expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

11/10/2019

MEMPERTEMUKAN 'TIGA MAJHAB' AHLUS SUNNAH



Sebagian ulama menjelaskan ketiga mazhab tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Bisa digunakan sesuai dengan kondisi dan tempatnya masing-masing.

Terkait


Oleh: Bahrul Ulum

TIDAK bisa dipungkiri bahwa pembahasan tentang apakah Allah punya sifat atau tidak, sudah menjadi polemik sejak dulu. Sebagian aliran mengatakan bahwa Tuhan itu mempunyai sifat dan sebagian lainya mengatakan tidak.
Mu’tazilah dengan tegas menolak Allah memiliki sifat. Mereka tidak mengakui sifat-sifat Allah sebagai suatu yang qadim, yang lain daripada zatnya. Sedang Ahlus Sunnah menerimanya dengan catatan sifat Allah berbeda dengan sifat mahluk.
Di kalangan Ahlusunnah sendiri kemudian juga terjadi perdebatan dalam menetapkan sifat Allah. Setidaknya ada tiga kelompok ulama dalam memahami masalah ini yaitu 3 mazhab; tafwid , takwil dan isbat.
Berkaitan dengan masalah di atas, sebetulnya, banyak ulama seperti Syeikh Ali as Shobuni, Syeikh Dr Yusuf al Qaradhawy yang mengatakan bahwa ketiga mazhab tersebut sudah menjadi bagian pemikiran para ulama ahlu sunnah Karenanya, persoalan tersebut tidak layak diperdebatkan dan diperuncing.
Mazhab isbat yang menetapkan sifat Allah tanpa mempertanyakan maknanya, maksudnya bukan menyamakan sifat Allah dengan sifat mahluk. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah,ulama yang menganut mazhab ini, menjelaskan bahwa sifat-sifat Allah seperti iradha (berkehendak), ilman (berilmu) sama dengan sifat Allah seperti yadhain (memiliki dua tangan) dan melihat.
Semuanya harus ditetapkan sebagaimana dhahir  nashnya (al-Fatawa al-Qubra, juz 6/656). Namun berkaitan dengan sifat Allah seperti memiliki tangan dan melihat, ia mengatakan tidak ada musyabbihah (penyamaan) dengan tangan dan penglihatan  mahluk (dalam Dar ut taahrudh al aql wan naql 5/363).
Ini artinya, ulama yang mendapat julukun Syaikul Islam ini dengan tegas menolak menyamakan sifat Allah dengan sifat mahluk.
Demikian pula mazhab tafwid  yang menyerahkan secara bulat lafad atau terjemahannya serta maknanya kepada Allah, sudah diikuti oleh ulama salaf.
Imam Tirmudzi dalam kitabnya menjelaskan bahwa mazhab ini diikuti oleh Sofyan at-Tsuari, Malik bin Anas, Ibnu Mubarok, Ibnu Uyaina, Wakiq dan lainnya dari kalangan ahli hadits dan ulama salaf (Sunan Turmudzi 4/492).


Hal ini juga dipertegas oleh Imam Suyuti bahwa jumhur ulama ahlu sunnah dari kalangan salaf dan ahlu hadits mengikuti mazhab tafwid  (al-Itqon fi ulumil Qur’an 2/10).
Sedang mazhab takwil juga dipakai oleh sebagian ulama salaf dalam rangka mengalihkan makna dhahir dari sifat Allah agar tidak sama dengan sifat manusia.
Imam Thabari dalam kitabnya menjelaskan bahwa Ibnu Abbas telah melakukan beberap takwil terhadap al-Qur’an, diantaranya ketika mentakwil surat al-Dariyat ayat 47. Kata aydin dalam ayat ini oleh Ibnu Abbas ditakwili menjadi quwwah (kekuatan), bukan diartikan tangan. Ini karena Allah Maha Suci dari menyerupai mahluk-Nya (Tafsir Thabari 7/27).
Dari keterangan di atas, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita mempersoalkan masalah tersebut dengan cara yang tidak elegan, yaitu tidak jujur yang hanya membuat perpecahan di kalangan umat Islam ahlu sunnah.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa ketiga mazhab tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Ketiganya bisa digunakan sesuai dengan kondisi dan tempatnya masing-masing.
Jujur
Pembahasan masalah di atas tidak akan pernah selesai jika masing-masing hati kita sudah ada keinginan untuk tafaruq (berpecah). Padahal dalam kondisi umat yang sudah terlanjur carut-marut ini dibutuhkan hati yang legowo dalam menerima perbedaan yang sebenarnya hanya bersifat furu’ aqidah. Kita harus  mengedepankan persatuan umat daripada menjerumuskan mereka dalam perpecahan.
Karena itu diperlukan sikap yang ihlas menerima perbedaan tersebut dengan mengabaikan perbedaan yang sifatnya tidak terlalu prinsip.
Kita jaga persatuan umat ini karena hal tersebut merupakan perintah Allah.
Allah berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَّ لاَ تَفَرَّقُوْا، وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَآءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمِتِه اِخْوَانًا، وَ كُنْتُمْ عَلى شَفَا حُفْرَةٍ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا، كَذلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ايتِه لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ. ال عمران:103
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari pada­nya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” [Ali ‘Imran : 103]
وَ اَطِيْعُوا اللهَ وَ رَسُوْلَه وَلاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَ تَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَ اصْبِرُوْا، اِنَّ اللهَ مَعَ الصّبِرِيْنَ. الانفال:46
“Dan thaatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berban­tah-bantah, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [QS: Al-Anfaal : 46]
Demikian juga Rasulullah bersabda,
عَنْ اَنَسٍ رض عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلاَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. البخارى و مسلم
Dari Anas RA, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, beliau bersabda : “Tidak beriman seseorang diantara kalian, sehingga dia cinta untuk saudaranya sebagaimana dia cinta untuk dirinya sendiri”. [Bukhari dan Muslim]
Kita berharap kepada Allah agar hati kita sesasam Muslim bisa bersatu demi kejayaan Islam.*
Penulis adalah Sekretaris MIUMI Jawa Timur
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !