu membekas dalam memori Abu Bakar Ash-Shiddiq, hati dan pikirannya, meniru dan meneladani Rasulullah dalam mempraktikkan apa yang ia lihat tersebut pada kondisi dan situasi-situasi seperti itu. Pemandangan dan peristiwa tersebut menjadi pelajaran bagi setiap panglima, komandan, pemimpin atau individu yang ingin meneladani Rasulullah dan para sahabat beliau yang mulia.

Ketika api pertempuran sudah mulai bergelora, maka Rasulullah turun dan membakar semangat dan gelora untuk berperang, sedang para pasukan berada dalam barisan mereka sambil berdzikir dan berteriak menyebut Nama Allah.

Rasulullah ikut terjun langsung ke medan pertempuran dan berperang dengan sengit, sementara Abu Bakar Ash-Shiddiq di samping beliau. Pada pertempuran tersebut terlihat jelas keberanian Abu Bakar Ash-Shiddiq yang tiada bandingannya. Ia dalam posisi siap untuk memerangi setiap orang kafir yang angkuh, sekalipun itu adalah putranya sendiri.

Pada pertempuran tersebut, putra Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama Abdurrahman ikut dalam pertempuran di pihak pasukan musyrikin. Abdurrahman termasuk orang yang paling berani dan salah satu pemanah handal. Ketika masuk Islam, ia berkata kepada ayahnya, “Pada Perang Badar, ayahanda sebenarnya berada di depanku pada posisi sebagai sasaran empuk bagiku. Namun ananda berpaling dari ayahanda dan tidak ingin membunuh ayahanda.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Akan tetapi, seandainya kamu pada posisi sebagai sasaran empuk bagiku, maka aku tidak akan menghindar dan berpaling darimu.”

  • Abu Bakar Ash-Shiddiq dan para tawanan perang.

Abdullah bin Abbas berkata, “Lalu ketika mereka berhasil menawan para tawanan perang, maka Rasulullah berkata kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khathab, “Apa pendapat dan usulan kamu berdua menyangkut para tawanan tersebut?” Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Ya Rasulullah, mereka adalah masih kerabat persepupuan dan masih termasuk keluarga besar. Saya berpendapat, sebaiknya Anda menerima tebusan dari mereka, sehingga kita memiliki power atas orang-orang kafir, siapa tahu semoga Allah menunjuki mereka kepada Islam.” Lalu Rasulullah bertanya kepada Umar bin Al-Khathab, “Bagaimana pendapat Anda wahai Ibnu Al-Khathab?” Umar bin Al-Khathab berkata, “Tidak wahai Rasulullah, saya tidak sependapat dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi, saya berpendapat sebaiknya Anda menyerahkan mereka kepada kami untuk kami bunuh. Anda tugaskan kepada Ali bin Abu Thalib untuk membunuh Uqail, dan Anda tugaskan kepada saya untuk membunuh si fulan (seseorang yang masih kerabatnya). Karena mereka itu adalah para tokoh dan pembesar kekafiran.”

Umar bin Al-Khathab berkata, “Namun, Rasulullah waktu itu lebih cenderung kepada pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, bukan kepada pendapatku. Keesokan harinya, aku datang dan mendapati Rasulullah beserta Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang duduk menangis. Lalu aku bertanya, “Ya Rasulullah, tolong beritahukan kepada saya apa yang telah membuat Anda dan sahabat Anda menangis. Jika memang saya terharu, maka saya akan menangis, namun jika tidak, maka saya akan berusaha untuk menangis karena tangisan Anda berdua.” Lalu Rasulullah berkata, “Aku menangis karena apa yang diusulkan kepadaku oleh kawan-kawanmu untuk menerima tebusan, sementara diperlihatkan kepadaku hukuman yang akan menimpa kawan-kawanmu itu yang hukuman itu lebih dekat dari pohon ini.” Dan Allah pun menurunkan ayat,

“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Anfal: 67-69).

Maka, Allah pun menghalalkan ghanimah untuk mereka.

Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud disebutkan, ia berkata, “Pada Perang Badar, Rasulullah berkata, “Apa pendapat dan usulan kalian menyangkut para tawanan itu?” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Ya Rasulullah, mereka itu adalah kaum dan kerabat Anda. Biarkanlah mereka tetap hidup dan berilah mereka kesempatan, semoga Allah menerima taubat mereka.” Umar bin Al-Khathab berkata, “Ya Rasulullah, mereka telah mengusir Anda dan mendustakan Anda. Bawalah mereka ke sini dan bunuhlah mereka.” Lalu Abdullah bin Rawahah berkata, “Ya Rasulullah, carilah sebuah lembah yang banyak kayu bakarnya. Lalu masukkan mereka ke lembah itu dan bakarlah mereka.” Lalu Al-Abbas berkata, “Kamu berarti memutus ikatan kekerabatan.” Lalu Rasulullah pun masuk tanpa memberikan tanggapan apa pun kepada mereka. Lalu ada beberapa orang berkata, “Rasulullah akan mengambil pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Ada beberapa orang lainnya berkata, “Beliau akan memilih pendapat Umar bin Al-Khathab.” Dan ada sebagian lagi yang berkata, “Beliau akan mengambil pendapat Abdullah bin Rawahah.”

Kemudian Rasulullah kembali keluar menemui mereka dan berkata, “Sesungguhnya Allah benar-benar melembutkan hati sebagian orang hingga lebih lembut dari air susu. Dan sesungguhnya Allah benar-benar mengeraskan hati sebagian orang hingga lebih keras dari batu. Sesungguhnya kamu wahai Abu Bakar adalah seperti nabi Isa ketika ia berkata seperti yang direkam dalam ayat,

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Ma`idah: 118).

Dan kamu wahai Umar adalah seperti nabi Nuh ketika ia berkata seperti yang direkam dalam ayat,

“Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (Nuh: 26).

Dan juga sepeti Nabi Musa ketika ia berkata seperti yang direkam dalam ayat,

“Musa berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, Ya Tuhan Kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (Yunus: 88).

Dulu, jika Rasulullah mengajak bermusyawarah para sahabat dan meminta pandangan mereka, maka yang pertama kali berbicara adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Terkadang ada sahabat lain yang juga ikut berbicara memberikan pandangannya, dan terkadang tidak ada yang berbicara selain Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka Rasulullah pun hanya menerima pendapat dan pandangan Abu Bakar Ash-Shiddiq saja. Jika ada sahabat lain yang memiliki pandangan dan pendapat berbeda dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka pendapat yang diambil oleh Rasulullah adalah pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, bukan pendapat sahabat lain yang berbeda tersebut.

Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Perang Uhud dan Hamra` Al-Asad

Pada kejadian Perang Uhud, kaum muslimin mendapatkan sebuah pelajaran sulit dan pahit. Mereka tercerai-berai dari sekitar Rasulullah dan para sahabat terpencar-pencar di segenap penjuru medan pertempuran. Tersiar rumor bahwa Rasulullah terbunuh dan reaksi yang muncul pun berbeda-beda. Medan pertempuran waktu itu sangat luas dan masing-masing orang sibuk dengan dirinya sendiri. Abu Bakar Ash-Shiddiq pun menerjang membelah barisan dan ia adalah orang pertama yang sampai di samping Rasulullah.

Waktu itu, sahabat yang berkumpul di sekeliling Rasulullah adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Ali bin Abu Thalib, Thalhah, Az-Zubair, Umar bin Khathab, Al-Harits bin Ash-Shammah, Abu Dujanah, Sa’ad bin Abu Waqqash dan yang lainnya. Mereka bersama-sama Rasulullah bergerak menuju ke sebuah celah di gunung Uhud dalam upaya mengembalikan kekuatan materil, moril, dan spirit mereka.

Abu Bakar Ash-Shiddiq jika mengingat kejadian Perang Uhud, maka ia berkata, “Itu adalah hari yang semuanya adalah milik Thalhah.” Kemudian ia mulai bercerita, “Pada perang Uhud, aku adalah orang yang pertama kali menerjang lari menuju ke posisi di mana Rasulullah berada. Lalu aku melihat seorang laki-laki berperang di sekitar Rasulullah untuk melindungi beliau. Lalu aku berkata, “Orang itu pasti Thalhah.” Waktu itu, antara aku dan pasukan musyrikin ada seorang laki-laki yang tidak bisa dikenal dengan jelas, dan posisiku sudah lebih dekat kepada Rasulullah dari orang itu yang waktu itu berlari dengan cepat. Ternyata orang itu adalah Abu Ubaidah. Lalu kami pun sampai kepada Rasulullah yang waktu itu gigi raba’iyyah (gigi yang terdapat antara gigi depan dan gigi taring) beliau pecah dan wajah beliau terluka. Waktu itu, ada dua cincin dari rajutan topi baja penutup kepala yang menusuk dua pipi Rasulullah. Ketika itu, Rasulullah berkata, “Cepat tolong saudaramu itu, karena ia terluka parah.” Yang beliau maksudkan adalah Thalhah. Namun, kami tidak mempedulikan perkataan beliau tersebut, karena kami ingin secepatnya menolong dan merawat beliau. Lalu aku pun ingin melepaskan dua cincin tersebut dari pipi beliau. Lalu Abu Ubaidah berkata kepadaku, “Wahai Abu Bakar, sungguh tolong biarkan saya yang melakukannya.” Lalu aku pun mempersilahkannya. Ia tidak ingin mencabutnya dengan tangan, karena bisa membuat Rasulullah kesakitan, hingga akhirnya ia pun mencabutnya dengan menggunakan mulutnya dengan cara digigit.

Abu Ubaidah adalah termasuk orang yang paling mahir mencabut gigi. Lalu kami pun selesai merawat Rasulullah. Kemudian kami mendatangi Thalhah yang waktu itu berada di sebuah cekungan. Kami mendapati pada tubuhnya terdapat tujuh puluh sekian luka, antara luka tikaman, luka tembakan panah, dan luka hantaman senjata, bahkan ada jarinya yang putus. Lalu kami pun menolong dan merawatnya.”

Kedudukan Abu Bakar Ash-Shiddiq bisa terlihat jelas pada kejadian perang tersebut dari sikap Abu Sufyan ketika ia bertanya dan berkata sebanyak tiga kali, “Apakah di antara kaum itu ada Muhammad?” Lalu Rasulullah melarang mereka menanggapi dan menjawab perkataannya tersebut. Kemudian ia kembali berkata sebanyak tiga kali, “Apakah di antara kaum itu ada putera Abu Quhafah (maksudnya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq)?” Lalu Rasulullah melarang mereka menanggapi dan menjawab perkataan itu. Kemudian ia kembali berkata sebanyak tiga kali, “Apakah di antara kaum itu ada putra Al-Khathab (maksudnya adalah Umar bin Al-Khathab)? Kemudian ia kembali bergabung ke teman-temannya, lalu berkata, “Orang-orang itu (maksudnya adalah Rasulullah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Umar bin Al-Khathab) telah terbunuh.” Ini menunjukkan pandangan Abu Sufyan yang merupakan pentolan kaum musyrikin waktu itu bahwa tokoh-tokoh sentral Islam yang menjadi pilar dan fondasi Islam adalah Rasulullah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Umar bin Al-Khathab.

Ketika orang-orang musyrik berupaya menangkap kaum muslimin dan memberangus mereka, maka rencana Nabi Muhammad mendahului mereka dan menggagalkan konspirasi jahat mereka. Rasulullah memberikan komando kepada kaum muslimin yang waktu itu banyak yang terluka untuk bergerak mengejar kaum musyrikin. Maka mereka pun mematuhi perintah Allah dan komando Rasulullah meskipun mereka dalam keadaan seperti itu.

Diriwayatkan oleh Aisyah, ia berkata kepada Urwah bin Az-Zubair menyangkut ayat 172 surah Ali Imran, “(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapati luka (dalam perang Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar,” “Wahai putra saudara perempuanku, ayahmu Az-Zubair dan kakekmu Abu Bakar Ash-Shiddiq termasuk di antara mereka, ketika Rasulullah tertimpa apa yang menimpa beliau pada Perang Uhud dan orang-orang musyrik pun pergi, maka beliau mengkhawatirkan jangan-jangan kaum musyrikin itu akan kembali lagi, lalu beliau pun berkata, “Siapakah yang bersedia ikut mengejar mereka?” Rasulullah pun menunjuk tujuh puluh orang termasuk di antaranya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Az-Zubair.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Perang Bani An-Nadhir, Perang Bani Al-Mushthaliq, Perang Khandaq dan Perang Bani Quraizhah

  • Perang Bani An-Nadhir.

Rasulullah pergi menemui Bani An-Nadhir guna meminta bantuan mereka untuk membayar diyat dua orang dari Bani Amir yang dibunuh secara tersalah dan tidak sengaja oleh Amr bin Umayyah. Karena Amr tidak mengetahui perjanjian yang ada antara Bani Amir dan Rasulullah. Sementara Bani An-Nadhir memiliki ikatan perjanjian dan persekutuan atau aliansi dengan Bani Amir.

Ketika Rasulullah menemui mereka untuk keperluan tersebut, maka mereka pun berkata, “Baiklah wahai Abu Al-Qasim, kami akan membantu Anda.” Kemudian mereka melakukan pertemuan rahasia dan berkata kepada sesama mereka, “Kalian tidak akan mendapati laki-laki ini (maksudnya Rasulullah) dalam posisi seperti itu. Ini adalah kesempatan yang paling baik untuk membunuhnya dan kalian tidak akan mendapatkan kesempatan seperti ini lagi.”

Waktu itu, Rasulullah duduk di samping tembok rumah mereka. Lalu mereka berkata, “Jika begitu, siapakah yang bersedia naik ke atas rumah, lalu melemparkan batu besar ke atas Muhammad untuk menghabisinya.” Lalu ada laki-laki dari mereka bernama Amr bin Jahasy bin Ka’ab menyanggupi tugas itu dan berkata, “Aku siap melakukan tugas tersebut.” Lalu ia pun naik ke atas rumah untuk menjatuhi Rasulullah dengan batu besar. Waktu itu, Rasulullah bersama beberapa sahabat termasuk di antaranya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khathab dan Ali bin Abu Thalib. Lalu datanglah kepada Rasulullah berita dari langit tentang konspirasi yang ingin diperbuat oleh mereka. Lalu beliau pun berdiri dan pulang ke Madinah dan menyuruh para sahabat yang bersama beliau waktu itu untuk tetap di sana, namun beliau tidak memberi tahukan kepada mereka ke mana beliau akan pergi, tetapi hanya meminta mereka untuk tetap di sana.

Kemudian ketika Rasulullah tidak kunjung kembali juga, maka mereka pun mulai mencari beliau. Lalu mereka melihat seseorang datang dari Madinah, lalu mereka pun bertanya kepadanya apakah ia melihat Rasulullah. Lalu orang itu berkata, “Aku melihatnya masuk Madinah.” Lalu mereka pun akhirnya juga kembali ke Madinah dan menemui Rasulullah. Lalu beliau pun memberitahukan kepada mereka tentang pengkhianatan dan konspirasi jahat yang ingin dilakukan oleh Bani An-Nadhir.

Lalu Rasulullah mengutus Muhammad bin Maslamah untuk memerintahkan Bani An-Nadhir agar keluar dan pergi meninggalkan Madinah. Pada waktu yang sama, orang-orang munafik memprovokasi Bani An-Nadhir agar tetap tinggal dan berjanji untuk membantu dan menolong mereka. Akhirnya mereka pun mengirimkan utusan kepada Rasulullah untuk menyampaikan bahwa mereka tidak akan pergi, dan mereka pun merusak perjanjian yang ada.

Ketika itu, Rasulullah pun menginstruksikan untuk bergerak menuju ke lokasi Bani An-Nadhir dan memblokade mereka selama lima belas malam. Bani An-Nadhir waktu itu bertahan di kastil dan benteng-benteng mereka. Lalu Rasulullah menginstruksikan untuk menebang pohon kurma mereka dan membakarnya. Kemudian Rasulullah mengusir mereka dengan memperbolehkan mereka membawa harta benda mereka sebanyak yang mampu diangkut oleh unta kecuali senjata. Lalu turunlah surah Al-Hasyr.

  • Perang Bani Al-Mushthaliq.

Bani Al-Mushthaliq ingin menyerang Madinah, lalu Rasulullah pun bergerak bersama para sahabat menuju ke lokasi Bani Al-Mushthaliq. Sesampainya di sana, Rasulullah menyerahkan panji Muhajirin kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ada yang mengatakan, diserahkan kepada Ammar bin Yasir. Sementara panji Anshar diserahkan kepada Sa’ad bin Ubadah. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepada Umar bin Al-Khathab agar berseru kepada Bani Al-Mushthaliq, “Wahai kalian, ucapkanlah laa ilaha illallah, maka jiwa dan harta benda kalian selamat.” Namun mereka menolak, lalu terjadilah perang panah, kemudian Rasulullah menginstruksikan kepada kaum muslimin agar menyerang mereka, sehingga tidak ada satu orang pun dari mereka yang bisa melarikan diri. Sepuluh orang dari mereka terbunuh sedangkan sisanya menjadi tawanan perang. Sementara dari pihak kaum muslimin, hanya ada satu korban terbunuh.

  • Perang Khandaq dan perang Bani Quraizhah.

Abu Bakar Ash-Shiddiq pada kedua perang tersebut selalu menyertai Rasulullah. Pada kejadian Perang Khandaq, Abu Bakar Ash-Shiddiq mengangkut tanah galian parit dengan bajunya. Abu Bakar Ash-Shiddiq juga ikut terjun langsung bersama para sahabat yang lain menggali parit supaya bisa cepat selesai pada waktu normal yang telah ditargetkan. Hal itu pada gilirannya menjadikan ide parit sebagai sebuah strategi akhirnya berhasil seperti yang diharapkan dalam menghadapi gempuran orang-orang musyrik.

Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam kejadian Hudaibiyah

Pada bulan Dzul Qa’dah tahun keenam hijriyah, Rasulullah melakukan perjalanan untuk mengunjungi Al-Baitul Haram bersama dengan seribu empat ratus sahabat. Waktu itu, beliau juga membawa hewan al-Hadyu dan berihram umrah supaya orang-orang tahu bahwa beliau tidak datang untuk berperang, juga supaya orang-orang tahu bahwa beliau datang tidak lain hanya untuk berkunjung dan mengagungkan Baitullah Al-Haram.

Lalu Rasulullah mengirimkan seorang mata-mata atau informan beliau yang berasal dari Khuza’ah. Kemudian mata-mata itu kembali dengan membawa informasi bahwa penduduk Makkah melakukan mobilisasi untuk menghalau dan menghalang-halangi beliau dari memasuki Makkah dan mengunjungi Ka’bah. Mendengar informasi itu, lantas Rasulullah pun berkata kepada para sahabat, “Aku minta pendapat dan pandangan kalian.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Ya Rasulullah, Anda pergi dengan maksud untuk mengunjungi Al-Baitul Haram, bukan untuk berperang atau membunuh seseorang. Maka dari itu, maju terus pantang mundur. Jika ada orang yang menghalang-halangi kita, maka kita lawan.” Lalu Rasulullah pun berkata, “Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan ini atas nama Allah.”

Kaum kafir Quraisy waktu itu begitu berapi-api dan bersumpah menghalangi Rasulullah untuk masuk ke Makkah secara paksa. Kemudian terjadilah negosiasi antara penduduk Makkah dan Rasulullah. Waktu itu, Rasulullah berketetapan untuk memenuhi keinginan dan permintaan penduduk Makkah jika memang mereka menginginkan sesuatu yang mengandung semangat menyambung kekerabatan.

  • Negosiasi.

Delegasi Quraisy datang untuk melakukan negosiasi dengan Rasulullah. Orang yang pertama kali datang adalah Badil bin Warqa` dari Khuza’ah. Lalu ketika ia mengetahui maksud dan tujuan Rasulullah dan kaum muslimin, maka ia pun kembali ke Makkah. Kemudian datanglah Mukriz bin Hafsh, kemudian Al-Halis bin Alqamah, kemudian Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi. Lalu terjadilah perbincangan berikut ini antara Rasulullah dengan Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi, juga diikuti oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan beberapa sahabat yang lain.

Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berkata, “Ya Muhammad, kamu mengumpulkan orang-orang dari berbagai kabilah, kemudian kamu membawa mereka ke negerimu untuk merusak dan mencerai beraikannya? Ketahuilah, kaum Quraisy semuanya, baik laki-laki maupun perempuan, besar dan kecil, semuanya telah keluar mengenakan pakaian dari kulit macan dan berjanji untuk menahan kamu masuk ke Makkah secara paksa. Sungguh aku melihat mereka –maksudnya adalah para sahabat- sepertinya pergi meninggalkanmu!”

Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Hisaplah bizhr Al-Lata (berhala Tsaqif), apa kamu bilang?! Kami lari meninggalkan beliau?!”

Urwah berkata, “Siapa itu?” Mereka menjawab, “Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Urwah berkata, “Seandainya bukan karena suatu jasa yang pernah kamu berikan kepadaku yang belum sempat aku balas, niscaya aku akan meladeni kamu!”

Sebelum itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq memang pernah berbuat baik kepada Urwah. Maka dari itu, Urwah berusaha untuk menghormatinya dan tidak meladeni dan menjawab perkataan Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut. Dari sini, ada di antara ulama yang mengatakan, bahwa ini menunjukkan boleh menyebut aurat secara eksplisit karena adanya suatu hajat dan mashlahat, dan bukan bagian dari kata-kata kotor dan keji yang dilarang.

Di sini, Urwah bin Mas’ud berusaha melancarkan perang psikologis terhadap kaum muslimin untuk mengalahkan mereka secara spirit dan mental. Dari itu, ia mendeskripsikan kekuatan militer kaum Musyrikin dengan menggunakan bahasa hiperbola dalam menggambarkan bahwa situasi dan kondisi yang ada pasti akan berpihak kepada kaum Quraisy.

Ia juga berusaha menciptakan kegaduhan dan kekacauan dalam barisan kaum muslimin, yaitu ketika ia berusaha melemahkan kepercayaan antara panglima dan para pasukannya ketika ia berusaha melemahkan kepercayaan antara panglima dan para pasukannya ketika ia berkata kepada Rasulullah, “Anda memobilisasi orang-orang dari berbagai kabilah yang mereka itu pantas untuk lari meninggalkan Anda.” Ketika itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq pun memberikan tanggapan yang tegas dan mampu menggentarkan spirit, mental dan psikologis Urwah. Sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut merupakan refleksi puncak keluhuran dan kekuatan keimanan yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat,

“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139).

  • Sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap perjanjian damai Hudaibiyah.

Ketika orang-orang musyrik yang diwakili oleh Suhail bin Amr mencapai sebuah kesepakatan dengan Rasulullah, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq pun menerima dan mematuhi apa yang disetujui oleh Rasulullah dari permintaan orang-orang musyrik dalam perjanjian dan kesepakatan tersebut. Meskipun isi perjanjian tersebut secara sekilas nampak timpang, tidak seimbang, dan lebih merugikan pihak kaum muslimin. Abu Bakar Ash-Shiddiq pun melangkah berdasarkan petunjuk Rasulullah karena keyakinannya bahwa beliau tidak mungkin mengucapkan menurut kemauan hawa nafsu beliau, bahwa beliau melakukan hal itu pasti karena suatu hal, alasan, dan pertimbangan yang diperlihatkan Allah kepada beliau.

Para sejarahwan menyebutkan bahwa Umar bin Al-Khathab menemui Rasulullah untuk menyatakan sikap tidak setuju dengan kesepakatan tersebut. Ia berkata kepada Rasulullah, “Bukankah Anda adalah Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, benar.” Umar bin Al-Khathab berkata, “Dan bukankah kami ini adalah orang-orang Islam?” Beliau menjawab, “Ya, benar.” Umar bin Al-Khathab berkata, “Dan bukankah mereka itu adalah orang-orang musyrik?” Beliau menjawab, “Ya, benar.” Umar bin Al-Khathab berkata, “Maka, atas dasar alasan apa kita memberi posisi sebagai pihak yang lemah dalam agama kita?” Beliau berkata, “Sesungguhnya aku adalah Rasulullah dan aku tidak akan durhaka dan membangkang kepada-Nya.”

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, aku tidak akan melanggar perintah-Nya dan Dia tidak akan mengabaikan dan menyia-nyiakan aku.”

Umar bin Al-Khathab berkata, “Bukankah Anda sebelumnya telah mengatakan kepada kami bahwa kita akan datang ke Al-Baitul Haram dan thawaf di sana?” Rasulullah berkata, “Ya benar, namun apakah aku mengatakan kepada kamu bahwa kita akan datang ke Al-Baitul Haram tahun ini?” Umar bin Al-Khathab menjawab, “Tidak.” Rasulullah berkata, “Maka, kamu pasti akan datang ke Al-Baitul Haram dan thawaf di sana.”

Umar bin Al-Khathab berkata, “Lalu aku pun menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Bakar, bukankah beliau adalah Rasulullah? Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, “Ya, benar.” Aku berkata, “Bukankah kita ini adalah kaum muslimin?” Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, “Ya, benar.” Aku berkata, “Dan bukankah mereka itu adalah orang-orang musyrik?” Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, “Ya, benar.” Aku kembali berkata, “Lalu atas dasar alasan apa kita memberi posisi sebagai pihak yang lemah dalam agama kita?” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun menasihati Umar bin Al-Khathab untuk meninggalkan sikap menentang dan tidak setuju tersebut seraya berkata, “Wahai Umar, berpegang teguhlah, karena sesungguhnya aku bersaksi bahwa beliau adalah Rasulullah, bahwa yang benar pasti adalah apa yang diperintahkan kepada beliau, dan beliau tidak akan melanggar perintah Allah dan Dia tidak akan menyia-nyiakan dan mengabaikan beliau.”

Ternyata, jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada Umar bin Al-Khathab sama dengan jawaban Rasulullah, padahal Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak mendengar jawaban beliau. Maka, Abu Bakar Ash-Shiddiq lebih sempurna persesuaiannya dengan Allah dan Rasul-Nya daripada Umar bin Al-Khathab, padahal Umar bin Al-Khathab adalah pihak yang menceritakan hadits, akan tetapi kedudukan Abu Bakar Ash-Shiddiq di atas kedudukan orang yang menceritakan hadits, karena Abu Bakar Ash-Shiddiq menerima dari Rasulullah yang makshum setiap apa yang beliau ucapkan dan lakukan.

Abu Bakar Ash-Shiddiq setelah itu menceritakan tentang kemenangan besar tersebut yang sejatinya berlangsung pada kejadian Hudaibiyah, ia berkata, “Tidak ada sebuah kemenangan yang lebih besar dalam Islam dari kemenangan Hudaibiyah (karena perjanjian Hudaibiyah menjadi titik tolak dan titik awal kemenangan terbesar, yaitu Fathu Makkah). Akan tetapi orang-orang ketika itu, tidak bisa menangkap dan memahami apa yang terjadi antara Rasulullah dan Tuhan beliau. Para hamba bersikap tergesa-gesa, sedang Allah tidak tergesa-gesa seperti ketergesa-gesaan para hambaNya.

Sungguh aku melihat Suhail bin Amr pada haji wada’ berdiri di tempat pemotongan hewan dan mendekatkan hewan badanah kepada Rasulullah, dan beliau langsung memotongnya sendiri, dan beliau juga memanggil seorang tukang cukur, lalu ia pun mencukur rambut beliau. Aku memperhatikan Suhail bin Amr memunguti rambut Rasulullah dan aku melihat meletakkannya di matanya. Aku teringat sikap Suhail bin Amr pada kejadian Hudaibiyah bagaimana ia menolak untuk menuliskan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” dan menolak menuliskan kalimat, “Muhammad Rasulullah.” Maka, aku pun memanjatkan puji syukur kepada Allah yang telah menunjuki Suhail bin Amr kepada Islam.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sahabat yang paling tepat pandangannya dan paling sempurna akalnya.

Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Perang Khaibar, Sariyah atau Detasemen Najd dan Bani Fazarah

  • Perang Khaibar.

Rasulullah memblokade Khaibar dan siap untuk menggempur mereka. Panglima perang pertama yang diutus oleh Rasulullah ke sebagian benteng Khaibar adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lalu ia pun melakukan pertempuran di sana, kemudian kembali dan belum berhasil melakukan penaklukan dan infiltrasi, sedang ia sudah terkuras tenaganya.

Kemudian Rasulullah mengirimkan Umar bin Al-Khathab, lalu ia pun melancarkan peperangan, namun kemudian ia kembali dan belum juga berhasil. Kemudian Rasulullah berkata, “Sungguh esok aku akan memberikan panji perang kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Orang tersebut ternyata adalah Ali bin Abu Thalib.

Ada sebagian sahabat yang memberikan usulan strategi kepada Rasulullah, yaitu menebangi pohon kurma Khaibar, sehingga bisa melumpuhkan kaum Yahudi Khaibar. Rasulullah pun menyetujui usulan tersebut, sehingga kaum muslimin pun bergegas dan bersiap-siap melakukan penebangan pohon-pohon kurma. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq menemui Rasulullah dan memberikan masukan sebaliknya, yaitu tidak melakukan penebangan pohon-pohon kurma tersebut, karena itu justru akan merugikan pihak kaum muslimin, baik apakah Khaibar nantinya berhasil ditaklukkan secara paksa maupun secara damai. Lalu Rasulullah pun menerima usulan dan masukan Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut dan menginstruksikan kepada kaum muslimin agar membatalkan penebangan pohon kurma, lalu mereka pun membatalkannya.

  • Perang Najd.

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Iyas bin Salamah dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah mengirim Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam misi militer ke Najd dan menunjuknya sebagai panglima dalam misi tersebut. Lalu pada malam hari, kami menyerang sejumlah orang dari Hawazin, dan aku pada malam itu memerangi tujuh klan. Sandi kami pada waktu itu adalah, “amit amit” (matikan, matikan).”

  • Perang Bani Fazarah.

Imam Ahmad meriwayatkan melalui jalur Iyas bin Salamah dari ayahnya, ia berkata, “Ayahku menceritakan kepadaku, ia berkata, “Kami pergi dalam sebuah misi militer yang dikirim oleh Rasulullah dan beliau menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai panglima kami. Lalu kami pun menyerang Bani Fazarah. Ketika kami sudah mendekati lokasi air, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq menginstruksikan kami untuk beristirahat malam. Setelah shalat shubuh, Abu Bakar Ash-Shiddiq menginstruksikan kami untuk melakukan penyerangan, lalu kami pun menyerang orang-orang yang ada di daerah air tersebut dan berhasil membunuh sejumlah orang di antaranya.”

Salamah kembali bercerita, “Kemudian aku melihat ada sejumlah orang yang berlari menuju ke perbukitan. Di antara mereka terdapat anak-anak dan kaum perempuan. Lalu aku pun menembakkan panah dan jatuh di antara mereka dan bukit, hingga menyebabkan mereka berhenti. Lalu aku pun membawa dan menggiring mereka kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Di antara mereka terdapat seorang perempuan yang membawa alas yang terbuat dari kulit beserta seorang anak perempuannya yang bisa dibilang termasuk perempuan Arab yang paling cantik.”

Salam kembali bercerita, “Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq memberikan anak perempuan itu kepadaku sebagai tambahan di luar ghanimah. Aku belum pernah sedikit pun menggaulinya hingga aku sampai ke Madinah, kemudian aku pun melewati malam tanpa sedikit pun menyentuhnya. Kemudian Rasulullah bertemu denganku di pasar dan berkata kepadaku, “Ya Salamah, berikanlah perempuan itu kepadaku.” Lalu aku berkata, “Sungguh wahai Rasulullah, aku sangat tertarik kepadanya dan aku belum pernah menyetubuhinya sekali pun.”

Salamah kembali bercerita, “Lalu Rasulullah pun diam dan pergi meninggalkanku. Kemudian keesokan harinya, Rasulullah kembali menemuiku di pasar dan berkata, “Ya Salamah, berikanlah perempuan itu kepadaku.” Lalu aku berkata, “Sungguh wahai Rasulullah, aku belum pernah menyetubuhinya. Ia untuk Anda wahai Rasulullah.”

Salamah kembali bercerita, “Lalu Rasulullah pun mengirimkan perempuan itu ke penduduk Makkah yang waktu itu mereka menawan sejumlah orang Islam. Lalu Rasulullah pun menebus mereka dengan perempuan tersebut.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Umrah Qadha` dan Dzat As-Salasil

  • Dalam umrah qadha`.

Abu Bakar Ash-Shiddiq termasuk salah satu dari kaum muslimin yang ikut pergi bersama Rasulullah untuk melaksanakan umrah qadha` yang sebelumnya batal mereka kerjakan karena dihalang-halangi oleh kaum musyrikin.

  • Dalam misi militer Dzat As-Salasil.

Rafi’ bin Amr Ath-Tha`i berkata, “Rasulullah mengutus Amr bin Al-’Ash sebagai panglima dalam sebuah misi militer Dzat As-Salasil. Ikut dalam misi militer tersebut, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khathab, dan sejumlah sahabat terkemuka. Lalu mereka pun berangkat, hingga ketika sampai di bukit Thay, mereka pun turun dan berhenti. Lalu Amr bin Al-’Ash berkata, “Carilah orang yang mengetahui jalan.” Lalu mereka berkata, “Kami tidak mengetahui seorang penunjuk jalan yang berpengalaman kecuali Rafi’ bin Amr. Karena pada masa Jahiliyah, ia adalah seorang rabil (seorang pencuri yang melakukan aksinya seorang diri).”

Rafi’ bin Amr berkata, “Ketika kami telah selesai dari pertempuran dan aku pun sampai ke tempat di mana sebelumnya kami berangkat dari tempat tersebut, maka aku pun memperhatikan dan mencermati Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia mengenakan jubah Fadkiyyah. Jika ia naik hewan kendaraan, maka ia mengancingkan di antara dua belahannya dengan khilal (semacam kancing dari kayu atau besi), dan ketika ia turun, maka ia membukanya. Lalu aku pun mendatanginya dan berkata, “Wahai pemilik khilal, saya memperhatikan dan mencermati Anda di antara teman-teman Anda, maka sudilah kiranya Anda memberiku sesuatu yang jika aku menghafal dan melaksanakannya, maka saya bisa menjadi seperti kalian. Namun, jangan terlalu panjang, hingga sulit aku hafal dan menyebabkan aku lupa.” Lalu ia berkata, “Jika aku beri lima hal yang bisa Anda hafal dengan lima jari tangan Anda, maka apakah kamu bisa mengingatnya?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu ia berkata, “Pertama, kamu bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Kedua, kamu menegakkan shalat. Ketiga, kamu tunaikan zakat harta Anda jika Anda berharta. Keempat, Anda menunaikan haji ke Al-Baitul Haram. Kelima, Anda menunaikan puasa Ramadhan. Apakah Anda bisa menghafal dan mengingatnya?” Aku menjawab, “Ya.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq kembali berkata, “Yang lain lagi adalah, hindarilah menjadi amir atau pemimpin atas dua orang.” Aku berkata, “Bukankah kepemimpinan tidak lain adalah di tangan kalian ahl Al-Wabar yang artinya adalah penduduk pedalaman yang hidup nomaden?” Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Imarah atau kepemimpinan sudah hampir menyebar hingga sampai kepada Anda dan orang yang berada di bawah Anda kapabilitasnya. Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad, maka orang-orang pun masuk Islam. Maka, di antara mereka ada yang masuk Islam karena Allah, maka Allah pun menunjukinya, dan ada pula di antara mereka yang dipaksa oleh pedang. Mereka semua adalah orang-orang yang dilindungi, dijaga, dan dijamin keamanannya oleh Allah. Sesungguhnya seseorang ketika ia menjadi amir, lalu terjadi perbuatan-perbuatan zhalim di antara orang-orang, namun ia tidak menjalankan peradilan secara adil dan benar dan memberikan hak kepada pemiliknya yang sah, maka Allah akan membalas dan menghukumnya. Sesungguhnya seseorang dari kalian, ketika ada seekor kambing milik tetangganya (orang yang ia beri jaminan keamanan) diambil, maka ia marah besar karenanya, dan Allah senantiasa berada di belakang tetangga-Nya (hamba yang Dia beri jaminan keamanan).”

Dalam nasihat ini, terdapat banyak pelajaran dan ibrah bagi putra-putra kaum muslimin yang dikemukakan oleh seorang sahabat yang mulia Abu Bakar Ash-Shiddiq, sosok pribadi yang tumbuh dan terdidik dalam pengasuhan Islam dan Rasulullah. Di antara pelajaran dan ibrah tersebut yang terpenting adalah:

  • Signifikansi ibadah, seperti shalat yang merupakan tiang agama, zakat, puasa, dan haji.
  • Tidak berambisi sama sekali kepada jabatan dan kepemimpinan, persis seperti yang diwasiatkan oleh Rasulullah kepada Abu Dzarr Al-Ghifari,

“Sesungguhnya jabatan dan kepemimpinan adalah amanat, jabatan, dan kepemimpinan akan menjadi kehinaan dan sesalan pada Hari Kiamat, kecuali orang yang menjalankannya dengan benar.”

Dari itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq yang memahami dan menghayati betul sabda kekasihnya, Nabi Muhammad, menuturkan dalam sebuah riwayat, “Dan bahwa barang siapa yang menjadi amir, maka ia adalah termasuk orang yang paling lama, panjang, dan berat hisabnya serta paling keras adzabnya. Dan barang siapa yang tidak menjadi amir, maka ia termasuk orang yang paling simpel hisabnya dan paling ringan adzabnya.”

Ini adalah pemahaman dan pandangan Abu Bakar Ash-Shiddiq tentang jabatan imarah (kekuasaan, kepemimpinan).

  • Sesungguhnya Allah mengharamkan kezhaliman atas Diri-Nya, melarang para hamba-Nya saling berbuat zhalim, sebagian menzhalimi sebagian yang lain. Karena kezhaliman akan menjadi kegelapan-kegelapan yang gelap gulita kelak pada Hari Kiamat. Sebagaimana Allah melarang perbuatan menzhalimi orang-orang Mukmin, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits qudsi, “Barang siapa menyakiti seorang kekasih-Ku, maka sungguh Aku umumkan perang terhadapnya.”

Orang-orang Mukmin adalah para hamba yang diberi suaka dan jaminan keamanan oleh Allah, dan Allah lebih berhak untuk murka ketika mereka disakiti.

  • Pada periode awal, para pemimpin umat adalah orang-orang pilihan dan orang-orang terbaik. Kemudian datanglah masa di mana jabatan kepemimpinan dan kekuasaan begitu mudah didapatkan, bahkan oleh orang yang tidak memiliki kapabilitas dan kompetensi sekalipun.
  • Pada kejadian perang Dzat As-Salasil, terlihat sikap spesial Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam menghormati para pemimpin. Hal ini pada gilirannya membuktikan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sosok yang berjiwa sangat kuat dan memiliki kemampuan luar biasa dalam melahirkan dan membentuk para tokoh, menghargai dan menghormati mereka.

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Buraidah, ia berkata, “Rasulullah mengutus dan menunjuk Amr bin Al-’Ash sebagai panglima dalam misi perang Dzat As-Salasil. Di antara para sahabat yang ikut dalam misi tersebut adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khathab. Sesampainya di lokasi pertempuran, Amr bin Al-’Ash melarang pasukan menyalakan api. Mendengar hal itu, Umar bin Al-Khathab pun marah dan ingin menemuinya. Namun kemudian ia dicegah oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan mengatakan kepadanya bahwa Rasulullah tidak menunjuk Amr bin Al-’Ash sebagai panglima yang membawahi kamu pada misi tersebut melainkan karena pengetahuan dan pengalaman Amr bin Al-’Ash tentang peperangan. Lalu emosi Umar bin Al-Khathab pun akhirnya mereda.

Abu Bakar Ash-Shiddiq pada Fathu Makkah, Perang Hunain dan Tha`if.

  • Fathu Makkah (8 H).

Sebab yang melatar belakangi terjadinya Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah oleh kaum muslimin) pasca genjatan senjata atau perjanjian damai Hudaibiyah adalah seperti yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq, ia berkata, “Az-Zuhri menceritakan kepadaku dari Urwah bin Az-Zubair dari Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, bahwasanya mereka berdua bercerita kepadanya menyangkut perjanjian damai Hudaibiyah, bahwa orang yang ingin masuk ke dalam pihak Muhammad maka silahkan, dan barang siapa yang ingin masuk ke dalam pihak Quraisy maka silahkan.” Lalu Khuza’ah pun segera menentukan sikap dan berkata, “Kami masuk ke dalam pihak Muhammad.” Sementara Bani Bakr juga segera menentukan sikap dan berkata, “Kami masuk ke dalam pihak Quraisy.”

Kedua belah pihak pun menjalankan perjanjian damai tersebut, hingga ketika sudah berjalan sekitar tujuh belas atau delapan belas bulan, tiba-tiba Bani Bakr melakukan penyerangan pada malam hari terhadap Khuza’ah di lokasi air yang dikenal dengan nama Al-Watir (sebuah lokasi dekat kota Makkah). Waktu itu, orang-orang Quraisy berkata, “Muhammad tidak mengetahui dan ini adalah malam hari tidak ada seorang pun yang melihat kita.” Lalu orang-orang Quraisy itu pun memberikan dukungan berupa kuda dan senjata kepada Bani Bakar dalam aksi penyerangan terhadap Khuza’ah serta ikut terjun langsung dalam aksi penyerangan tersebut karena didorong oleh perasaan benci dan dengki terhadap Nabi Muhammad. Lalu Amr bin Salim pun datang ke Madinah menemui Rasulullah untuk meminta pertolongan seraya berkata,

Ya Allah, hamba memanggil Muhammad, sekutu bapak kami dan bapak kamu yang terdahulu.

Tolonglah kami –semoga Allah menunjuki kami- dengan pertolongan yang siap dan lengkap, dan serulah para hamba Allah, maka mereka akan berdatangan sebagai pasukan bantuan.

Lalu Rasulullah bersabda, “Anda ditolong wahai Amr bin Salim.”

Rasulullah dan para sahabat pun mempersiapkan diri untuk rencana berangkat ke Makkah, merahasiakan rencana tersebut dan berdoa kepada Allah memohon agar Dia membuat kaum kafir Quraisy lengah hingga mereka dikagetkan dengan pasukan Islam yang datang untuk menaklukkan Makkah.

Waktu itu, kaum kafir Quraisy pun merasa gusar dan khawatir jika Rasulullah mengetahui apa yang telah terjadi. Lalu Abu Sufyan pun berangkat pergi untuk menemui Rasulullah. Ketika bertemu, ia pun berkata, “Wahai Muhammad, tolong tetap pertahankan perjanjian damai yang ada dan beri kami tambahan waktu.” Lalu Rasulullah berkata, “Untuk itukah Anda datang? Apakah telah ada suatu kejadian?” Lalu ia berkata, “Ma’adzallah, kami tetap berkomitmen pada perjanjian kami dan kesepakatan damai kami pada kejadian Hudaibiyah, kami tidak mengubah dan mengganti.” Lalu ia pergi dari hadapan Rasulullah dengan tujuan untuk menemui para sahabat.

  • Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abu Sufyan.

Abu Sufyan meminta kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq agar mau memperbarui perjanjian damai dan memperpanjang masanya. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Jiwar-ku (pemberian jaminan keamanan atau suaka) adalah mengikuti jiwar Rasulullah. Sungguh demi Allah, seandainya aku mendapati ada semut memerangi kalian, tentu aku akan membantunya memerangi kalian.”

Di sini, terlihat kecerdasan dan kepiawaian politik Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian keimanan yang kuat kepada kebenaran yang ia teguhi. Di hadapan Abu Sufyan, ia menyatakan secara lantang tanpa sedikit pun takut bahwa dirinya siap untuk bertempur melawan Quraisy dengan segenap kemampuan dan potensi, bahwa seandainya mendapati ada semut memerangi Quraisy, pasti ia akan membantu semut tersebut dalam memerangi mereka.

  • Antara Aisyah dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Abu Bakar Ash-Shiddiq masuk menemui Aisyah yang waktu itu sedang menggiling biji gandum. Sebelumnya Rasulullah telah berpesan kepada Aisyah agar merahasiakan rencana beliau. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq bertanya kepadanya, “Wahai putriku, untuk keperluan apa kamu membuat makanan ini?” Aisyah pun hanya diam dan tidak menjawab. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq kembali bertanya, “Apakah Rasulullah ingin melakukan perjalanan untuk misi militer?” Aisyah tetap diam dan tidak menjawab. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq bertanya, “Barangkali mungkin Rasulullah ingin melaksanakan misi militer menghadapi Bani Al-Ashfar (bangsa Romawi)?” Aisyah tetap diam dan tidak menjawab. Abu Bakar Ash-Shiddiq kembali bertanya, “Barangkali mungkin Rasulullah ingin melakukan misi militer terhadap penduduk Najd?” Aisyah tetap diam dan tidak menjawab. Abu Bakar Ash-Shiddiq kembali bertanya, “Barangkali mungkin Rasulullah ingin melaksanakan misi militer terhadap kaum Quraisy?” Aisyah tetap saja diam dan tidak menjawab.

Lalu Rasulullah pun datang dan Abu Bakar Ash-Shiddiq pun berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, apakah Anda ingin melakukan suatu perjalanan?” Beliau menjawab, “Ya.” Abu Bakar Ash-Shiddiq kembali bertanya, “Apakah Anda ingin melancarkan aksi militer terhadap Bani Al-Ashfar?” Beliau menjawab, “Tidak.” Abu Bakar Ash-Shiddiq kembali bertanya, “Terhadap Quraisy?” Beliau menjawab “Ya.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Ya Rasulullah, bukankah antara Anda dan mereka masih berlangsung masa genjatan senjata?” Beliau berkata, “Tidakkah kamu mendengar tentang apa yang telah mereka perbuat terhadap Bani Ka’b?”

Di sini, Abu Bakar Ash-Shiddiq pun langsung bersikap proaktif, responsif, dan langsung mempersiapkan diri untuk menyertai sang panglima agung Muhammad SAW dalam misi besar tersebut. Para sahabat Muhajirin dan Anshar pun ikut berangkat bersama-sama Rasulullah tanpa ada satu orang pun yang absen.

  • Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika memasuki Makkah.

Ketika Rasulullah mulai memasuki Makkah pada kejadian fathu Makkah dan di samping beliau ada Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka beliau melihat kaum perempuan menampari pipi kuda. Lalu beliau tersenyum kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berkata, “Wahai Abu Bakar, apa yang dikatakan oleh Hassan bin Tsabit?” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun menyenandungkan bait-bait syair berikut,

Kami kehilangan kuda kami jika kalian tidak melihatnya menerbangkan debu, dan tempat yang ditentukan adalah Kada`.

Kuda-kuda itu bertanding menghadapi mata tombak, di atas pundaknya terdapat besi-besi runcing berwarna hitam.

Kuda-kuda terbaik kami terus berlarian, dipukuli dengan kerudung oleh perempuan-perempuan.

Lalu Rasulullah berkata, “Masuklah Makkah dan lokasi yang dikatakan oleh Hassan.”

Dalam suasana dan momentum yang agung tersebut, Abu Bakar Ash-Shiddiq pun mendapatkan nikmat dan kebahagiaan dengan keislaman ayahnya, yaitu Abu Quhafah.

  • Perang Hunain.

Pada perang Hunain, kaum muslimin memperoleh sebuah pelajaran keras, ketika mereka mengalami kekalahan pada awal pertempuran yang membuat mereka berlarian karena begitu dahsyatnya serangan yang datang. Mereka ketika itu sebagaimana yang digambarkan oleh imam Ath-Thabari, tergulung kocar kacir, tidak ada seseorang yang menoleh kepada yang lain. Lalu Rasulullah mulai berteriak, “Kemana wahai kalian? Kemari, aku adalah Rasulullah, aku adalah Rasulullah, aku adalah Muhammad bin Abdullah, wahai kaum Anshar aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian Rasulullah memanggil paman beliau Al-Abbas, ia adalah orang yang memiliki suara lantang dan keras, “Wahai Abbas, serulah, “Wahai kaum Anshar, wahai orang-orang yang ikut dalam baiat Ar-Ridhwan.”

Itu adalah gambaran kondisi kaum muslimin pada awal pertempuran. Rasulullah bertahan sendiri, tidak ada yang tetap bertahan bersama beliau kecuali hanya sedikit, dan di antara sahabat yang tetap bertahan bersama beliau waktu itu adalah tentunya Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kemudian setelah itu, akhirnya Allah menolong mereka dengan pertolongan yang kuat.

Di sana ada beberapa kejadian yang melibatkan Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang di antaranya adalah:

  • Fatwa Abu Bakar Ash-Shiddiq di hadapan Rasulullah.

Abu Qatadah berkata, “Pada kejadian perang Hunain, aku melihat ada seorang Muslim sedang bertempur melawan seorang musyrik, sementara ada orang musyrik lain yang hendak menyergapnya dari belakang untuk membunuhnya. Lalu aku pun bergegas menuju kepada orang musyrik yang ingin menyergap tersebut, lalu ia mengayunkan tangannya untuk menyerangku, namun aku berhasil menghantam tangannya hingga putus. Kemudian ia mencoba mendekapku dengan sekuat-kuatnya hingga membuat diriku seperti hampir mati. Namun kemudian tiba-tiba dekapannya mulai melemah dan terlepas, lalu aku pun mendorongnya kemudian membunuhnya. Kaum muslimin pun terpukul mundur dan aku pun ikut mundur bersama mereka. Lalu aku melihat Umar bin Al-Khathab di antara orang-orang. Lalu aku berkata kepadanya, “Apa yang terjadi pada orang-orang?” Umar bin Al-Khathab pun menjawab, “Ketetapan dan qadha` Allah.”

Abu Qatadah kembali melanjutkan ceritanya, “Kemudian orang-orang pun mulai kembali lagi kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Barangsiapa yang bisa mendatangkan bayyinah (saksi) atas musuh yang berhasil ia bunuh, maka salb (barang-barang yang ada pada) musuh yang berhasil ia bunuh itu untuknya.” Lalu aku pun mulai mencari-cari saksi atas musuh yang berhasil aku bunuh. Namun aku tidak mendapati satu orang pun yang bisa bersaksi untukku. Lalu aku pun duduk, kemudian muncul suatu pemikiran pada diriku, lalu aku pun mengutarakannya kepada Rasulullah. Lalu ada salah seorang yang duduk bersama beliau berkata, “Senjata musuh yang terbunuh yang ia sebutkan itu ada padaku, maka tolong mintalah dirinya untuk merelakannya.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Jangan, Rasulullah jangan memberikannya kepada seorang yang lemah dari Quraisy dan meninggalkan salah seorang singa Allah yang berperang membela agama dan Rasul-Nya.” Lalu Rasulullah berdiri, lalu memberikan salb berupa senjata tersebut kepadaku. Lalu aku pergunakan salb itu untuk membeli sebidang kebun, dan itu adalah harta pertama yang aku peroleh dan miliki dalam Islam.”

Sesungguhnya langkah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang langsung proaktif menolak dan menegur keinginan orang tersebut di hadapan Rasulullah, kemudian beliau mengkonfirmasi dan membenarkan apa yang ia katakan serta memutuskan berdasarkan perkataannya itu, merupakan sebuah kemuliaan istimewa yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Dalam kisah di atas, kita juga melihat bahwa Abu Qatadah Al-Anshari sangat perhatian terhadap keselamatan sesama saudara Muslim. Hal itu ia aktualisasikan dalam langkah yang ia ambil, yaitu membunuh si kafir tersebut dengan penuh susah payah.

Begitu juga, sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut membuktikan komitmennya dalam menegakkan kebenaran dan membela hak. Juga menunjukkan kokohnya keimanan, dalamnya keyakinan, sikap menghargai ikatan ukhuwwah Islamiyyah dan bahwa bagi dirinya ikatan ukhuwwah Islamiyyah adalah memiliki kedudukan yang luhur.

  • Abu Bakar Ash-Shiddiq dan syair Abbas bin Mirdas.

Ketika Abbas bin Mirdas menilai porsi bagian yang ia dapatkan dari ghanimah perang Hunain adalah sedikit, maka ia mensenandungkan sebuah syair yang berisikan komplain terhadap Rasulullah,

Itu adalah hasil rampasan yang aku peroleh dengan serbuanku kepada Al-Muhr (anak-anak kuda) di Al-Ajra’ (daerah yang memiliki karakteristik tanah kasar dan tandus menyerupai pasir).

Dan usahaku membangunkan kaum dari tidur mereka. Ketika orang-orang tidur malam hari, aku tidak tidur.

Lalu hasil rampasan yang aku dapatkan dengan kudaku justru dibagi antara Uyainah dan Al-Aqra’.

Padahal, dalam pertempuran, aku adalah orang yang memiliki kekuatan, kemampuan bertempur dan kemampuan bela diri, lalu aku seakan-akan tidak diberi apa-apa, karena aku diberi dalam jumlah yang itu sama seperti seakan-akan aku tidak diberi apa-apa.

Aku hanya diberi beberapa ekor unta kecil yang jumlah kakinya empat.

Hishn dan Habis, keduanya tidak bisa mengungguli Mirdas di perkumpulan.

Dan aku tidaklah lebih rendah dari mereka berdua. Barangsiapa yang kamu rendahkan hari ini, maka ia tidak lagi diangkat.

Lalu Rasulullah berkata, “Temui dirinya dan buat mulutnya diam.” Lalu mereka pun memberikan tambahan kepada Abbas bin Mirdas hingga dirinya puas dan tidak lagi menggerutu dan komplain.

Abbas bin Mirdas pun pergi menemui Rasulullah, lalu beliau berkata kepadanya, “Kamu yang mengatakan, “Maka, hasil rampasanku dan rampasan kudaku dibagi antara Al-Aqra’ dan Uyainah?” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Kebalik, yang benar adalah antara Uyainah dan Al-Aqra.”’ Lalu Rasulullah berkata, “Maksudnya sama.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Aku bersaksi bahwa Anda wahai Rasulullah memang seperti yang difirmankan Allah dalam ayat,

“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi peringatan.” (Yasin: 69).

  • Di Tha`if

Ketika melakukan blokade terhadap Tha`if, jatuh korban luka dan korban mati di pihak pasukan Islam. Rasulullah pun mengakhiri blokade tersebut dan kembali ke Madinah. Di antara pasukan yang gugur sebagai syahid pada waktu itu adalah Abdullah bin Abu Bakar. Ia terkena tembakan panah yang membuatnya sakit, kemudian akhirnya meninggal dunia di Madinah setelah meninggalnya Rasulullah.

Ketika delegasi Tsaqif datang ke Madinah untuk memproklamirkan keislaman mereka, maka pada saat delegasi itu sudah terlihat hampir sampai di Madinah, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Al-Mughirah bin Syu’bah pun saling berlomba untuk menjadi orang yang menyampaikan berita gembira tersebut kepada Rasulullah, dan akhirnya Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah yang menang.

Setelah delegasi itu memproklamirkan keislaman mereka, maka Rasulullah pun menuliskan sebuah surat untuk mereka dan ingin menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin delegasi tersebut. Ketika itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq mengusulkan nama Utsman bin Abu Al-Ash, dan ia adalah orang yang paling muda di antara mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Ya Rasulullah, saya lihat dan perhatikan, di antara mereka semua, anak muda ini adalah yang termasuk memiliki semangat tinggi untuk mendalami Islam dan belajar Al-Qur’an.”

Utsman bin Abu Al-Ash, setiap kali kaumnya tidur siang, maka ia lebih memilih untuk menemui Rasulullah untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama dan Al-Qur`an, hingga ia pun banyak mendapatkan pendalaman tentang agama Islam. Jika ia mendapati Rasulullah sedang tidur, maka ia ganti menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia melakukan semua itu secara diam-diam tanpa sepengetahuan kawan-kawannya. Maka, hal itu pun membuat Rasulullah kagum kepadanya dan mencintainya.

Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq mengetahui siapa yang memanah putranya, maka ia mengeluarkan statemen yang merefleksikan kebesaran imannya. Diriwayatkan oleh Al-Qasim bin Muhammad, ia berkata, “Abdullah bin Abu Bakar terkena tembakan panah pada perang Tha`if. Empat puluh hari setelah meninggalnya Rasulullah, luka bekas tembakan panah tersebut kembali kambuh, lalu akhirnya ia pun meninggal dunia. Lalu datanglah delegasi Tsaqif, sementara panah yang mengenai Abdullah bin Abu Bakar masih disimpan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lalu ia pun memperlihatkannya kepada delegasi Tsaqif tersebut dan berkata, “Apakah di antara kalian yang mengetahui anak panah ini?” Lalu Sa’id bin Ubaid, saudara Bani ’Ajlan berkata, “Anak panah ini, saya lah yang membuatnya, memberinya bulu, dan menembakkannya.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Anak panah inilah yang membunuh Abdullah bin Abu Bakar. Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memuliakan Abdullah bin Abu Bakar dengan tangan Anda dan tidak menghinakan Anda dengan tangannya.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Perang Tabuk, Sebagai Amir Haji dan dalam Haji Wada’.

  • Perang Tabuk.

Pada perang Tabuk, Rasulullah mengerahkan pasukan dalam jumlah yang cukup besar, yaitu mencapai angka tiga puluh ribu personil. Dalam perang ini, Rasulullah ingin melawan Romawi di Syam. Ketika pasukan kaum muslimin sudah berkumpul di Tsaniyyah Al-Wada’, maka selanjutnya Rasulullah ingin mengangkat para amir, para panglima, para komandan, dan para pembawa panji perang. Lalu Rasulullah menyerahkan panji yang paling besar kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Dalam peperangan kali ini, terlihat sejumlah sikap dan sepak terjang Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang di antaranya adalah:

  • Sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap kematian sahabat bernama Abdullah Dzu Al-Bijadain.

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku bangun di tengah malam, sedang aku bersama Rasulullah dalam perang Tabuk. Lalu aku melihat nyala api dari pojok tenda. Lalu aku pun melangkah menuju ke arah nyala api tersebut untuk melihatnya. Di sana, aku mendapati Rasulullah ditemani oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khathab, dan ternyata Abdullah Dzu Al-Bijadain Al-Muzani meninggal dunia, sementara orang-orang telah menyiapkan liang kuburnya. Waktu itu, Rasulullah bertugas di dalam liang kubur untuk menangkap jasad dan meletakkannya, sementara Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khathab bertugas menurunkan jasadnya. Waktu itu, Rasulullah berkata, “Tolong, turunkan kepadaku jasad saudaramu itu.” Lalu beliau berdua pun menurunkan dan menyerahkan jasadnya kepada Rasulullah.

Ketika meletakkan jasadnya dalam liang kubur, Rasulullah berkata, “Ya Allah, sesungguhnya hamba ridha kepadanya, maka ridhailah dia.” Abdullah bin Mas’ud kembali berkata, “Ketika itu, aku berharap dan berkata, “Seandainya aku lah orang yang dikuburkan itu.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika memasukkan jasad mayat ke dalam liang lahat, maka ia berkata, “Dengan menyebut nama Allah, dan berdasarkan millah Rasulillah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan dengan keyakinan dan ba’ts setelah mati.”

  • Abu Bakar Ash-Shiddiq memohon kepada Rasulullah agar mendoakan kaum muslimin.

Umar bin Al-Khathab berkata, “Kami berangkat menuju ke Tabuk di tengah cuaca yang sangat panas. Lalu kami pun beristirahat di suatu tempat dan kami diserang dahaga yang luar biasa sampai-sampai kami mengira leher kami akan putus. Bahkan sampai ada seseorang yang memotong untanya, lalu ia memeras kotorannya lalu meminumnya, sedangkan sisanya ia letakkan di dadanya. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah senantiasa memberikan kebaikan kepada Anda dalam doa. Maka dari itu, berdoalah kepada Allah.” Lalu Rasulullah berkata, “Apakah kamu menginginkannya?” Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Ya.” Lalu Rasulullah pun mengangkat kedua tangan untuk berdoa. Belum sampai Rasulullah menurunkan kedua tangan beliau, hingga langit pun terlihat akan menurunkan hujan, lalu gerimis pun mulai turun kemudian semakin deras. Lalu orang-orang pun memenuhi apa yang mereka bawa dengan air. Kemudian kami berjalan untuk melihat-lihat, dan ternyata hujan hanya turun di tempat di mana kami beristirahat saja.”

  • Shadaqah Abu Bakar Ash-Shiddiq pada perang Tabuk.

Pada perang Tabuk, Rasulullah mendorong para sahabat untuk berinfak, karena jarak perjalanan yang harus ditempuh sangat jauh dan banyaknya jumlah kaum musyrikin. Rasulullah menjanjikan pahala yang besar dari Allah bagi orang-orang yang bersedia untuk berinfak. Maka, para sahabat pun berinfak sesuai dengan kemampuan masing-masing. Utsman bin Affan adalah peraih piala tertinggi dalam hal besaran infak yang dikeluarkan.

Sementara itu, Umar bin Al-Khathab menshadaqahkan separuh hartanya dan mengira bahwa ia akan mengungguli Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam hal ini. Mari kita persilahkan Umar bin Al-Khathab menceritakan sendiri kepada kita tentang hal itu. Ia berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk bershadaqah, dan kebetulan waktu itu aku punya harta. Lalu aku berkata dalam hati, “Jika suatu hari aku berhasil mengalahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka inilah saatnya.” Lalu aku pun datang dengan separuh hartaku. Lalu Rasulullah berkata, “Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” Aku menjawab, “Sama seperti yang saya shadaqahkan ini.” Sementara itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq ternyata datang dengan membawa seluruh harta yang dimilikinya. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar Ash-Shiddiq pun menjawab, “Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Aku pun berkata, “Saya tidak akan bisa mengalahkan Anda selamanya.”

Persaingan dan keinginan untuk bisa seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khathab tersebut adalah boleh. Akan tetapi keadaan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah lebih utama darinya, karena bersih dari motif persaingan secara mutlak dan tidak memandang kepada orang lain.

  • Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai amir haji tahun 9 H.

Pendidikan masyarakat dan pembangunan negara pada masa Rasulullah terus berlangsung secara terus menerus pada semua level dan bidang akidah, ekonomi, sosial, politik, militer, dan ibadah. Kewajiban ibadah haji belum lah digalakkan pada tahun-tahun yang lalu. Haji tahun delapan hijriyah paska fathu Makkah, orang yang ditugaskan untuk melaksanakannya adalah Attab bin Asid, dan waktu itu ibadah haji kaum muslimin masih bercampur dengan hajinya orang-orang musyrik. Lalu ketika musim haji pun tiba, maka Rasulullah ingin berhaji, akan tetapi beliau berkata, “Saat ini, Al-Baitul Haram masih didatangi oleh orang-orang musyrik yang berthawaf di sana dalam keadaan telanjang. Maka, aku tidak ingin berhaji, hingga semua itu tidak ada lagi.” Lalu Rasulullah pun mengutus Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai amir haji pada tahun sembilan hijriyah.

Abu Bakar Ash-Shiddiq pun berangkat bersama dengan rombongan jamaah haji. Lalu turunlah surah bara`ah. Ketika itu, maka Rasulullah pun memanggil Ali bin Abu Thalib dan memerintahkannya agar segera menyusul Abu Bakar Ash-Shiddiq. Singkat cerita, Ali bin Abu Thalib pun segera berangkat dengan menggunakan unta Al-’Adhba` milik Rasulullah, hingga ia pun berhasil menyusul Abu Bakar Ash-Shiddiq di Dzu Hulaifah. Ketika melihat kedatangan Ali bin Abu Thalib, maka ia berkata kepadanya, “Apakah Anda datang sebagai amir ataukah sebagai orang yang diperintah?” Ali bin Abu Thalib pun menjawab, “Sebagai orang yang diperintah.” Kemudian ia pun berjalan, lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun melaksanakan haji bersama orang-orang di lokasi-lokasi yang sebelumnya menjadi lokasi-lokasi haji mereka pada masa Jahiliyah.

Haji pada tahun itu adalah pada bulan Dzul Hijjah sebagaimana yang ditunjukkan oleh riwayat-riwayat shahih, bukan pada bulan Dzul Qa’sudah sebagaimana yang dikatakan.

Abu Bakar Ash-Shiddiq pun menyampaikan khutbah sebelum Tarwiyah, pada hari Arafah, pada hari raya idhul adha dan pada hari nafar awal. Abu Bakar Ash-Shiddiq memperkenalkan kepada orang-orang tentang manasik mereka, yaitu wuquf, ifadhah, nahr, nafar, dan melempar jamarat dan seterusnya, sementara Ali bin Abu Thalib berada di belakangnya di setiap lokasi dari lokasi-lokasi haji tersebut, lalu membacakan kepada mereka bagian awal surah Bara`ah. Kemudian ia berseru kepada orang-orang dengan empat hal. Pertama, tidak akan masuk surga kecuali orang Mukmin. Kedua, tidak boleh ada lagi orang yang thawaf telanjang. Ketiga, barangsiapa yang ada perjanjian antara dirinya dengan Rasulullah, maka perjanjian itu berlaku sampai batas waktunya. Keempat, setelah tahun ini, orang musyrik tidak boleh lagi berhaji.

Waktu itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan kepada Abu Hurairah dan beberapa orang yang lain untuk membantu Ali bin Abu Thalib dalam merealisasikan misi dan tugasnya.

Rasulullah memerintahkan kepada Ali bin Abu Thalib untuk mempublikasikan penghentian perjanjian pada musim haji hingga terdengar oleh orang-orang musyrik. Hal itu untuk menyesuaikan dengan kebiasaan yang sudah lazim berjalan di antara masyarakat Arab bahwa melakukan suatu perjanjian atau mengakhirinya tidak dilakukan kecuali oleh seorang tokoh terkemuka kabilah atau salah seorang kerabat terdekatnya. Tradisi atau hukum kebiasaan ini tidak bertentangan dengan Islam. Dari itu, Rasulullah menunjuk Ali bin Abu Thalib dan menugaskannya untuk melakukan hal tersebut. Inilah sebab yang melatar belakangi penugasan Ali bin Abu Thalib untuk menyampaikan bagian depan surat Bara`ah, bukan seperti asumsi golongan Rafidhah bahwa hal itu mengisyaratkan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah yang lebih berhak memegang jabatan khilafah daripada Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Asumsi ini dikomentari oleh Dr. Muhammad Abu Syuhbah, ia berkata, “Aku tidak tahu, bagaimana bisa bisa mereka sampai lupa dengan perkataan Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada Ali bin Abu Thalib di atas, “Apakah kamu amir ataukah ma`mur (orang yang diperintah)? Bagaimana bisa ma`mur lebih berhak terhadap kekhilafahan daripada amir?”

Haji tersebut bisa dikatakan sebagai jalan pembuka untuk haji akbar, yaitu haji wada’. Pada haji yang Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi amirnya tersebut, dipublikasikan dan diproklamirkan bahwa era paganism telah berakhir, bahwa era atau fase baru telah dimulai, dan kewajiban manusia tidak lain adalah merespon dan mematuhi syariat Allah. Maka, setelah publikasi tersebut yang tersebar di antara kabilah-kabilah Arab, mereka pun yakin bahwa urusan tersebut betul-betul serius dan tidak main-main, bahwa era paganism benar-benar telah berakhir. Maka, kabilah-kabilah Arab pun mulai mengutus delegasi-delegasi mereka untuk memproklamirkan keislaman mereka dan masuknya mereka ke dalam tauhid.

  • Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam haji wada’.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abdullah bin Az-Zubair dari ayahnya, bahwasanya Asma` binti Abu Bakar berkata, “Kami berangkat untuk menunaikan ibadah haji bersama Rasulullah. Ketika kami sampai di daerah Al-’Arj, Rasulullah berhenti istirahat. Lalu Aisyah duduk di samping Rasulullah. Waktu itu, unta dan perbekalan Rasulullah dan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah jadi satu dibawa oleh seorang pembantu milik Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun duduk menunggu kedatangan pembantunya itu. Lalu si pembantu pun datang, namun tanpa membawa unta yang diurusnya. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq bertanya kepadanya, “Di mana untamu?” Ia pun berkata, “Hilang kemarin malam.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun berkata, “Hilang kemarin malam.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun berkata, “Seekor unta saja kamu hilangkan!!” Lalu ia pun memukulnya, sedang Rasulullah tersenyum melihat hal itu dan berkata, “Lihatlah orang yang berihram itu dan apa yang ia perbuat.”

Sumber: Buku Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq oleh Prof. Dr. Muhammad Ash-Shallabi.

Artikel : lampu-islam.com