expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

05/04/2020

GENERASI 554, KEBAL BULLY


An-Najah.net – Alkisah, setiap satu tahun sekali, suku-suku Arab dari pelosok jazirah Arab berkumpul di lembah dekat Thaif. Mereka melanjutkan tradisi pasar tiban yang dikenal dengan souq ukadz atau Pasar Ukadz. Festival belanja itu dibuka dengan terbitnya hilal awal bulan Dzulqa’dah. Selama 20 hari ke depan, para pelancong membuka lapak untuk berdagang. Setelah urusan niaga itu selesai, barulah mereka pergi ke Makkah guna menunaikan ibadah haji.

Di kegiatan tersebut seluruh perwakilan suku Arab datang. Memang tidak semua yang datang berniat untuk berdagang atau membeli. Kadang hanya untuk mengabarkan berita atau mencari sanak keluarga yang hilang. Ikrar permusuhan, koalisi atau islah antar suku kerap diikrarkan di pasar ini. Itu karena berita dari Pasar Ukadz biasanya cepat menyebar ke segala penjuru.
Urusan hutang piutang pun sering diselesaikan di hari tersebut. Bahkan, banyak yang menentukan waktu jatuh temponya bersamaan hari Pasar Ukadz.
Rasulullah SAW turut memanfaatkan momen tersebut dalam rangka dakwah. Beliau mengajak satu persatu suku Arab masuk Islam. Beliau kadang ditemani oleh Abu Bakar atau Utsman bin Affan. Keduanya sangat paham tentang nasab orang-orang Arab. Jadi, sebelum berhadapan dengan suku tertentu, Rasulullah SAW sudah paham profil mereka secara detail.
Pernah terjadi insiden kecil saat Rasulullah SAW berdakwah. “Wahai bani fulan, aku adalah rasul utusan Allah. Aku ajak kalian untuk beribadah hanya kepada Allah. Jangan menyekutukannya dengan tuhan-tuhan tandingan. Berimanlah, percayalah ajakanku, lindungilah aku agar aku leluasa menyampaikan ajaranku,” seru Rasulullah SAW.
Tiba-tiba seorang pria juling berwajah pucat memotong ucapan beliau, “Wahai bani fulan, orang ini mengajak kalian mencampakkan tuhan Latta, tuhan Uzza dan jin teman-teman kalian dari Bani Malik bin Aqyash. Ajarannya adalah bidah dan kesesatan, jangan ikuti dan dengarkan dia.”
Pria tersebut adalah Abu Lahab. Keluarga dekat Rasulullah SAW yang justru menjadi orang paling keras perlawanannya bagi dakwah Islam. Intimidasi itu tak membuat Nabi gentar.  Orang-orang musyrik pun memutar otak bagaimana membuat serangan verbal lanjutan.
Al-Walid bin Mughirah, tokoh musyrik paling senior, mengusulkan agar nabi disebut sebagai penyihir. Karena seseorang yang mendengar ucapan Nabi akan berubah sikap dengan tegas. Anak rela berseberangan dengan bapak. Atau suami dengan istri. Maka, di musim haji berikutnya, sebelum perwalikan suku-suku Arab masuk ke Makkah, perwakilan Quraisy mencegat di jalan dan menyebarkan hoax tentang nabi. Mereka berharap dengan cara itu akan muncul fobia terhadap Islam.

Sunnatullah Al Haq Vs Al Batil

Serangan verbal berupa bully, caci maki, sindiran satir, hingga hoax merupakan strategi paling purba untuk menghadap dakwah. Simak saja kisah para nabi. Semuanya pernah menjadi korban serangan verbal tersebut.
Serangan verbal paling ringan biasanya dilemparkan dengan cara satire. Satire berbeda dengan hinaan sarkasme. Kalimat-kalimatnya berisi sindiran dan seringnya diucapkan dengan halus. Namun, kesan dan persepsi yang muncul di benak pendengar sangat tajam dan menusuk. Salah satu contohnya ialah opini Firaun tentang Musa;
مَا أُرِيكُمْ إِلَّا مَا أَرَىٰ وَمَا أَهْدِيكُمْ إِلَّا سَبِيلَ الرَّشَادِ
“Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.” (QS. Ghafir: 29)
Dalam kalimat itu, Firaun tidak menyebut nama Musa sama sekali. Namun sejatinya ia sedang menista Nabi Musa dan pengikutnya. Sekaligus mencengkramkan dominasinya atas rakyat mesir. Rakyat mesir menganggap Firaun sebagai titisan dewa. Ketika Firaun menyebut pemikirannya sebagai isme yang baik dan jalan yang benar, secara tidak langsung ia menyebut dakwah Nabi Musa sebagai aliran sesat yang membawa keburukan.
Firaun berusaha membentengi rakyatnya agar tidak mendengarkan dakwah nabi Musa. Cara yang paling singkat ialah dengan menumbuhkan persepsi bahwa ajaran pagan Mesir yang benar. Selainnya adalah sesat. Firaun berupaya menebalkan benteng psikologis antara rakyat Mesir dengan Nabi Musa.
Dalam dunia psikologi, manuver Firaun itu disebut dengan fenomena motivated reasoning.  Yaitu sebuah penalaran yang nampak sangat logis dan rasional, padahal semua itu hanyalah upaya mencari justifikasi atau pembenaran atas apa yang diyakini benar. Tujuannya untuk membela diri atau menyerang ide lain.
Serangan-serangan verbal terus berlanjut hingga hari ini. Jika anda aktif memantau media sosial beberapa bulan terakhir, anda akan menemukan beragam narasi yang menyerang Islam. Baik dengan cara paling halus, hingga kalimat-kalimat hinaan kasar.
Sebagai contoh, ucapan seseorang dosen yang bahwa, “Azan tidak suci, azan itu cuma panggilan shalat. Sering tidak merdu. Jadi, biasa-biasa sajalah.”
Saat dikonfrontir, ia akan berkilah bahwa adzan sebenarnya penanda waktu shalat telah tiba. Dan kumandang adzan tidak selalu bersuara merdu. Karena adzan tidak berkaitan dengan urusan estetika. Dibaca secara datar saja sah. Bahkan dianjurkan oleh salah satu ormas di Indonesia.
Ketika kaum muslimin sedang besemangat untuk menegakkan Islam, mereka disebut sedang berupaya mensuriahkan Indonesia. Untuk membenarkan tuduhan ini dibuatlah justifikasi. Kebetulan ada beberapa kesamaan kejadian di Indonesia dan Suriah. Misalnya, sama-sama menjauh dari Amerika dengan mendekat ke blok timur Rusia dan China. Juga ada gerakan yang berupaya memakzulkan presiden yang berkuasa. Suriah di tahun 2011 dilanda revolusi damai Arab Spring yang ingin mengakhiri rezim Asad. Sedangkan di Indonesia muncul tagar #2019GantiPresiden. Tapi bedanya, pihak anti-presiden di Suriah umumnya masyarakat Sunni. Hal ini rawan diterapkan di Indonesia. Sebab ormas Islam terbesar di Indonesia adalah pengikut aswaja. Karenanya momok yang dimunculkan ialah kelompok HTI dan Wahabi yang disebut anti kebhinekaan dan anti NKRI.
Ketika bendera tauhid dibakar, wacana yang digaungkan bahwa itu adalah bendera HTI. Bukan panji tauhid, liwa atau rayah Rasulullah SAW. Argumen ini singkat dan sederhana. Sangat mudah untuk memperdaya kalangan akar rumput.
Komentar-komentar seperti di atas mengingatkan kita tentang ucapan Dr Abdul Aziz At-Thuraifi tentang teori personifikasi. Bahwa serangan orang munafik terhadap Islam tidak bersifat direct atau secara langsung. Melainkan akan mempersonifikasikan Islam dalam satu objek tertentu. Sebagai contoh, adzan dipesonifikasi dengan adzan si fulan yang suaranya memang tidak merdu.
Secara naluriah, emosi seseorang akan tersulut dan ingin membalas dengan tangan. Apalagi yang diserang adalah unsur agama. Sesuatu yang lebih bernilai dari apapun. Tidak puas rasanya jika dilampiaskan lewat komentar.
Namun, langkah yang paling tepat membalas ialah dengan jihad bil lisan. Atau melawan dengan kata-kata. Amunisinya adalah narasi. Sasarannya slogan dan narasi kelompok munafikin. Medan perangnya adalah masyarakat awam pada umumnya. Kemenangannya berupa simpati dan keberpihakan masyarakat. Mereka memihak kebenaran dan berani mengatakan bahwa kaum munafikin batil atau salah. Kemenangan paling minimal ialah masyarakat yang membela kebatilan menjadi netral.
Sama seperti jihad secara konvensional, jihad dengan narasi ini juga membutuhkan bekal ilmu dan kesabaran. Termasuk siap dibully atau dituding macam-macam. Tidak ngambek ketika dituduh radikal, HTI atau teroris.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Mencintai dan dicintai Allah, wala bara’, jihad, dan kuat mental meski dicela merupakan karunia. Tidak semua orang mendapatkannya. Hanya diberikan keapada orang yang Allah kehendaki. Karena pada kenyataannya, tidak semua yang mengaku cinta Allah mau melindungi agama ini dengan jihad. Kemudian yang berjihad di medan ribath maupun media pun tahan melawan narasi kelompok munafikin.
Pernyataan di atas bukan untuk mengecilkan hati. Namun, sebagai pelecut untuk memantaskan diri. Karena Allah akan memampuan orang yang mau. Sedangkan yang menolak akan tertinggal di belakang. Semoga Allah meningkatkan kemampuan kita agar segera menjadi golongan tersebut. Amin ya rabbal alamin.
Sumber : Majalah An-Najah Edisi 157 Rubrik I’dadul Uddah
Editor : Anwar