Oleh: Ahmad Kholili Hasib
“Tugas kita dalam berdakwah dan mensyiarkan Islam sebagai Rahmatan lil’alamin adalah mengindonesiakan Islam dan bukan mengislamkan Indonesia”. Statemen ini pernah disampaikan oleh Prof. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang menjadi viral belakangan ini.
Pendapat ini disampaikan Mahfud MD beberapa kali dalam sejumlah kesempatan. Misalnya pada 22/4/2017 pada saat pelantikan pengurus IKA-UII (Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia) Cabang Australia di Melbourne dan pada peringatan hari Santri Nasional (HSN) di Konsulat Jenderal RI di Melbourne Australia 22/10/2016.
Apa maksud Mahfud MD “mengindonesiakan Islam” dan apa bedanya dengan “mengislamkan Indonesia”?. Dalam sebuah kesempatakan dijelaskan bahwa mengindonesiakan Islam yang dimaksud Mahfud adalah menyebarkan Islam secara damai melalui relung-relung budaya serta akulturasi melalui proses saling memberi dan menerima. Sedangkan mengislamkan Indonesia lebih terkesan memaksakan dan kooperatif sehingga berwatak eksklusivisme.
Mengindonesikan Islam, jelas Mahfud, akan melahirkan inklusivisme dan toleransi dibarengi pluralisme seperti yang ditempuh Nabi Muhammad saat mendirikan Negara Madinah.
Jadi kalau disimpulkan pendapat Prof. Mahfud, mengindonesiakan Islam itu melahirkan inklusivisme dan pluralisme. Sedangkan mengislamkan Indonesia melahirkan eksklusivisme.
Pendapat tersebut mengandung kesalahan yang cukup serius. Khususnya dalam penggunaan istilah.
Pertama, “Mengindonesiakan Islam” artinya mengubah Islam menjadi ‘Indonesia’. Atau menjadikan Islam sebagai ‘Indonesia’. Jadi dari kalimat ini mengandung makna, yang diubah itu Islamnya bukan Indonesianya. Siapapun yang pernah belajar dasar-dasar bahasa akan menyimpulkan makna ini.
Sama dengan kalimat ini, “Suporter Persebaya menghijaukan Stadion Bung Karno”. Yaitu, Stadion Bung Karno yang semula beraneka warna, menjadi berubah dominan warna hijau dikarenakan suporter Persebaya memakai kaus warna hijau. Sehingga warna dominan stadion Bung Karno menjadi hijau.
Jika yang diubah itu Islamnya bukan Indonesianya, maka inilah awal kesalahan berpikir yang sangat serius. Islam itu agama wahyu (tanzil). Agama ini tegak dengan rukun Imam dan rukun Islam yang keduanya bersifat tetap (tsabit) tidak berubah. Selain hal itu, dalam Islam ada istilah perkara-perkara ushul yang sifatnya tetap, tidak boleh berubah. Contoh, shalat menghadap kiblat, shalat wajib lima waktu, puasa wajib di bulan Ramadhan, dan lain-lain.
Dalam Islam, ada aspek ushul dan ada aspek furu’. Ushul dalam Islam bersifat tetap, final dan qath’i. Sedangkan aspek furu’ merupakan medan ‘kreatifitas’ ulama mujtahid. Bisa terjadi perbedaan antara ulama satu dengan ulama yang lain. Kewajiban shalat merupakan perakar ushul. Barangsiapa yang mengingkarinya wajibnya shalat lima waktu maka dia batal Islamnya.
Karena itu, kaum Islam liberal lebih menyetujui istilah “mengindonesiakan Islam” daripada “mengislamkan Indonesia”. Karena liberalisme itu merupakan aliran pemikiran meletakkan agama dalam sejarah dan budaya. Bukan meletakkan sejarah dan budaya dalam agama. Apa akibatnya?
Sejarah itu berjalan selalu berubah. Budaya itu dinamis. Maka jika agama masuk dalam dinamika sejarah dan budaya, maka agama selamanya akan berubah terus. Dalam Islam Liberal tidak ada lagi perbedaan ushul dan furu’, tsawabit dan mutaghayyirat. Inilah rumus liberalisme.
Karena itu, suatu hal biasa dalam liberalisme, semula homo itu haram kemudian dibolehkan, dilegalkan dicarikan dalil-dalil. Jilbab menutup aurat wanita itu wajib, lalu diakal-akali, yang wajib itu cuma menutup dada dan kemaluan. Seperti pendapat Mohammad Syahrour, tokoh liberal kelahiran Damaskus. Inilah akibat jika mengikuti rumus liberalisme.
Karena itu, jika Prof. Mahfud tidak setuju dengan pemikiran liberalisme ini, maka sebaiknya dia tidak ceroboh lagi menggunakan istilah.
Kedua, “mengindonesiakan Islam’. Apa hakikat Indonesia? Dan apa hakikat Islam? Meskipun tidak banyak masyarakat yang menyadari, peduli dan mengerti, sebenarnya Indonesia sudah banyak menganut kebudayaan dan peradaban Barat. Meski demikian, tidak semua unsur budaya Barat ditolak. Pendidikan, bahkan di universitas Islam mengikut metodologi Barat, ekonomi, dan lain-lain.
Kita tidak ingin mengatakan Indonesia itu telah westernized (terbaratkan), namun jika dikatakan separuhnya, ada yang membenarkan. Sehingga, mengindonesiakan Islam sama saja menjadi Islam separoh western.
Indonesia merupakan nama negara, sebagai kesepakatan bersama. Sementara Islam nama agama wahyu dari Allah. Sebagai sebuah negara, ia berdiri atas kesepakatan (konsensus). Sedangan Islam lahir langsung dari wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Karena itu, namanya sebuah kesepakatan manusia itu berubah. Bahkan UUD 1945, dasar Negara Indonesia itu bisa diubah pasal-pasalnya melalui amandemen. Tergantung penguasa mau dibawa kemana, diapakan dan dijadikan apa negara ini.
Dulu Negara ini pernah bernama RIS (Republik Indonesia Serikat). Dalam sejarah kita pernah ada pengukuhan presiden seumur hidup. Meskipun kemudian lengser sebelum meninggal. Artinya, Indonesia itu bersifat qabil li taghaiyyur (memungkinkan untuk berubah). Berarti bersifat mutaghaiyyir. Sementara Islam sebagai agama tidak pernah berubah namanya, dan tidak boleh berubah. ‘Undang-undang dasar’ Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis bersifat tetap.
Karena itulah, sebuah kesalahan fatal mengubah yang tsabit kepada yang mutaghayyir. Sesuatu yang mutlak diubah kepada relative. Ini namanya bukan proses inklusivisme, tapi eksklusivisme. Menyempitkan Islam pada Indonesia. Islam bukan rahmatan lil’alamin lagi. Karena, lil’alamin sifatnya universal bukan lokal. Sifat Islam sudah universal. Sholih likulli zaman wa makan. Tanpa diubah-ubah akan sesuai dengan zaman dan tempat dengan sendirinya. Tanpa di’Nusantara’kan, Islam sudah akan secara langsung cocok dengan Nusantara. Jadi, cara berpikir Prof. Mahfud yang terbalik, dan tidak logis.
Ketiga, apa yang telah berlaku dalam dakwah sejak kelahiran Islam di Arab, di belahan bumi seluruh dunia hingga sampai ke Indonesia adalah Islamisasi. Dakwah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam adalah mengislamkan Arab, bukan mengarabkan Islam. Karena mengislamkan Arab, maka terjadi pertemuan dua budaya. Terjadi proses take and give. Budaya-budaya Arab diislamkan. Sehingga, Islam tidak hanya sesuai untuk orang Arab saja, tetapi relevan dengan orang Arab dan non-Arab. Karena itu, bunyinya rahmatan lil’alamini (rahmat untuk seluruh alam, red) bukan rahmatan lil’Arab (rakhmat untuk seluruh Arab), apalagi hanya rahmatan linusantara (rakhmat untuk seluruh Nusantara).
Bukti bahwa dai-dai Walisongo melakukan Islamisasi adalah saat ini bahasa Indonesia kaya dengan serapan istilah-istilah bahasa Arab – Islam. Dalam tiga kata dalam singkatan “DPR” dan “MPR” semuanya bahasa Arab. Yaitu ‘Diwan, Wakil, Ro’iyyah, Majelis, Syuro, Ro’iyyah’. Dan itu semulanya istilah para dai-dai untuk mengislamkan pikiran penduduk Nusantara.
Tulisan pegon adalah perpaduan Arab dan Jawa. Bahasa nya Jawa tetapi ditulis dengan huruf Arab. Ini contoh kecil hasil Islamisasi.
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar sejarah Melayu, mengatakan bahwa teologi Ahlussunnah wal Jama’ah memainkan peranan dalam proses Islamisasi terutamanya dalam mengubah sistem pemikiran alam Melayu-Nusantara dari segi kefahaman tentang agama dan kehidupan, khususnya pada fase kedua penyebaran Islam (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 70).
Selanjutnya ia menjelaskan Islam datang ke kepulauan ini dalam kemasan metafisika sufi. Melalu tasawuflah semangat beragama yang berunsur intelektual dan rasional masuk ke dalam pemikiran masyarakat, menimbulkan kebangkitan rasionalitas dan intelektualitas yang tidak kelihatan pada masa pra-Islam (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 212).
Inilah jasa besar para dai dari Arab yang mengislamkan Indonesia. Menjadikan wilayah Nusantara ini lebih beradab dan membangun rasionalitas penduduk. Kunci sukses Islamisasi di wilayah ini adalah metode Islamisasi tanpa paksaan, fleksibel, dan menyatu dengan pribumi.
Jadi, Islamisasi Indonesia (mengislamkan Indonesia) itu sumbangannya besar. Membangkitkan rasionalitas dan intelektualitas. Sehingga jangan dibalik menjadi mengindonesiakan Islam (Indonesasi Islam), yang belum ada sumbangannya. Justru meliberalkan, atau membaratkan.*
Penulis adalah dosen IAI Darullughah Wadda’wah Bangil-Pasuruan
Sumber : hidayatullah.com