expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

15/12/2019

PERJUANGAN PENEGAKAN ISLAM DI ALJAZAIR, DARI ERA KOLONIALISME HINGGA KEBANGKITAN FIS


KIBLAT.NET – Dalam buku karya syaikh Abu Mush’ab As-Suri yang berjudul Mukhtashar Syahadati ‘ala al-jihad fi Al-Jazair Thali’ah Ar-Radd ‘ala Kitab Al-Jami’ disebutkan awal mula munculnya amaliyah jihadiyah di Aljazair dan bermacam problem didalamnya. Meski hanya sekilas dibahas tentang sejarah Aljazair, cukup memberikan gambaran cita-cita mulia rakyat Aljazair untuk mengembalikan supremasi Islam sepeninggal runtuhnya Turki Utsmani.

Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
Aljazair merupakan bagian dari Daulah dan Peradaban Islam sepanjang masa. Ketika Khilafah Utsmaniyah (Ottoman) menyatukan negara-negara kecil yang terpecah-pecah sejak abad ke-16, Aljazair kembali mengambil posisinya yang strategis—sejak orang-orang Ottoman memasukinya pada tahun 1546 M—sebagai salah satu benteng Islam terpenting dalam menghadapi Eropa. Pelabuhan-pelabuhan di Aljazair merupakan salah satu pilar penting bagi armada Laut Ottoman untuk menguasai laut tengah. Juga menjadi pos yang sangat penting bagi jihad mereka dalam menghadapi armada negara-negara Eropa dan menghadapi agresi Salibis-Imperialis ke negeri-negeri kaum muslimin.
Dengan melemah dan rapuhnya negara Ottoman pada abad ke-19, negara-negara Barat bernafsu untuk menyerang mereka, menghancurkan sendi-sendinya, dan menguasai daerah-daerah kekuasaannya. Inggris, Perancis, dan negara-negara Kolonial Eropa lainnya mulai memecah belah kerajaan-kerajaan Islam. Dan Perancis berhasil menduduki Aljazair pada tahun 1830 setelah melakukan konspirasi internasional.
Tidak lama orang-orang Perancis menginjakkan kakinya di bumi Aljazair, jihad dan perlawanan langsung pecah yang diawali dari masjid-masjid dan majelis-majelis kaum sufi Aljazair. Suku-suku yang ada di Aljazair, guru-guru sufi, dan para ulama membaiat amir Abdul Qadir Aljazairi di Wahran pada tahun 1832. Ia memimpin jihad dan membebaskan Aljazair bagian barat pada tahun 1837. Kemudian, ia berhasil mengepung ibu kota pada tahun 1840.
Perancis mengerahkan segala kekuatannya untuk menghentikan jihad dan perlawanan rakyat muslim Aljazair dengan cara yang sangat biadab. Sehingga, revolusi itu pun berhasil dipadamkan. Amir Abdul Qadir berhasil ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian, ia diasingkan dan menetap di Suriah sampai wafat, semoga Allah merahmatinya.
Setelah itu, Perancis mulai menerapkan kebijakan menjadikan Aljazair sebagai bagian dari negara Perancis dan melakukan perancisisasi di Aljazair. Penjajah Perancis juga berusaha menghapus bahasa Arab dan identitas Islam dari bangsa Aljazair.
Syaikh Abdul Hamid bin Badis
Syaikh Abdul Hamid bin Badis, Ulama pejuang Aljazair
Perlawanan dan revolusi rakyat Aljazair berlangsung konstan dan tidak kunjung padam. Kemudian, Allah mempersiapkan bagi negeri Aljazair sosok pribadi yang unik, yaitu Syekh Abdul Hamid Badis yang mendirikan Jam’iyah Al-Ulama Al-Muslimin (Organisasi Ulama Muslimin). Sebuah organisasi yang dengan program tarbiyah dan ilmiahnya menjaga identitas Islam dan Arab Aljazair, serta membentuk generasi yang mampu mengemban panji revolusi terbesar. Revolusi itu dimulai pada tahun 1954 dan terus berlanjut sampai terwujudnya kemerdekaan pada tahun 1963, setelah Aljazair mempersembahkan lebih dari satu juta syuhada.
Model Baru Penjajahan Perancis Pasca Kemerdekaan
Perancis dengan kelicikannya menggunakan cara lain untuk menghadapi perlawanan rakyat muslim Aljazair. Hal itu dilakukan setelah mereka yakin bahwa mustahil bisa tinggal dengan tenang di Aljazair dan bahwa kemerdekaan rakyat Aljazair tidak bisa dielakkan. Mereka berupaya agar kekuasaan di Aljazair setelah mereka angkat kaki, dipegang oleh sebagian organisasi dan partai yang para pelopornya telah terdidik dengan pemikiran yang diimpor dari Eropa, terutama orang-orang nasionalis, sosialis, dan liberalis barat yang semuanya membentuk organisasi yang disebut dengan nama Jabhah At-Tahrir Al-Wathani (FLN: Front de Libération Nationale). Di mana pengaruh wakil-wakil Islamis di tubuh FLN mulai berkurang seiring berjalannya waktu.
Demikianlah, Perancis menentukan orang yang akan menggantikan posisinya di Al-Jazair. Perancis mengikat para penggantinya dengan pasal-pasal yang terangkum dalam Konvensi Evian, tahun 1962.
Presiden Perancis, Diegol, saat itu berkata,
“Mereka ingin kemerdekaan Aljazair? Baik, kami akan memberikannya kepada mereka, tetapi kami akan memintanya kembali setelah tiga puluh tahun!”
Aljazair merdeka dan dipimpin oleh Presiden Houari Boumediene. Ia seorang nasionalis Arab, beraliran kiri, dan dekat dengan pemikiran komunis. Dalam masa kekuasaannya, ia mengalami kebangkrutan dan kehancuran. Sementara itu, pengaruh militer dari para anggota Partai FLN, Jabhah At-Tahrir Al-Wathaniy—yang mayoritas berwarganegara Perancis—semakin besar. Sejak saat itu, partai ini menjadi satu-satunya partai yang berkuasa. Dan gerakan yang dikenal dengan Gerakan Francophonie ini memegang tugas memerangi Islam dan membersihkan para Islamis di Aljazair.
Setelah kematian Boumediene, Chadli Bendjedid menggantikannya menjadi presiden. Partai Front Pembebasan Nasinal, FLN, pun melanjutkan kebijakan politik satu partai. Chadli menambah kejahatan-kejahatan pendahulunya dengan menerapkan kebijakan: kembali ke pangkuan Perancis. Perlu diketahui, Boumediene (presiden) sebelumnya adalah seorang nasionalis Arab yang beraliran kiri dan memusuhi Perancis. Demikianlah, lambat laun pengaruh Organisasi Franchoponie dan para petinggi militer semakin kuat. Kondisi negara Aljazair pun semakin memburuk dan bangkrut, meskipun Aljazair merupakan salah satu negara pengekspor minyak dan gas alam terbesar di dunia.
Munculnya Harakah Ad-Daulah Al-Islamiyah
Di awal tahun tujuh puluhan, Syekh Musthafa Buya’la bangkit menuntut pemerintahan Chadli untuk menghentikan gelombang kerusakan di Aljazair dengan mengembalikan negara Aljazair kepada pondasi negara Islam dan mengingatkan mereka akan prinsip-prinsip Revolusi 1954 yang mengangkat jargon Islam dan Jihad. Penting dicatat, Syaikh Musthafa merupakan salah seorang mujahidin yang ikut serta dalam revolusi tersebut.
Mushtofa Buya'la dan Ali Belhaj
Mushtofa Buya’la dan Ali Belhaj
Tidak lama kemudian, Syekh Buya’la mengumumkan jihad melawan pemerintah dan mendirikan Harakah Ad-Daulah Al-Islamiyah (GNI: Gerakan Negara Islam). Ia mengangkat senjata dan naik ke gunung bersama para pendukungnya untuk berjihad melawan pemerintah Aljazair. Kemudian, pada tahun 1976 pemerintah berhasil membunuhnya, menangkapi para pengikutnya, dan menjebloskan mereka ke dalam penjara.
Pada akhir tahun delapan puluhan, krisis ekonomi di Aljazair mencapai puncaknya. Rakyat Aljazair marah sehingga pecahlah revolusi dengan adanya demonstrasi besar-besaran di mana-mana. Demonstrasi-demonstrasi itu dikenal dengan nama Muzhaharat Al- Khubz (Demonstrasi Roti).
Pemerintah Aljazair dan presidennya, Chadli, menyadari bahwa ia harus melakukan langkah perubahan mendasar untuk mengubah situasi. Maka, pada tahun 1988 Chadli mengumumkan rangkaian reformasi secara menyeluruh. Di antara rangkaian reformasi yang paling penting adalah mengakhiri kebijakan politik satu partai, membiarkan sistem demokrasi berjalan, dan memberikan kebebasan membentuk partai politik.
Kebangkitan Umat Islam Aljazair dan Berdirinya FIS
Rakyat Aljazair menyambut (era) kebebasan pembentukan partai politik dan pendirian surat kabar dengan antusias. Gerakan politik pun menjadi berkembang. Orang-orang di barisan terdepan yang bergerak dengan semangat di era kebebasan ini adalah dari berbagai elemen Shahwah Islamiyyah di Aljazair dan yang menyaksikan situasi yang stagnan, gagal mewujudkan kemajuan sejak pertengahan tahun tujuh puluhan.
Kondisi Aljazair saat itu seperti halnya negara-negara Arab dan Islam lainnya; menyaksikan Shahwah Islamiyyah yang hebat setelah mulai terlihat bangkrutnya fatamorgana pemikiran-pemikiran nasionalisme dan aliran kiri yang berkembang pada tahun lima puluhan dan enam puluhan.
Demikianlah, Chadli mengumumkan pelaksanaan pemilu domestik pada tahun 1988, diikuti pemilu parlemen pada tahun 1989 untuk memulai jalannya demokrasi di Aljazair. Partai-partai dengan beraneka macam aliran pun mulai bersiap-siap untuk terjun pada eksperimen tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada profil syaikh Ali Belhaj bahwa sebelum FIS lahir telah berdiri sebuah asosiasi. Asosiasi ini berdiri pada tahun 1989 di bawah pimpinan syaikh Ahmad Sahnoun dengan anggota Ali Belhaj, Abbasi Madani, Mahfudz Nahnah, Muhammad Sa’id, Abdullah Jabullah dan lainnya. Perkumpulan ini berdiri sebagai reaksi atas kejadian Muzhaharat Al-Khubz.
Bendera FIS
Bendera FIS
Maka, berdirilah FIS setelah Ali mengutarakan pendapatnya untuk mendirikan Front Islam Bersatu. Abbas Madani setuju dengan pendapat itu tetapi menyarankan dengan nama yang lain, yaitu Jabhah Al-Islamiyah lil Inqâdz (FIS: Front Islamique du Salut) dengan alasan Front Islamiyah ini adalah satu satunya cara untuk mengubah dan menyelamatkan, diambil dari firman Allah dan ini akan menjadi slogan kedepannya,
(( وكنتم على شفا حفرة من النار فأنقذكم منها ))
“dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.” (QS.Ali Imran :  103)
Akhirnya, FIS pun lahir pada 18 Februari 1989 dan diakui pemerintah sebagai partai secara resmi pada September 1989.
Peta Politik di Aljazair Menjelang Pemilu
Menjelang pemilu tahun 1989, peta politik di Aljazair terdiri dari tiga poros, yaitu partai penguasa, kekuatan Shahwah Islamiyyah, dan partai-partai sekuler yang dibentuk saat itu.
  1. Partai Penguasa
Yaitu Partai Jabhah At-Tahrîr Al-Wathaniy (Front Pembebasan Nasional, atau FLN) yang berkuasa di Aljazair sejak masa kemerdekaan dengan cara otoriter. Front Pembebasan Nasional (FLN) juga menjadi satu-satunya partai yang berkuasa di Aljazair sejak kemerdekaan sampai sekarang, selama 40 tahun lebih.
  1. Kekuatan Shahwah Islamiyah di Aljazair
Diberikannya lampu hijau untuk membentuk partai politik ini benar-benar dimanfaatkan untuk membenahi Aljazair. Pada akhirnya lahirlah FIS yang dipimpin oleh Syaikh Abbas Madani dan wakilnya adalah Syaikh Ali Belhaj, salah seorang dai gerakan salafi. Komposisi FIS adalah perpaduan para pelajar dari berbagai aliran Shahwah, para pimpinannya, organisasi-organisasi Islam, dan para dai independen.
Ditambah pula basis kaum muslimin awam yang percaya pada proyek politik Islam secara umum. Mereka juga menerima kampanye yang mengusung proyek politik Islam secara umum dan opini reformasi secara menyeluruh di berbagai bidang.
Elemen-elemen utama dalam tubuh FIS antara lain:
  1. Jamaah Thalabah (HM: Himpunan Mahasiswa)
  2. Sebagian pengikut dakwah salafiyah.
  3. Harakah Ad-Daulah Al-Islamiyah (GNI: Gerakan Negara Islam)
  4. Sejumlah tokoh dakwah Islam independen.
  5. Kaum muslimin awam yang simpati terhadap proyek Islam dan diberi kesempatan menjadi anggota dalam organisasi, sehingga ratusan anggota bergabung dengan FIS dalam tempo yang singkat.
Kekuatan Islam di Aljazair selain FIS dalam pemilu 1989, yaitu
  1. Ikhwanul Muslimin—Cabang Organisasi (IM) Internasional di Aljazair
  2. Ikhwanul Muslimin Lokal—An-Nahdhah Al-Islamiyah (Partai Kebangkitan Islam)
  3. Salafi Tradisional
  4. Para Pemuda Salafi Militan
  5. Sayap dari GNI: Gerakan Negara Islam
  6. Orang-orang Afghan-Arab dari Al-Jazair
  7. Partai-partai sekuler yang Muncul Pasca Era Kebebasan Berpartai
Ada banyak kekuatan dan partai sekuler yang bermunculan setelah rakyat mendapatkan kebebasan mendirikan partai. Akan tetapi, kekuatan partai sekuler yang paling menonjol menurut hasil pemilu adalah sebagai berikut:
  1. Partai Hizb Jabhah Al-Quwa Al-Isytirakiyah (FFS: Front des Forces Socialistes)
  2. Partai Tajammu’ min ajli Ats-Tsaqafah wad Dimuqratiyah (RCD: Rassemblement pour la culture et la démocratie)
  3. Partai Komunis
Kiprah FIS dalam Pemilu Aljazair
Setelah pemilu domestik selesai digelar, terlihat jelas bahwa FIS berhasil mengalahkan partai politik sekuler terkuat di Aljazair; partai penguasa, FLN (Front Pembebasan Nasional). Fakta lain adalah bahwa partai-partai sekuler yang baru berdiri hanya mendapatkan suara sedikit.
Dengan kemenangan tersebut, FIS menguasai mayoritas wilayah Aljazair. Para anggotanya mulai melayani masyarakat dengan rasa senang dan ikhlas yang sudah sejak lama hilang di Aljazair. Hal ini membuat FIS semakin populer di tengah masyarakat dan memberikan andil besar untuk meraih kemenangan pada pemilu berikutnya. FIS banyak mengambil pelajaran dari keberadaannya di berbagai wilayah Aljazair. Mereka pun mulai melakukan kampanye besar-besaran. Para anggota dan pendukungnya, baik laki-laki maupun perempuan, bekerja tiada henti untuk mempersiapkan pemilu legislatif (parlemen).
FLN selaku partai penguasa berdebar-debar takut melihat popularitas FIS. Akhirnya, pemerintah menetapkan undang-undang pemilu yang melarang FIS memanfaatkan kekuatannya di wilayah-wilayah yang menjadi kantong pendukungnya. Meskipun demikian, FIS tetap menang telak pada putaran pertama pemilu. Dan tampaknya, putaran kedua juga akan dimenangkan oleh FIS. Dengan kemenangan itu maka terpenuhilah syarat-syarat untuk membentuk pemerintahan sendiri dan dapat mengajukan calon presiden untuk memimpin negara.
Pengkhianatan Hasil Pemilu
Lonceng tanda bahaya telah ditabuh di seluruh dunia. Negara-negara besar Salib menyatakan kesiapannya melakukan intervensi untuk mencegah para Islamis memegang tampuk kekuasaan. Bahkan Francois Mitterrand, presiden Perancis saat itu, menyatakan bahwa Perancis siap melakukan intervensi militer untuk mencegah para Islamis berkuasa. Satu-satunya solusi di depan mereka adalah membuat kudeta militer yang didukung oleh Barat, terutama Perancis, untuk mencegah para Islamis memegang tampuk kekuasaan di Aljazair.
Dan terjadilah kudeta. Pihak militer mendatangkan mantan jenderal, Mohamed Boudiaf untuk menjabat sebagai pemimpin negara. Para pemimpin FIS ditangkap dan dipenjara. Demonstrasi-demonstrasi dibubarkan secara paksa dengan kekerasan. Rezim militer—yang memegang kendali kekuasaan dan menghancurkan demokrasi dengan dukungan Barat—membuka banyak penjara di tengah gurun pasir untuk menampung puluhan ribu tahanan dari kalangan Islamis.
Peristiwa inilah yang menjadi pemicu dimulainya fase kebangkitan jihad kontemporer dan berdarah di Aljazair, yang tak kunjung usai sampai sekarang. Sebuah fase yang berat bagi negeri tercinta itu, yang sampai sekarang sudah memakan korban seperempat juta kaum muslimin yang tidak berdosa.
Perancis dan Barat pun menyambut para pelaku kudeta yang telah menjalankan rencana dan mendukung mereka. Membatalkan hasil (pemilu) dari kedustaan besar ini, yaitu apa yang mereka namakan demokrasi.
Sungguh benar apa yang dikatakan Abbas Madani selaku pimpinan tertinggi FIS dalam sebuah wawancara,
“Mereka melarang jalannya demokrasi, karena jika demokrasi itu untuk (kemaslahatan) Prancis, itu berlaku. Tetapi tidak berlaku untuk Aljazair. Jadi, sebenarnya kita masih terjajah.”
Umat Islam yang berjuang lewat jalan yang “legal” menurut pemerintah, pada akhirnya diberangus karena hasil demokrasi tidak sesuai keinginan pemerintah. Bahkan, dalam tragedi FIS ini, Perancis ikut campur tangan dalam menggagalkan kemenangan umat Islam dalam pemilu. Semoga apa yang telah menimpa saudara-saudara kita di Aljazair ini memberikan pelajaran, dan jangan sampai kaum muslimin dimanapun berada masuk lubang yang sama untuk kedua kalinya. Wallahu a’lam bi shawab. 
Penulis : Dhani El_Ashim

Editor: Arju
Disarikan dari buku karya syaikh Abu Mush’ab As-Suri yang berjudul Mukhtashar Syahadati ‘ala al-jihad fi Al-Jazair Thali’ah Ar-Radd ‘ala Kitab Al-Jami’.

Sumber :  www.kiblat.net