Oleh : Al-Ustadz Miftahul Chair Al-Fat, S.Hi. MA
Bersalaman (mushafahah) dengan siapa pun baik bersama sesama jenis maupun lawan jenis merupakan bagian kekuatan dahsyat silaturrahim yang memantul dari keindahan sunnah rasul.
Karenanya ketika saya dalam keadaan berwudhu, saat bertemu dengan perempuan misalnya di jalan, atau pada saat pengajian dengan ibu-ibu, mahasiswi atau para siswi dari SD hingga SMA, saya memilih untuk membatalkan wudhu dan menyodorkan tangan untuk bersalaman langsung dengan mereka.
Karenanya ketika saya dalam keadaan berwudhu, saat bertemu dengan perempuan misalnya di jalan, atau pada saat pengajian dengan ibu-ibu, mahasiswi atau para siswi dari SD hingga SMA, saya memilih untuk membatalkan wudhu dan menyodorkan tangan untuk bersalaman langsung dengan mereka.
Sebabnya, berwudhu bisa dilakukan kapan pun dan berkali-kali namun bersalaman adalah tradisi keakraban sosial yang tidak bisa dilakukan sesering berwudhu’. Demikian pula istri saya juga menyalami teman, dan jemaah saya yang mayoritas para lelaki.
Bersalaman atau berjabat tangan pada dasarnya sunnah baik antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan perempuan baik yang masih muda-remaja atau yang sudah tua, yang masih anak-anak atau yang sudah dewasa (baligh), yang mahram atau pun yang bukan mahram semuanya disunnahkan bersalaman dengan tujuan silaturrahim seperti : bersalaman sambil bermaaf-maafan di hari lebaran, bersalaman pada saat bertemu, bersalaman selesai solat, bersalaman saat selesai pengajian, dan dalam kondisi apapun itu selama bersalaman itu tidak bertujuan untuk mengumbar syahwat. Jika bersalaman dalam rangka untuk beramah-tamah, janji setia, memupuk rasa kekeluargaan, menguatkan silaturrahmi, mempererat hubungan persahabatan maka Allah Swt akan memberikan pahala kepada siapa pun yang bersalaman dengan niat-niat yang baik. Allah Swt berfirman :
وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maknanya : “Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh balasan pahala di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan mendapatkan pahala yang paling besar. Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Muzammil : 20).
Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Waspada, Jumat 26 Februari 2016 hari ini, semoga pembaca mendapat manfaat dan pertolongan dari Allah dengan ilmu yang didapat.
Alhamdulillah, tulisan ini didukung dengan fatwa mufti Mesir bermadzhab Syafi’i Imam Asy-Syeikh Prof. DR. ‘Ali Jum’ah yag sangat disegani dan menjadi rujukan para ulama dan jutaan umat Islam di seluruh dunia. Dapat kita ikut fatwa beliau dalam you tube atau pun dalam situs http://www.youm7.com/story, adapun cuplikan fatwa beliau sebagai berikut,
قال الشيخ على جمعة، مفتى الجمهورية الأسبق، إن المصافحة بين الرجل والمرأة حلال، وهناك فهم خاطئ للحديث الشريف "لأن يطعن فى رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له". وفسر المفتى السابق الحديث قائلا: إن المقصود بالمس هنا هو الجماع وليس المصافحة، موضحاً أن أصل الشريعة لم يحرم المصافحة، فالمصافحة تعنى اللمس وليس المس. وأضاف "جمعة" خلال برنامج "والله أعلم"، أن المس المقصود به الزنا وليس اللمس، موضحاً أن المصافحة بين الرجل والمرأة تختلف باختلاف الزمان والبيئة والعرف، فهناك بعض الثقافات التى تفرض أن مصافحة المرأة "عيب" مثل دول الخليج والسعودية
Maknanya : “Sesungguhnya halal bersalaman antara laki-laki dan perempuan. Ada pemahaman yang salah terhadap sebuah hadits : “Sungguh ditusuk kepala salah seorang kalian dengan jarum besi daripada menyentuh perempuan yang tak halal baginya.” Maksud menyentuh pada hadits adalah bersetubuh bukanlah berjabat tangan, jelasnya dasar syariat tidak mengharamkan bersalaman. Bersalaman hanya menunjukkan pegangan bukan bermakna sentuhan. Syeikh Ali Jum’ah menambahkan di sela-sela acara televisi “wallahu a’lam” bahwa sentuhan di sini dengan tujuan zina, bukan memegang. Interaksi bersalaman yang terjadi di antara lelaki dan perempuan terkait dengan perbedaan masa, situasi dan tradisi. Sebahagian budaya menetapkan bahwa bersalaman itu terkesan ‘aib (sehingga aib tersebut membawa syariat untuk mengharamkan bersalaman secara tradisi saja) seperti yang terjadi pada dinasti Teluk dan Su’ud/Saudi.
Dalam pembahasan kali ini, saya akan menyebutkan dalil secara khusus maupun umum tentang keindahan dan kesunnahan bersalaman antara laki-laki & perempuan dengan sejelas-jelas dan sedetail-detailnya bahwa Rasulullah Sayyidinaa Muhammad Saw, para sahabat dan tabi’in bersalaman dengan perempuan mana pun tanpa risih, atau merasa riskan apalagi memandang status sosial para perempuan tersebut. Perbuatan Rasulullah Saw dan para sahabatnya ini menunjukkan dahsyatnya kekuatan silaturrahmi melalui bersalaman sekaligus sunnah muatan hukumnya.
Dalil Rasulullah Saw Bersalaman Dengan Perempuan
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَايَعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ مِنَّا يَدَهَا فَقَالَتْ فُلَانَةُ أَسْعَدَتْنِي وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أَجْزِيَهَا فَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا فَذَهَبَتْ ثُمَّ رَجَعَتْ وَامْرَأَةُ مُعَاذٍ
Maknanya : “Ummu ‘Athiyyah berkata : “Kami melakukan janji setia (baiat) kepada Nabi Saw. Rasulullah Saw membacakan ayat di hadapan kami “janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk meratapi jenazah. Kemudian ada seseorang wanita yang melepaskan tangannya (ketika Nabi Saw telah menyalaminya) seraya berkata : “Seseorang telah membahagiakanku dan aku ingin membalas kebaikannya. Rasulullah Saw terdiam pada saat itu. Wanita itu pergi sesaat dan kembali (ke hadapan Rasulullah Saw untuk dibaiat dengan bersalaman). (HR. Bukhari No. 6675).
Hadits di atas menerangkan bahwa Rasulullah Saw bersalaman dengan beberapa orang wanita yang bukan mahramnya tanpa menggunakan cadar satu pun yang menunjukkan kesunnahan bersalaman dan tidak perlunya memakai cadar karena itu hanya tradisi di Arab saja. Masing-masing dari perempuan disalamin Rasulullah Sayyidinaa Muhammad Saw secara bergilir kecuali seorang perempuan yang berekspresi kegembiraan di hadapan Rasulullah Saw. Awalnya Rasulullah Saw sudah menggenggam tangan perempuan tersebut akan tetapi perempuan itu melepasakan tangannya lantaran ada sesuatu yang diceritakannya yang kemudian dia pulang meninggalkan Rasulullah Saw beberapa saat lalu kemudian dia kembali untuk bersalaman dengan Rasulullah Saw. Hadits di atas menggunakan kata “Qabadhat” yang jelas-jelas Nabi Saw menggenggam tangan perempuan tersebut.
Dalam hadits berikut dijelaskan kembali aktivitas Rasulullah Saw sebagai pelengkap riwayat Bukhari tadi,
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا هِشَامٌ، وحَبِيبٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ عَلَى النِّسَاءِ فِيمَا أَخَذَ أَنْ لَا يَنُحْنَ، فَقَالَتْ امْرَأَةٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ امْرَأَةً أَسْعَدَتْنِي، أَفَلَا أُسْعِدُهَا؟ فَقَبَضَتْ يَدَهَا، وَقَبَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ، فَلَمْ يُبَايِعْهَا
Maknanya : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam dan Habiib, dari Muhammad bin Siiriin, dari Ummu ‘Athiyyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil janji setia para wanita agar mereka tidak meratap (niyahah). Seorang wanita berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang wanita yang telah membahagiakanku. Apakah aku mesti membahagiakannya juga?.” Lalu wanita tersebut melepaskan tangannya. Karenanya Rasulullah Sayyidinaa Muhammad juga melepaskan tangannya, tanpa membaiat wanita tersebut (HR. Ahmad, 6/408; shahih.
DR. Musthafa Mu’awadh dalam kitabnya Mafhumul Ikhthilath Bainal Jinsain Wa Ikhtiyarusy Syariikiz Zawaaj Fil Islam hal. 49 menjelaskan maksud hadits di atas dengan menukil pendapat Syeikh Al-Banhany, “Bahwa dalam hadits tersebut terkandung muatan hukum yang menunjukkan bolehnya perempuan dan laki-laki bersalaman sekalipun tanpa penghalang. Yang dimaksud “perempuan itu menarik tangannya” adalah perempuan tersebut menarik mundur tangannya lewat cara bersalaman dengan Rasulullah. Dengan menggunakan metode atau konsep mafhum mukhalafah, dapat dimengerti bahwa semua perempuan tidak satu pun yang tidak bersalaman. Artinya para perempuan tersebut melakukan janji setia kepada Rasulullah Saw dengan cara bersalaman.”
Rasulullah Sayyidinaa Muhammad Saw-uswatun hasanah umatnya-memberikan keteladanan yang sangat memukau, memberikan penjelasan etika pergaulan laki-laki dan perempuan yang luas dan fleksibel yang jauh dari kemunafikan, syahwat tanpa kompromi dan jaim (jaga image), seperti hadits yang saya layangkan pada khalayak pembaca berikut,
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ إِنْ كَانَتْ الْأَمَةُ مِنْ إِمَاءِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَاءَتْ
Maknanya : “Anas bin Malik berkata : “Ada seorang wanita di Madinah yang memegang tangan Rasulullah Saw lalu mengajaknya berkelililng ke mana pun yang dikehendaki wanita tersebut. (HR. Imam Al-Baghawi Asy-Syafi’i dalam kitabnya Syarhus Sunnah pada bab Tawadhu’, Bukhari No. 5610).
Hadits di atas dijelaskan secara lengkap oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ إِنْ كَانَتْ الْخَادِمُ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَهِيَ أَمَةٌ تَأْخُذُ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا يَنْزِعُ يَدَهُ مِنْهَا حَتَّى تَذْهَبَ بِهِ حَيْثُ شَاءَتْ
Maknanya : “Rasulullah Saw tidak melepaskan tangannya dari genggaman wanita itu hingga wanita itu membawanya pergi kemana dia suka.” (HR. Ahmad No. 12279).
Dua hadits di atas mengilustrasikan tentang ketawadhu’an Rasulullah Saw, tidak mentang-mentang sebagai pemimpin umat Islam lalu terkesan otoriter tidak mau lagi dekat dengan rakyatnya. Yang menjadi sorotan perhatian utama perbuatan Rasulullah Saw dalam hadits ini menunjukkan bahwa dalam bergaul tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan, yang membedakan keduanya adalah ketakwaan. Jika ditelaah secara mendalam-saya sangat mengetahui apa yang dipikirkan para pembaca tentang hadits ini-pastinya bersalaman antara laki-laki dan perempuan bukanlah sesuatu yang dilarang apalagi tercela dalam agama.
Ibnu Hajar Al-'Asqalani-Ulama hadits mazhab Syafi’i-menjelaskan sikap Rasulullah Saw di atas dalam kitabnya Fathul Baari jilid 10, hal. 490,
وقال الحافظ ابن حجر في فتح الباري: والتعبير بالأخذ باليد: إشارة إلى غاية التصرف؛ حتى لو كانت حاجتها خارج المدينة, والتمست منه مساعدتها في تلك الحاجة لساعد على ذلك, وهذا دال على مزيد تواضعه, وبراءته من جميع أنواع الكبر صلىالله عليه وسلم .انتهى
Maknanya : “Redaksi memegang tangan mengandung makna yang menunjukkan mengambil manfaat, karena kebutuhan wanita tersebut mengajak Rasulullah Saw keluar kota Madinah. Proses memegang yang dilakukan Rasulullah Saw dan wanita tersebut karena memang ingin memandunya. Hadits ini menunjukkan keutamaan rendah hati yang dimiliki Sayyidinaa Muhammad Saw dan tidak sombongnya Rasulullah Saw kepada wanita yang mengajaknya berkeliling itu.”
Imam As-Suyuthi-seorang ulama mujtahid handal mazhab Syafi’i-dalam kitabnya Ad-Durrul Mantsur Fii Tafsiiril Quran Bil Ma’tsur jilid 9, hal. 490 menyebutkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw bersalaman di dalam air dengan perempuan sebagai berikut,
وأخرج ابن سعد وابن مردويه عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا بايع النساء دعا بقدح من ماء ، فغمس يده فيه ، ثم يغمس أيديهن ، فكانت هذه بيعته
Maknanya : “Dari ‘Amar bin Syu’aib berkata : “Rasulullah Saw pernah apabila mengambil janji setia (baiat) maka dia menyuruh untuk mengambil baskom yang berisi air, maka beliau mencelupkan tangannya ke dalam air kemudian mencelupkan tangan para wanita tersebut ke dalam air untuk bersalaman di dalamnya. Inilah model gaya baiatnya Rasulullah Saw pada satu kesempatan. (HR. Ibnu Sa’ad dan Ibnu Mardawaih).
Menyaksikan hadits di atas membuat umat sangat beruntung sekali karena apa yang dilakukan Rasullah Saw di atas mengandung beberapa hikmah perbuatan yang sudah seharusnya diteladani,
1. Peristiwa hadits di atas dapat dianalisis bahwa bersalaman di Arab memiliki style atau gaya kebiasaan (‘urf) yang berbeda di setiap daerah.
2. Uniknya, model bersalaman yang khas berada di dalam baskom yang telah berisi dengan air.
3. Dalam hadits di atas tetap dipertahankan bersalaman dengan menggenggam tangan yang ditandai Rasulullah Saw menuntun tangan para perempuan dengan mencelupkan tangan mereka ke air.
4. Intinya menggenggam tangan untuk bersalaman lebih banyak dilakukan Rasulullah Saw dalam beberapa kondisi daripada tidak bersalaman dengan perempuan.
Jadi intinya, laki-laki bersalaman dengan perempuan hukumnya adalah sunnah dengan kearifan dan kebijaksanaan dari contoh dan teladan yang diarahkan oleh Rasulullah Sayyidinaa Muhammad Saw selama niat bersalaman jauh dari mengumbar syahwat dan nafsu syaithaniyyah. Para ulama kita dari mazhab Syafi’i yakni Imam As-Suyuthi dan Imam As-Sindy dari golongan mazhab Hanafi dalam kitabnya Haasyiah As-Suyuthi ‘Alas Sunanin Nasaa’i menyatakan,
يَد لَامِس أَيْ أَنَّهَا مُطَاوِعَة لِمَنْ أَرَادَهَا وَهَذَا كِنَايَة عَنْ الْفُجُور… وَأَمَّا اللَّمْس فَهُوَ الْجِمَاع أَوْ بَعْض مُقَدَّمَاته وَأَيْضًا السَّخَاء مَنْدُوب إِلَيْهِ
Maknanya : “Menyentuh tangan perempuan dimaknai bahasa kiasan dari perbuatan bermesraan, dan sentuhan lebih cenderung merupakan mukaddimah untuk bersetubuh. Namun jika dengan maksud berjabat tangan saja antara laki-laki dan perempuan sebagai keramah-tamahan maka hal tersebut disunnahkan.”
DR.Amru ‘Abdul Karim As-Sa’ady dalam kitabnya Qadhaayal Mar’ah Fii Fiqhil Qardhaawi hal. 213 menyatakan, “Yusuf Al-Qardhawi berkata :
فالمصافحة إنما تجوز عند عدم الشهوة، وأمن الفتنة. فإذا خيفت الفتنة على أحد الطرفين، أو وجدت الشهوة والتلذذ من أحدهما، حرمت المصافحة بلا شك
Maknanya : “Bersalaman dengan lawan jenis diperbolehkan apabila tidak diiringi dengan hasrat seksual dan tidak khawatir timbulnya fitnah.” Apabila bersalaman tersebut menimbulkan syahwat dan ada desiran kelezatan di dalamnya maka haramlah bersalaman itu tanpa keraguan.”
Pandangan ulama kini dalam fatwa-fatwa mereka seperti fatwa Prof. Dr. Syaikh Ali Juma’ah Asy-Syafi’i dalam bukunya “Fatawa An-nisa”, Prof. Dr. Yusuf Qordhawi dalam fatwa onlinenya, fatwa-fatwa ulama Kuwait yang dibukukan dengan judul “Fatawa Quttha’ al-ifta’ bi kuwait” dan ulama-ulama lainya. Mereka semua berpandangan bahwa dalam hukum mushafahah ini ternyata terkandung causa hukum (illat al-hukmi) yang menjadi perbedaan kebolehan atau keharaman berjabat tangan. Gambaran gamblangnya, menurut pandangan mereka hukum berjabat tangan dengan lawan jenis yang statusnya bukan mahram, hukumya boleh dengan dua syarat. Syarat yang pertama, tidak ada unsur syahwat yang mendorong mereka untuk berjabat tangan, sehingga akan tidak menimbulkan kenikmatan “taladzudz” diantara mereka ketika berjabat tangan. Seperti berjabat tangan untuk menhormati orang lain, bermaaf-maafan, meresmikan sebuah relasi dan lainya. Syarat yang kedua, tidak timbul fitnah karena berjabat tangan tersebut.
Oleh karena itu bersalaman kepada yang bukan mahram menjadi bagian etika pergaulan islami yang sangat dicintai Allah dan substansialnya terpulang kepada individu masing-masing yang ingin mereguk nikmatnya pahala di sisi Allah Swt dengan efeksiasi bersalaman. Sebagaimana yang sudah dikatakan pada dasarnya bersalaman itu aktivitas mu’min yang diperbolehkan yang ujung-ujungnya menghantarkan manusia untuk mengekalkan tradisi kesunnahan yang menakjubkan. Andaikata, pada saat bersalaman dengan perempuan timbul syahwat maka cepat-cepatlah secara responsif dan spontan seseorang tersebut beristighfar di dalam hatinya untuk menetralisir gejolaknya sehingga terjadi kestabilan kontoler jiwa dan kemudi hati. Maka di saat kondisi tersebut seseorang mendapat ampunan dari Allah. Hal ini dikarenakan kesunnahan bersalaman masih lebih dahsyat dibandingkan desiran syahwat yang timbul jika kita menghayati apa yang telah diterangkan syariat.
Pandangan ulama lain terkait masalah bersalaman ini seperti Syeikh Taqiyyuddin Al-Nabhani dalam bukunya Al-Nizham Al-Ijtima'i Fil Islam menyatakan :
يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يُصَافِحَ الْمَرْأَةَ وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تُصَافِحَ الرَّجُلَ دُوْنَ حَائِلٍ بَيْنَهُمَا.
Maknanya : “Laki-laki boleh berjabat tangan dengan Perempuan, dan sebaliknya perempuan boleh berjabat tangan dengan laki-laki tanpa ada penghalang atau alas.”Dari hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) terkandung arti: menarik kembali tangannya yang menunjukkan bahwa para wanita tsb telah berbaiat kepada Rasulullah Saw dengan menjabat tangan Beliau, sebab tangan salah seorang wanita itu dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbaiat untuk menyelesaikan suatu urusan terlebih dahulu. Selain itu, dari segi mafhum (tersirat) juga dapat dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan baiat dengan memegang tangan terhadap Rasulullah saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) bahwa Rasulullah saw. telah berjabat tangan dengan wanita pada saat baiat (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57-58, 71-72).
Sahabat Umar bin Khaththab Bersalaman Dengan Banyak Perempuan
أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ : لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ جَمَعَ نِسَاءَ الأَنْصَارِ فِى بَيْتٍ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَقَامَ عَلَى الْبَابِ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَرَدَدْنَا عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ : أَنَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَيْكُنَّ. قَالَتْ فَقُلْنَا : مَرْحَبًا بِرَسُولِ اللَّهِ وَبِرَسُولِ رَسُولِ اللَّهِ قَالَ : تُبَايِعْنَ عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا ، وَلاَ تَسْرِقْنَ ، وَلاَ تَزْنِينَ الآيَةَ. قَالَتْ قُلْنَا : نَعَمْ فَمَدَّ يَدَيْهِ مِنْ خَارِجِ الْبَيْتِ وَمَدَدْنَا أَيْدِينَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ ، ثُمَّ قَالَ : اللَّهُمَّ اشْهَد
Maknanya : “Ummi ‘Athiyyah berkata : “Sesampainya Rasulullah Sayyidinaa Muhammad Saw di kota Madinah, ia mengumpulkan para wanita anshar dalam satu rumah. Lalu Rasulullah Saw mengutus Umar mewakilinya untuk mengambil janji setia dari para wanita. Ummu ‘Athiyyah melanjutkan pembicaraannya : “Umar berdiri di muka pintu sembari mengucapkan salam maka kami pun membalas salamnya.” Umar berkata seperti apa yang diperintahkan kepadanya : “Aku adalah Rasulullah Saw yang diutus kepada kalian. Maka kami menjawab : “Selamat datang ya Rasulallah dan selamat datang buat utusan Rasulullah. Rasulullah Saw bersabda : Kalian semua diambil janji setianya agar jangan menyekutukan Allah Swt dengan sesuatu apa pun, jangan mencuri dan janganlah berzinah. Ummu ‘Athiyyah kembali menceritakan, maka kami mengatakan : “Baiklah.” Kemudian Umar menyodorkan tangannya untuk bersalaman dari luar rumah dan kami pun menyodorkannya juga dari dalam rumah. Umar berkata : “Ya Allah, saksikanlah.” (HR. Imam Al-Baihaqi Asy-Syafi’’i dalam kitabnya As-Sunan Al-Kubra No. 5845, HR, Ahmad 19867, Abu Dawud 962).
Imam Ar-Raazi-mufassir dan ahli ushul fiqh mazhab Syafi’i- dalam kitabnya Mafatiihul Ghaib jilid 29, hal. 267 menyatakan,
وقيل كان يشترط عليهن البيعة وعمر يصافحهن قاله الكلبي
Maknanya : “Ayat yang disebutkan dalam hadits di atas mensyaratkan atas para perempuan untuk diambil janji setia mereka, pada saat yang bersamaan Umar bin Khaththab menyalami perempuan tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Al-Kalbiy.”
Dari ulama mazhab Syafi’i yakni Imam Al-Haitsami Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ghaayatul Maqshad Fii Zawaa’idil Musnad jilid 1, hal. 87 menjelaskan status hadits di atas,
قلت: هو فى الصحيح وغيره من حديثها، وهو هنا من حديثها عن عمر، وقد رواه أبو داود باختصاره
Maknanya : “Saya (Imam Al-Haitsami) menyatakan bahwa hadits ini dari ‘Umar bin Khaththab RA dan hadits pendukung yang lain adalah shahih. Imam Abu Dawud juga meriwayatkannya tetapi lebih ringkas redaksinya.”
Tampak dalam hadits yang telah penulis tuliskan, Sayyidinaa Umar mendapatkan mandat atau perintah dari Rasulullah Saw untuk mengambil sumpah atau janji setia para perempuan yang rata-rata tidak dikenalinya sekaligus menyalami mereka satu persatu. Kalau saja perbuatan Umar ini dilarang dalam agama tidaklah mungkin Rasulullah Saw menyuruh Umar menyalami perempuan-perempuan tersebut sehingga Umar yang menerima dosa dan Rasulullah Saw berelepas diri dari dosa Umar. Pemahaman yang benar, Rasulullah Saw memerintahkan Umar untuk menyalami para perempuan karena Rasulullah Saw sendiri telah terbiasa menyalami perempuan. Karena ada suatu hal yang tidak memungkinkan Rasulullah Saw menyalami mereka satu persatu maka Rasulullah Saw mewakilkan dirinya kepada sahabatnya Umar. Lebih luasnya lagi, jika sahabat seperti Umar mau menyalami para perempuan tentulah sahabat-sahabat yang lain juga melakukannya.
Tabi’in Juga Bersalaman Dengan Perempuan
وقد ثبت عن فقيه العراق إبراهيم النخعي أنه صافح امرأة أجنبية كبيرة. جاء في حلية الأولياء : حدثنا ابراهيم بن عبدالله، قال حدثنا محمد بن اسحق، قال حدثنا قتيبة بن سعيد، قال حدثنا جرير، عن منصور، عن ابراهيم، قال : «لقيتني امرأة، فأردت أن أصافحها، فجعلت على يدي ثوبا، فكشفت قناعها، فإذا امرأة من الحي قد اكتهلت، فصافحتها وليس على يدي شيء».
Maknanya : “Telah tetap dalam sebuah nash dari Faqih Iraq Ibrahim An-Nakh’i bahwa dia menyalami seorang perempuan pembesar asing. Dalam kitab Hilyatul Awliyaa’ karya Imam Abu Nu’aim Al-Ashbahani meriwayatakan bahwa Ibrahim berkata : “Seorang wanita menemuiku maka ketika aku bermaksud menyalaminya. Perempuan itu mengambil sebuah kain untuk dijadikan alas dalam bersalaman maka Aku (Ibrahim) melepas cadar sekalian alas tangannya. Wanita yang tidak dikenali tersebut berusia kisaran 30 tahun. Maka Aku menyalami perempuan tersebut tanpa alas sedikit pun.”
Beberapa point yang bisa ditangkap dalam hadits di atas,
1. Ibrahim An-Nakh’i adalah seorang ahli fiqh yang menguasai medan ijtihad dengan sangat luas dan diakui kepakarannya. Perbuatannya melepas cadar perempuan tersebut menunjukkan tidak wajibnya bercadar dan tidak perlu memakainya.
2. Perbuatan wanita tersebut yang menjadikan alas pada tangannya ketika disalami Ibrahim menunjukkan ketidaktahuan perempuan tersebut bahwa bersalaman antara laki-laki dan perempuan itu dibolehkan.
3. Sikap Ibrahim yang mendahulukan bersalaman kepada wanita menunjukkan kemuliaan seseorang yang mendahulukan tangannya untuk bersalaman baik pria atau wanita yang mengawalinya selayaknya dalam mengucapkan salam kepada sesama muslim.
4. Anjuran bersalaman kepada wanita untuk menerima salaman seorang pria dengan tidak menggunakan alas apa pun. Tidak mau bersalaman dengan seorang pria atau menggunakan alas sebagai salaman justru terkadang memperkeruh suasana dan menyebabkan terciptanya jurang pemisah di antara keduanya.
Dalil Umum Yang Menyatakan Sunnahnya Bersalaman Dengan Perempuan
Bersalaman antara laki-laki dan perempuan merupakan teknik gender silang yang dilakukan lawan jenis dalam mengikuti anjuran Rasulullah Saw dan menggapai kemuliaan pahala dengan sebab bersalaman. Rasulullah Saw pernah bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Maknanya : Tidaklah dua orang Islam bertemu lalu bersalaman kecuali diampuni dosa keduanya sebelum berpisah.” (HR. Baihaqi dari Baraa’ No. 13349, Abu Dawud No. 4536, Tirmidzi 3693, Ahmad 17813).
Bahkan dianjurkan pula pada saat bersalaman mengiringinya dengan bershalawat atas Sayyidinaa Muhammad Saw, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda,
مَا مِنْ عَبْدَيْنِ مُتَحَابَّيْنِ فِي اللهِ يَسْتَقْبِلُ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَيَتَصَافَحَانِ ، وَيُصَلِّيَانِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِلَّا لَمْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى تُغْفَرَ ذُنُوبُهُمَا مَا تَقَدَّمَ مِنْهَا وَمَا تَأَخَّرَ
Maknanya : “Tidaklah dua orang hamba Allah Swt yang saling mencinta karena-Nya, salah satu dari keduanya mendatangi sahabatnya untuk menyalaminya kemudian keduanya bershalawat atas Sayyidinaa Muhammad Saw melainkan sebelum keduanya berpisah sehingga diampuni dosa keduanya yang telah lalu dan yang akan datang.” (HR. Imam Al-Baihaqi Asy-Syafi’i dalam kitabnya Syu’abul Iman No. 8543, Abu Ya’laa 2960).
Imam Zakariya Al-Anshari Asy-Syafi’i dalam kitabnya Asnal Mathaalib Syarh Raudhith Thaalib jilid 20, 403 menjelaskan,
وَتُسَنُّ الْمُصَافَحَةُ مَعَ الْبَشَاشَةِ بِالْوَجْهِ وَالدُّعَاءِ بِالْمَغْفِرَةِ وَغَيْرِهَا لِلتَّلَاقِي
Maknanya : “Disunnahkan bersalaman ketika berjumpa dengan wajah yang cerah dan sembari mendoakan keampunan atau pun yang lainnya.”
Hadits-hadits di atas secara umum menunjukkan kesunnahan bersalaman baik laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan atau antara laki-laki dengan perempuan, perempuan dengan laki-laki. Tidak ada batasan jenis kelamin dalam bersalaman, semuanya bisa mendapat manfaat dengan bersalaman itu tanpa terkecuali.
Merubah Pemahaman Orang Yang Anti Bersalaman Dengan Perempuan Menjadi Ringan Tangannya Untuk Bersalaman
Sampai dengan detik ini dan sejak masa lalu, sebahagian ulama tidak dapat memberikan dalil-dalil yang konkrit untuk mengharamkan salaman dan tidak ada dalil yang memastikannya. Rata-rata para ulama menggunakan saddudz dzara’i dalam istinbathnya yang justru menurut Imam Asy-Syafi’i bahwa saddudz dzara’i tidak bisa dijadikan ketetapan hukum (hujjah) karena di dalamnya terdapat pengabaian dasar sebuah hukum yang sudah qath’i..
Unsur-unsur yang digunakan dalam mengharamkan salaman seiring dengan penggunaan dalil tidak begitu tepat dan sama sekali tidak mengenai sasaran. Karena untuk mengharamkan sesuatu harus memang benar-benar ada dalil yang secara terperinci menjelaskan keharaman tersebut. Misalnya melalui produk ushul fiqh yang digali dari keakuratan nash untuk mengharamkan sesuatu harus ada redaksi “harrama” yang artinya mengharamkan, “hurrima” artinya diharamkan, “nahaa atau “yanhaa” yang artinya melarang, “laa taf’al yang artinya jangan melakukan, “ijtanibuu” yang bermakna jauhilah. Namun sekali lagi saya katakan, sampai saat ini tidak ada dalil yang menggunakan unsur-unsur yang telah saya sebutkan tadi. Ini membuktikan bahwa bersalaman bukan suatu pekerjaan yang dilarang atau yang diharamkan. Seharusnya bersalaman dengan perempuan merupakan perkara yang penuh kebaikan dan disunnahkan. Sebahagian ulama menggunakan hadits-hadits berikut untuk mengharamkan salaman;
Hadits Umaimah binti Ruqaiqah RA :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ نُبَايِعُهُ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نُبَايِعُكَ عَلَى أَنْ لَا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلَا نَسْرِقَ، وَلَا نَزْنِيَ، وَلَا نَأْتِيَ بِبُهْتَانٍ نَفْتَرِيهِ بَيْنَ أَيْدِينَا وَأَرْجُلِنَا، وَلَا نَعْصِيكَ فِي مَعْرُوفٍ.قَالَ: " فِيمَا اسْتَطَعْتُنَّ، وَأَطَقْتُنَّ "، قَالَتْ: قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَرْحَمُ بِنَا، هَلُمَّ نُبَايِعْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ، أَوْ مِثْلُ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ "
Maknanya : “Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Basyaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan (bin Mahdiy), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan (Ats-Tsauriy), dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Umaimah bintu Ruqaiqah, ia berkata : Aku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan wanita-wanita Anshar untuk berbaiat kepada beliau. Kami berkata : “Wahai Rasulullah, kami berbaiat kepadamu untuk tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatupun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta dengan sesuatu yang kami lakukan antara tangan dan kaki kami, serta tidak mendurhakaimu dalam perkara yang ma’ruuf”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Pada perkara yang kalian mampu lakukan”. Kami berkata : “Allah dan Rasul-Nya lebih menyayangi kami. Marilah kami berbaiat kepadamu wahai Rasulullah”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita. Perkataanku kepada seratus orang wanita sama (dalam baiat) seperti perkataanku kepada seorang wanita” (Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4181).
Statemen Rasulullah Saw “Aku tidak menyalami perempuan” bukan berarti Rasulullah Saw mengharamkannya dan tidak ada satu pun isyarat yang mengarahkannya ke sana. Kata “laa ushaafihun nisaa’” berindikasi keengganan yang bersifat sementara karena “laa” pada redaksi tidaklah menunjukkan “laa nahiy” (larangan). Esensinya, tidaklah boleh mengharamkan bersalaman dengan menggunakan hadits ini karena dalam banyak hadits Rasulullah Saw bersalaman dengan perempuan sebagaimana yang telah dijelaskan secara panjang lebar di awal pembahasan. Justru pengharaman bersalaman dengan menggunakan hadits ini sangat jauh panggang dari api sebaliknya bisa-bisa yang mengharamkannya telah melakukan keharaman karena telah mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah. Firman-Nya : “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram” untuk mengadakan kebohongan terhada Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”
Di dalam hadits yang telah saya sebutkan barusan, memang tidak disebutkan Rasulullah Saw bersalaman dengan perempuan. Ini berarti bukan bersalaman itu haram bagi beliau namun indikasi yang tepat adalah Rasulullah Saw melakukan salaman dalam beberapa sesi atau di tempat yang berbeda beliau tidak bersalaman hanya menggunakan kata-kata saja, artinya terjadi beberapa kali aktivitas bersalaman dengan situasi yang berbeda pula atau yang disebut oleh Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dengan yuhtamalut ta’addud. Positif thingking yang bisa dipahami dalam hadits ini karena Nabi Saw sudah tua, atau beliau mengalami keletihan atau ada urusan yang lain sehingga beliau tidak bisa bersalaman dan terkadang beliau menyuruh Umar untuk mewakilkan dirinya dalam menyalami perempuan satu persatu pada saat diangkat sumpah janji setia mereka.
Untuk itu kejelian dalam menggunakan dua dalil pada saat menetapkan suatu hukum haruslah dituntut secara cermat, gamblang dan tidak menyusahkan masyarakat dalam memahami hukum tersebut. Di dalam kaidah ushul apabila ada dalil yang seolah-olah bertentanga maka diambillah jalan tengah untuk menyeimbangkan. Dengan kata lain tetap mempertahankan hukum dasarnya dan menghubungkannya dengan qarinah-qarinah sehingga target yang ingin disampaikan pada nash atau dalil menjadi jelas dan menimbulkan kelegaan dalam beramal. Khususnya dalam masalah bersalaman, Rasulullah Saw terkadang menyalami perempuan dan sesekali tidak menyalami mereka. Dua dalil ini harus dipedomani dasarnya sebagai kesunnahan bersalaman dengan perempuan. Imam ‘Ali Abdul Kaafi As-Subki Asy-Syafi’i-seorang ulama pakar mazhab Syafi’i-menjelaskan dalam kitabnya Al-Ibhaaj Fii Syarh Al-Minhaaj ‘Alaa Minhaajil Wushul Ilal ‘Ilmil Ushul jilid 2, hal. 169,
أعمال الدليلين أولى من إبطال أحدهما بالكلية
Maknanya : “Memproyeksikan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satu dari keduanya secara universal.”
لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له
Maknanya : “Sungguh ditusuk kepala salah seorang kalian dengan jarum besi masih lebih baik dibandingakan dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani No. 486).
Imam Al-Haitsami menyatakan bahwa hadits ini memiliki rijalul hadits yang shahih dalam kitabnya Majma’uz Zawa’id jilid 4, hal. 598. Namun ulama yang lebih di atas beliau dalam kepakaran ilmu hadits yakni Imam Al-Hafidzh As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Jami’ush Shaghir Min Haditsil Basyirin Nadzir jilid 2, hal. 221 menyatakan hadits ini adalah hadits dha’if. Maka pendapat yang paling kuat (Arjah) bahwa hadits ini dha’if sehingga tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil untuk mengharamkan salaman dengan perempuan. Lagian, hadits seperti ini tidak disebutkan dalam riwayat-riwayat yang paling shahih seperti Bukhari, Muslim dll. Klimaksnya hadits ini tidak bisa digunakan sebagai ketetapan pengharaman bersalaman antara laki-laki dan perempuan. Kedha’ifan hadits ini terlihat karena bertentangan dengan riwayat-riwayat sebelumnya jika digunakan untuk haramnya bersalaman (mushafahah).
Selain itu pula, kata “massa” yang bermakna menyentuh jelas sangat jauh sekali dengan kata “mushafahah” yang maknanya salaman. Karena sentuhan lebih cenderung pada syahwat karena sentuhan dengan niat mengejar syahwat menimbulkan kelezatan dan keenakan pada saat bersentuhan. Sedangkan pada bersalaman tidak ada kesemuanya itu, karena kata salaman diambil dari kata “as-salaam” yang bermakna selamat. Jadi orang yang bersalaman itu selamat lidah, selamat tubuh, selamat hati dan selamatlah silaturrahmi.
Dalam mazhab Syafi’i memegang perempuan dapat membatalkan wudhu’ ketika seseorang masih memiliki wudhu’. Namun di luar wudh’u, memegang perempuan tidaklah diharamkan jika memang untuk bersalaman. Analoginya, dalam keadaan berwudhu’ seseorang yang buang angin maka batallah wudhu’nya. Apakah lantas buang angin jadi haram jika tidak dalam keadaan wudhu’ dan solat?!.
Pada hadits berikut juga dijadikan sandaran oleh sebahagian ulama bahwa laki-laki yang bersalaman dengan perempuan hukumnya haram,
قَالَتْ عَائِشَةُ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ إِلا امْرَأَةً يَمْلِكُهَا
Maknanya : “Aisyah berkata, demi Allah tangan Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang perempuan kecuali tangan istrinya atau budak wanita yang dimilikinya.” (HR. Bukhari No. 4879, Muslim 3470, Tirmidzi 3228, Ibnu Majah 2866).
Ditambah lagi mereka menggunakan qaul para ulama yang tidak tepat untuk mengharamkan bersalaman. Misalnya sebagai berikut,
قال النووي رحمه الله : وقد قال أصحابنا: كل من حرم النظر إليه حرم مسه، بل المس أشد، فإنه يحل النظر إلى الأجنبية إذا أراد أن يتزوجها، ولا يجوز مسها
Maknanya : “Imam Nawawi berkata, para sahabat kami berkata : “Setiap yang diharamkan melihatnya maka haram pula menyentuhnya karena sentuhan lebih memberikan efek sesungguhnya yang halal memandang wajah wanita asing adalah apabila seorang pria ingin menikahinya namun tetap tidak boleh menyentuhnya.” Juga Ibnu Nujaim Al-Maliki dalam kitabnya Al-Bahrur Ra’iq jilid 8, hal. 192 menyatakan,
ولا يجوز له أن يمس وجهها ولا كفها وإن أمن الشهوة لوجود المحرم ولانعدام الضرورة
Maknanya : “Tetap tidak boleh bagi seorang pria menyentuh wajah perempuan dan telapak tangannya meskipun tidak menimbulkan syahwat sedang di sisinya ada mahram dan tidak ada kepentingan di dalamnya.”
Pernyataan Aisyah dan kedua ulama di atas, sangatlah keliru jika yang dipahami bahwa bersalaman antara laki-laki dan perempuan itu haram. Kata “massa” menyentuh dan “mushafahah” bersalaman jelas dua kata yang sangat berbeda bagaikan laut dengan danau. Imam Al-Manawi Asy-Syafi’i dalam kitabnya Faidhul Qadir jilid 5, hal. 329 menjelaskan kata “massa” atau sentuhan bermakna, “bermesraan dan berlezat-lezat bersama perempuan di luar kemaluannya (al-mubaasyarah fi dzaahiril farji) .” Artinya dalam setiap anggota tubuhnya jika diniatkan dan diturutkan syahwat maka bersentuhan dengan tangannya dapat dikiaskan seperti bersetubuh ringan dan hal ini jelas berbeda dengan bersalaman yang bukan memprioritaskan syahwat. Setiap orang pun tahu kalau seseorang menyodorkan tangannya kepada seseorang berarti menunjukkan bersalaman. Tak pernah orang ketika bersalaman dikatakan bahwa dia sedang bersetubuh. Ungkapan Al-Manawi seperti bersetubuh menunjukkan sentuhan tersebut bukan menunjukkan untuk bersalaman tapi menyengaja bersyahwat. Kalau memang dengan niat bersalaman pastinya disunnahkan. Ini sama halnya seseorang solat dengan niat umrah tentunya solatnya haram dan tidak diterima. Sama juga jika seseorang bersalaman dengan niat bersyahwatan pastinya haram. Tapi kalau bersalaman dengan niat silaturrahmi, keramahan, kekeluargaan, ukhuwwah dll selama itu dalam kerangka kebaikan maka tentunya disunnahkan.
Walaupun sebahagian ulama mengharamkan bersalaman dengan perempuan, saya berhusnudzhann bahwa pengharaman itu dalam rangka kehatian-hatian dalam mengambil hukum (ihtiyath) di tengah zaman fitnah yang ada pada masa mereka terdahulu. Kita ketahui bahwa kondisi sosio dan antro masyarakat Arab berbeda termasuk dalam kategori libido atau syahwat orang Arab yang demikian besar dikarenakan mereka memakan daging hewan yang berdarah panas seperti unta sehingga memuncakkan hormon estrogen dan testoteron. Oleh karena itu tepatlah sekali mengapa Allah mengutus para Rasul-Nya di Arab karena Arab mewakili dari sekelompok manusia yang paling jahiliyah di masa-masa terdahulu. Itu semua karena segala tindakan kriminal dan nyeleneh ada pada Arab jahiliyyah termasuk besarnya nafsu seks yang dimilki oleh mereka. Allah Swt mengakui di dalam Alquran-Nya tentang hal ini,
الْأَعْرَابُ أَشَدُّ كُفْرًا وَنِفَاقًا وَأَجْدَرُ أَلَّا يَعْلَمُوا حُدُودَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
Maknanya : “Orang-orang Arab itu sangat besar kekufuran dan kemunafikannya dan pastinya mereka tidak mau tahu hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 97).
Secara otomatis, setiap hukum bisa berubah statusnya lantaran berbeda kondisinya. Namun hukum dasar tetap tidak berubah, yang berubah adalah kondisi yang menyesuaikannya. Seperti hukum solat 5 waktu adalah wajib, ketika solat di kandang babi maka hukum solat tersebut menjadi haram. Contoh lain lagi, beras halal dimakan namun ketika beras didapat dari hasil curian maka beras tersebut menjadi haram. Sama halnya, hukum bersalaman antara laki-laki dan perempuan itu pada dasarnya sunnah, akan tetapi jika bersalaman itu dengan sengaja penuh nafsu dan syahwat, maka hukumnya menjadi haram. Realitas hukum seperti ini wajar saja, sehingga para ulama kita seperti Imam Abu Syujaa’ menyebutkan sebuah kaidah fiqh dalam kitabnya Taqwimun Nadzhar Fii Masa’ila Khilafiyyah Dzaa’i’ah Wa Nabdzi Madzhabiyyah Naafi’ah jilid 4, hal. 362,
تغير الأحكام لاختلاف حال المحل
Maknanya : “Perubahan status hukum terjadi karena perbedaan situasi tempat.”
Hikmah Bersalaman Dengan Perempuan
Dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain kita dianjurkan untuk berjabat tangan karena berjabat tangan akan semakin mempererat hubungan kita dengan orang lain, etika berjabat tangan sesusngguhnya memiliki tujuan untuk mempererat rasa persaudaraan antara sesama ummat manusia, dan menghilangkan rasa permusuhan di antara kita selain itu akan senatiasa memberikan postif feeling dan positif thinking kepada orang lain. Bahkan Secara Ilmiah terdapat beberapa manfaat jabat tangan, seperti yang disebutkan dalam laporan yang dimuat dalam ‘Journal of Cognitive Neuroscience.’ Para peneliti mencoba menukan jawaban tentang pengaruh yang terjadi pada koneksi saraf akibat jabat tangan.dan ternyata hasilnya ketika kita berjabat tangan otak akan memproduksi hormon kebahagian atau endorfin yg memberikan rasa bahagia ketika bertemu dan berjabat tangan dengan orang lain.
Selainnya, Florin Dolcos dari Beckman Institute menemukan bahwa berjabat tangan sebelum melakukan interaksi sosial akan meningkatkan dampak positif sekaligus mengurangi dampak negatif dalam pergaulan. “Kami menemukan bahwa berjabat tangan tidak hanya meningkatkan efek positif dalam berinteraksi, tetapi juga mengurangi kesan negatif.,” kata Dolcos seperti dilansir Science Blog, menurutnya, seringkali terjadi kesalahan dalam interaksi sosial kita. Dengan berjabat tangan, maka kita dapat meredam dampak negatif dari kesalahpahaman yang mungkin terjadi.dan mampu meredam permasalahan dan memulihkan situasi psikologis antar person. Selain itu beberapa manfaat jabat tangan dalam islam antara lain orang yg berjabat tangan diampuni dosanya, berjabat tangan bisa menghilangkan rasa kebencian dalam hati, berjabat tangan merupakan ciri dari orang-orang yang berhati lembut, orang yg berjabat tangan akan diampuni dosanya, dan orang yang berjabat tangan doanya akan dikabulkan.
Dalam dunia medis, pegangan seorang perawat perempuan dapat menyadarkan pasien yang sedang koma. Ini menunjukkan pegangan itu memberikan efek kesehatan yang luar biasa bila dilakukan lawan jenis. Makanya perintah bersalaman dilakukan juga untuk lawan jenis agar dapat memberikan efek kesehatan yang sangat baik untuk beribadah, bekerja khususunya berinteraksi sosial kepada sesama manusia.
Ahsanakumullaahul hal abadan,
Sang Pecinta Kedamaian : Al-Ustadz Miftahul Chair Al-Fat, S.Hi. MA.
Sumber : ustadzmiftah.blogspot.com