KIBLAT.NET – Kita ini masyarakat biasa. Melalui gawai yang tak pernah lepas dari genggaman, kita tahu hari-hari ini di Suriah banyak anak-anak mati beku. Musim dingin yang datang melengkapi cerita pilu rakyat Suriah yang sebagian harus mengungsi di negeri sendiri.
Namun, kabar duka itu seolah tak pernah ada. Di sosial media tempat kita banyak menghabiskan waktu, kita lebih asyik berkutat dengan kabar-kabar yang menyenangkan kita—tanpa peduli sahih atau hoaks-nya.
Kita ini, oleh tetangga sekitar dijuluki aktivis Islam. Bukan hanya berpenampilan Islami dan sering tampak pada acara-acara keislaman. Dada kita juga sering dag-dig-dug dilanda geram demi mendengar kebijakan dan statemen penguasa yang tak berpihak pada Islam.
Namun gambar anak Suriah yang mati membeku dengan mata dan mulut menganga tak mampu merenggut perhatian kita meski sejenak. Hati kita terlalu sering dibuat marah dan kecewa oleh berbagai peristiwa di negeri kita sendiri. Atau waktu dan pikiran kita sudah habis untuk memikirkan tabigh akbar agar “manhaj” kita menang di atas manhaj-manhaj lain.
Kita ini kumpulan hamba yang dikaruniai Allah ketrampilan ilmu agama dan mendakwahkannya. Biasa disebut Ustadz atau dai. Dari mimbar ke mimbar waktu kita habiskan untuk menerangkan kebenaran, menyingkap syubuhat dan kebatilan.
Tetapi, bagi kita tema kemanusiaan tentang Suriah terlalu usang. Konflik itu sudah lama terjadi dan tak kunjung usai. Selain itu, kontra opini kaum Syiah pro-Asad, atau kaum Nasionalis tanda kutip yang gemar menebar stempel anti-Pancasila, sedikit banyak membuat kita ciut. Alih-alih menggelorakan solidaritas, bisa-bisa kita dicap pendakwah yang radikal.
Itu juga yang dirasakan oleh kita yang berkutat dalam LSM kemanusiaan. Kalau bisa, bikin aja deh program solidaritas untuk umat Islam yang terzalimi di belahan dunia lain. Yang kejadiannya baru, yang videonya viral. Kalau toh kejadiannya sudah lama, gak papa. Yang penting banyak teman untuk mengeroyoknya. Bukan seperti Suriah yang sunyi.
Kita ini juga media. Seharusnya peran kita cukup dominan untuk menggugah secuil hasrat kemanusiaan bangsa kita. Tapi apa daya, isu Suriah ini tak akan mendatangkan pundi-pundi duit dan klikbait. Kalau kita memaksa tetap lantang, kita seperti orang gila yang berteriak sendirian di ruang hampa. Tak ada teman.
Kita juga politisi dan pejabat publik. Bukannya menolak mengakui anak-anak Suriah itu anak kita juga dalam agama Islam, tetapi iklim politik seperti sekarang ini terlalu berisiko kalau kita ikut-ikutan “main” soal Suriah. Isu yang tidak populer dan menguntungkan karir politik kita. Tak ada parpol yang mendukung. Lawan politik pun siap menyembur.
Aha, kita juga orang Islam yang dibekali seragam, borgol dan senjata. Bagi kita, pergantian musim di Suriah itu tidak ada artinya. Yang penting isu Suriah ini tetap abadi untuk dapat menaikkan popularitas kita, baik di dalam maupun luar negeri. Suriah ini begitu gurih untuk dinikmati sebagai menu kontra-terorisme atau deradikalisasi. Siapa peduli soal dingin dan lapar di sana?
Apalagi di belakang kita ada bapak-bapak penguasa yang menjadi atasan kita. Di mata mereka, krisis kemanusiaan Suriah adalah jarum yang menusuk telapak kita. Harus dibuang dalam tumpukan jerami paling bawah dan disimpan dalam gudang gelap yang tertutup rapat. Tapi jangan semuanya.
Sisakan beberapa untuk direkayasa sedemikan rupa, sehingga jarum kecil tadi tampak seperti linggis raksasa nan tajam radikalisme yang siap merobek-robek tubuh NKRI kita tercinta, yang tak pernah mengenal harga hidup.
Dan, kita adalah akademisi dan cendekiawan. Sesekali kita muncul di publik dengan label peneliti. Entah ada pesanan atau terpengaruh framing media, yang kita presentasikan soal Suriah selalu soal potensi kekerasan dari apa yang kita sebut Foreign Fighter. Yang selalu kita sebut selalu momok ISIS.
Tapi nurani dan nalar berpikir kita rontok tak berarti jika disebut Asad, Rusia dan aliansinya yang terus membombardir sipil. Kita pun diam, pura-pura tak tahu atau asyik dengan riset-riset lain saat disodorkan pemandangan rakyat sipil Suriah yang terengah-engah mempertahankan nyawa di tengah semburan bom dan gigitan cuaca dingin yang ekstrim.
Apa dan bagaimanapun, kita adalah satu bangsa. Bangsa yang—entah disengaja atau tidak—turut membunuh anak-anak Suriah itu. Dengan diam, acuh tak acuh, takut, ragu atau malah antipati. Membiarkan mereka membeku terlebih dahulu, sebelum jasadnya menjadi jenasah yang kaku.
Sumber : kiblat.net