expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

31/10/2019

BENDERA TAUHID, BENDERA RASULULLAH DAN DALILNYA. KALAU SUDAH TAHU JANGAN FITNAH LAGI

Sehingga hal itu menjadi sasaran untuk ditenggelamkan dengan digitnah sebagai bendera radikal atau bendera HTI. Padahal mereka sudah paham bahwa banhak terdapat hadits shahih atau minimal hasan yang menyebutkan bahwa rayah (panji) Rasul berwarna hitam dan liwa (bendera)nya berwarna putih, seperti hadits riwayat Imam Tirmidzi,
عن ابن عباس قال كانت راية رسول الله -صلى الله عليه وسلم- سوداء ولواؤه أبيض
عن جابر أن النبى -صلى الله عليه وسلم- دخل مكة ولواؤه أبيض
Hadits riwayat Imam Nasa’i dengan redaksi yang berbeda,
عن جابر رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه و سلم دخل مكة ولواؤه أبيض
Hadits di atas selain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Nasa’i dari Jabir, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Baihaqi, Thabarani, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Ya’la. Hadits ini shahih. Secara jelas dikatakan bahwa warna rayah adalah hitam dan liwa adalah putih.
Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak kitab hadits, dimana semuanya berujung pada rawi shahabat Jabir dan Ibnu Abbas ra.
Para ulama sudah membahas hal ini ketika mereka semua menjelaskan hadits-hadits diatas dalam kitab syarah dan takhrijnya. Sebut saja seperti shahib Kanz al-Ummal, Majma’ al-Zawa’id, Fath al-Bari li Ibni Hajar, Tuhfah al-Ahwadzi, Umdah al-Qari, Faidh al-Qadir, dll.
Belum lagi ada banyak hadits shahih lain yang berbicara terkait rayah dan liwa,
قال النبي صلى الله عليه و سلم يوم خيبر ( لأعطين الراية غدا رجلا يفتح على يديه يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله )
Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, tentu saja dengan status shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hiban, Baihaqi, Abu Dawud Thayalisi, Abu Ya’la, Nasa’i, Thabarani, dll.
Memang ada beberapa hadits yang berbicara rayah dan liwa dengan status hadits yang dipersoalkan oleh para ulama, seperti hadits riwayat Imam Ahmad berikut,
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانَ الْبَكْرِىِّ قَالَ قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمِنْبَرِ وَبِلاَلٌ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيْهِ مُتَقَلِّدٌ السَّيْفَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَإِذَا رَايَاتٌ سُودٌ وَسَأَلْتُ مَا هَذِهِ الرَّايَاتُ فَقَالُوا عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ قَدِمَ مِنْ غَزَاةٍ
Dalam hal ini Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya memberikan catatan sebagai berikut,
إسناده ضعيف لانقطاعه عاصم بن أبي النجود لم يدرك الحارث بن حسان بينهما أبو وائل شقيق بن سلمة
Demikian juga dengan hadits riwayat Imam Thabrani berikut,
عن ابن عباس قال : « كانت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم سوداء ولواؤه أبيض ، مكتوب عليه : لا إله إلا الله محمد رسول الله »
Di sana ada rawi bernama أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين بن سعد بن مفلح بن هلال yang disebut sebagai tertuduh dusta متهم بالوضع.
Lafazh Laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah
Apakah hadits مكتوب عليه : لا إله إلا الله محمد رسول الله semuanya dha’if? Kita harus kaji dari semua jalur periwayatan., sebagai berikut:
(1) hadits riwayat Imam Thabarani dari Ibnu Abbas ra. statusnya dha’if karena ada rawi yang bernama أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين tertuduh dusta (متهم بالوضع);
(2) hadits riwayat Abu Syaikh al-Ashbahaniy dari Abu Hurairah ra. statusnya dha’if karena ada rawi yang bernama Muhammad bin Abi Humaid statusnya munkar oleh Imam Bukhari, tidak tsiqah menurut Imam Nasa’i, dan tidak ditulis haditsnya menurut Ibnu Ma’in:
(3) hadits riwayat Abu Syaikh al-Ashbahaniy dari Ibnu Abbas ra. diperselisihkan, dan saya -atas dasar pengetahuan yang sedikit ini- memilih pendapat yang mengatakan shahih
Jadi dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahaniy dalam Akhlaq al-Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Abbas statusnya shahih. Jalur Ibnu Abbas ini, semua rawinya dapat diterima, sebagai berikut:
أحمد بن زنجوية بن مسى : قال الخطيب كان ثقة وقال الذهبي كان موثقا معروفا
محمد بن أبي السري العسقلاني : قال ابن معين ثقة وقال الذهبي ثقة
عباس بن طالب البصري : قال ابن عدي صدوق وذكره ابن حبان في “الثقات” وقال ابن حجر بصري صدوق
حيان بن عبيد الله بن حيان : قال أبو حاتم صدوق وذكره ابن حبان في “الثقات” وقال أبو بكر البزار ليس به باس
أبو مجلز لاحق بن حميد: تابعي ثقة
Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’if karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady), tetapi Ibnu Hibban menempatkan dalam “al-Tsiqqat’, Abu Hatim mengatakan shaduq, Abu Bakar al-Bazar mengatakan masyhur dan “laisa bihi ba’sa”. Tafarrudnya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadharatkan hadits karena keadaannya tsiqah atau shaduq (lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian juga ikhtilath nama antara Hayyan bin Ubaidillah (حيان) dan Haban bin Yassar (حبان) sudah dijelaskan oleh para ulama, semisal dalam Tarikh al-Kabir, Tahdzib al-kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal, dll. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilath Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Kesimpulannya, hadits dari Abu Syaikh dari jalur Ibnu Abbas selamat.
Terlebih lagi lafazh “لا إله إلا الله محمد رسول الله” merupakan ‘alamah atau ciri khusus dalam Islam. Ciri keagungan Islam kalau bukan kalimat tauhid, lantas apa lagi? Karena misi Islam dalam dakwah dan jihad adalah dalam rangka meninggikan kalimat Allah Azza Wa Jalla.
Warna
Terkait warna, hadits-hadits shahih menyebutkan bahwa warna rayah adalah hitam dan liwa’nya adalah putih. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan warna lain seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’if dan ada yang sifatnya sementara.
Hadits riwayat Imam Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Adi, menyebutkan bahwa rayah Nabi adalah kuning.
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ حَدَّثَنَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ الشَّعِيرِىُّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ عَنْ آخَرَ مِنْهُمْ قَالَ رَأَيْتُ رَايَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَفْرَاءَ.
Menurut shahib al-Badr al-Munir, dalam isnadnya majhul.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabarani dan Abu Nu’aim al-Ashbahani,
عن جدته مزيدة العصرية ، « أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عقد رايات الأنصار وجعلهن صفراء »
Hadits ini dha’if karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Sa’d yang dinyatakan tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut al-Dzahabi.
Demikian juga hadits dalam riwayat Thabarani menyebutkan bahwa warna rayah Nabi adalah merah,
“أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَدَ رَايَةً لِبَنِي سُلَيْمٍ حَمْرَاءَ”.
Hadits ini dha’if karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu Hajar.
Terakhir, hadits riwayat Imam Ibnu Hibban, Ahmad, dan Abu Ya’la yang juga menyebutkan rayah berwarna merah daan statusnya shahih, kasusnya sementara di awal-awal urusan ini ketika di masa jahiliyah juga awalnya menggunakan rayah warna hitam,
وكان أمام هوازن رجل ضخم ، على جمل أحمر ، في يده راية سوداء ، إذا أدرك طعن بها ، وإذا فاته شيء بين يديه ، دفعها من خلفه ، فرصد له علي بن أبي طالب رضوان الله عليه ، ورجل من الأنصار كلاهما يريده
Fungsi dan Kegunaan
Apakah fungsinya hanya untuk perang? Memang awalnya begitu,rayah adalah panji-panji perang, dan liwa simbol kepemimpinan umum. Hal ini bertolak dari fakta bahwa liwadan rayah itu selalu dibawa oleh komandan perang di jaman Rasulullah dan para Khulafa Rasyidin. Misalnya pada saat Perang Khaibar. Demikian juga, rayah dan liwa sebagai pemersatu umat Islam. Imam Abdul Hayyi Al-Kattani menjelaskan rahasia (sirr) tertentu yang ada di balik suatu bendera, yaitu jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, artinya bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut (ijtima’i kalimatihim) dan juga tanda persatuan hati mereka (ittihadi quluubihim).
Tulisan dan Khat
Terkait tulisan dan khat, dan ukuran itu hanyalah perkara teknis, yang dalam sejarahnya hal tersebut tidak diatur secara rinci. Tentu saja tidak bijak kalau persoalan teknis ini dijadikan argumetasi untuk menggugurkan syariat terkait rayah dan liwa’.
Sependek pengetahuan saya, saya belum menemukan khabar tentang kepastian khat dan bentuk. Seperti halnya ketika ada dalil umum yang tidak dijelaskan wasilahnya, maka berarti wasilah tersebut mubah. Jadi ini bukan isu utama. Saya kira persoalannya sederhana, tidak malah menjadi rumit pada perkara yang memang mubah. Yang paling penting itu bahwa rayah (hitam) dan liwa (putih) dengan tulisan لا إله إلا الله محمد رسول الله adalah perkara yang masyru’.
Penamaan
Adapun penamaan al-rayah dengan sebutan al-uqab, terdapat beberapa hadits sebagai berikut:
Hadits riwayat Baihaqi
عن عائشة ، قالت : « كان لواء رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الفتح أبيض ورايته سوداء ، قطعة مرط مرجل ، وكانت الراية تسمى العقاب
Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah
عن الحسن قال كانت راية النبي صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب
Hadits riwayat Ibnu Adiy
عن أبي هريرة كانت راية رسول الله صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب
Dan masih banyak hadits lainnya. Dari semua hadits tersebut derajatnya dha’if karena berbagai sebab (mudallas, matruk, tidak tsiqah, majhul, dll). Terlalu panjang kalau dijabarkan disini. Meski demikian, nama al-uqab sangat masyhur di kalangan para ahli sirah/sejarah, maghazi, fiqih, dan hadits untuk menyebut bendera Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sumber: mediaumat
Sumber : islamislami.com