expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

27/09/2019

APA KATA MEREKA TENTANG AL-QUR'AN?


Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Manusia menerima bimbingan Allah melalui dua cara : Pertama, melalui firman-firman Allah atau yang dikenal dengan wahyu. Kedua, melalui Nabi yang dipilih oleh Allah sebagai Rasul-Nya untuk menyampaikan segala perintah-Nya kepada manusia.
Dua hal tersebut selalu bergandengan. Setiap upaya untuk mengetahui kehendak Allah dengan mengabaikan salah satunya, mereka mengabaikan nabi mereka dan menekuni kitab-kitabnya yang ternyata tidak lebih dari sekedar teka-teki yang akhirnya lenyap begitu saja. Sebaliknya orang-orang nasrani dengan meniadakan sama sekali kitab Allah dan lebih mementingkan Yesus Kristus, akhirnya bukan saja menuhankan Yesus tetapi juga mereka telah kehilangan esensi tauhid yang terkandung dalam Injil.
Firman-firman Allah yang diwahyukan sebelum Al Qur’an, yakni Perjanjian Lama dan Injil, ditulis dan disusun dalam bentuk Kitab, jauh setelah Nabi-nabi mereka telah tiada. Itupun dalam bentuk terjemahan. Hal ini terjadi karena para pengikut Musa dan Isa tidak berusaha keras untuk melestarikan wahyu yang diterima kedua Nabi tersebut semasa mereka masih hidup. Para pengikut kedua Nabi tersebut baru menulisnya setelah Nabi mereka lama wafat. Jadi, kitab yang sekarang dikenal dengan sebagai Injil (baik Perjanjian lama ataupun Perjanjian Baru) adalah hasil penerjemahan dari penuturan orang-orang tentang wahyu yang sudah banyak terjadi penambahan dan pengurangan yang dilakukan oleh para pengikutnya.
Sedangkan Kitab Allah terakhir, yakni al-Qur’an masih tetap dalam bentuknya yang asli. Allah sendiri menjamin kelestariannya. Dan itulah sebabnya mengapa keseluruhan al-Qur’an ditulis semasa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam hidup, meski pada waktu itu masih berserakan. Ada yang ditulis pada pelepah kurma, kulit, tulang dan lain-lain. Ditambah lagi ada puluhan ribu pengikut yang hafal seluruh isi al-Qur’an di luar kepala. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam biasa membaca ulang di hadapan Malaikat Jibril setahun sekali dan dua kali ketika menjelang wafat. Kemudian Khalifah pertama, Abu Bakar radiallahu anhu mempercayakan pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an kepada penulis Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam untuk dijadikan satu Kitab. Zaid bin Tsabit Radiallahu anhu lalu menyusun dan menghimpunnya. Kitab ini berada di tangan Abu Bakar sampai akhir hayatnya.
Selanjutnya, di tangan Khalifah Umar bin Khattab Radiallahu anhu, dan kemudian di tangan Hafsah Radiallahu anha, salah seorang istri Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Dan Kitab asli inilah kemudian oleh Khalifah ketiga, Usman bin Afan Radiallahu anhu menulisnya kembali menjadi beberap Kitab yang disebarkan ke wilayah-wilayah kaum muslimin.
Al-Qur’an terpelihara dengan sangat baik, karena ia harus menjadi Kitab pembimbing abadi umat manusia. Itulah sebabnya maka isi kandungan-nya tidak hanya ditujukan kepada bangsa Arab, meski diwahyukan dalam bahasa Arab.
Al-Qur’an berbicara kepada manusia sesuai dengan fitrahnya. Allah berfirman : “Wahai manusia, apa yang memperdayakan kamu terhadap Rabb-mu Yang Maha Pemurah.” (QS.al-Infithar : 6)
Penerapan ajaran al-Qur’an dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam dan kaum muslimin yang shaleh di setiap zaman. Kekhasan pendekatan al-Qur’an dari kita-kitab suci lainnya ialah, bahwa ajarannya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan manusia dan didasarkan kepada kemampuan manusia untuk melakukannya. Seluruh dimensi ajarannya mengandung kearifan yang nyata dan tak dapat dibantah. Ajaran al-Qur’an tidak menyiksa jasmani dan tidak mengabaikan ruhani. Ia tidak menuhankan manusia dan tidak memanusiakan tuhan. Segala sesuatu ditempatkan pada proporsinya dalam totalitas tatanan penciptaan Allah.
Sebenarnya, cendekiawan yang menuduh bahwa Muhammad sebagai penulis wahyu al-Qur’an, itu artinya ia mengklaim sesuatu yang mustahil dapat dilakukan manusia. Mampukan seseorang abad ke VI menuturkan kebenaran ilmiah seperti yang terkandung di dalam al-Qur’an? Dapatkah ia melukiskan perkembangan embrio di dalam rahim begitu cermat seperti yang diajarkan ilmu pengetahuan modern?
Selain itu, logiskah mempercayai bahwa Muhammad, yang hingga usia empat puluh yang hanya dikenal karena kejujuran dan integritasnya, tiba-tiba mampu menjadi penulis sebuah Kitab yang nilai sastranya luar biasa dan tidak ada seorangpun dari para penyair dan ahli pidato dari bangsa Arab yang tersohor kepintarannya itu dapat menandinginya? Apakah dapat dibenarkan mengatakan bahwa Muhammad yang terkenal sebagai al-Amin di masyarakat dan yang masih saja dikagumi oleh cendekiawan nonmuslim karena kejujuran dan integritasnya, menyebarkan pengakuan palsu? Dan mungkinkah di atas suatu kepalsuan dapat menciptakan beribu-ribu ummat yang berakhlak tinggi, berwibawa dan jujur yang mampu membangun masyarakat manusia yang terbaik di muka bumi?
Tentu, setiap pencari kebenaran yang tulus dan jujur, akan meyakini bhawa al-Qur’an adalah Kitab dari Allah. Tanpa harus menyetujui semua yang mereka katakan tentang al-Qur’an ini, kami sajikan beberapa pendapat mereka para cendekiawan non-muslim. Para pembaca akan dengan mudah melihat bagaimana dunia modern semakin mendekati kebenaran al-Qur’an. Kami menghimbau semua cendekiawan yang objektif untuk mempelajari al-Qur’an dengan berpedoman pada butir-butir yang kami kemukakan di atas. Kami percaya bahwa setiap upaya kearah ini akan meyakinkan pembaca bahwa al-Qur’an mustahil dapat dikarang oleh manusia manapun.
        “Betapapun seringnya kita berhadapan dengan al-Qur’aan, mula-mula merasa muak, kemudian tertarik dan merasa kagum, lalu pada akhirnya memaksa kita mengagungkannya. Gaya bahasanya yang sesuai dengan isi dan tujuannya, tegas, agung, mengerikan dan sungguh mulia.  Jadi, Kitab ini akan tetap emebrikan pengaruh yang sangat ampuh untuk berabad-abad lamanya, malah abadi sampai akhir zaman.”
(Goethe, dikutip dalam T.P. Hugges Dictionary of Islam; hal 536)
       “al-Qur’an tak syak lagi menduduki kedudukan penting di antara kitab-kita suci lainnya di dunia. Meskipun terbilang muda dalam deretan karya-karya  sastra terbesar, ia telah membawa pengaruh gemilang terhadap berjuta-juta manusia. Ia telah menciptakan era baru dalam tingkat penalaran manusia dan karakter yang segar. Mula-mula ajaran ini b erhasil mentransformasikan suku-suku bangsa yang penuh dengan kepahlawanan, selanjutnya menciptakan suatu organisasi politik keagamaan di bawah pimpinan Muhammad yang menjadi salah satu kekuatan besar yang harus diperhitungkan oleh-negara-negara Barat dan Timur hingga sekarang.”
(G.Margoliouth, Introduction to J.M. Rodwel, The Koran, New York :Everyman’s Library, 1977,hal VII)
           “Suatu karya yang merangsang gejolak emosi dan memancar perpendaran meskipun jauh dari penghayatan peristiwa terjadinya. Lebih-lebih sebagai pemacu penalaran. Sebuah karya yang bukan hanya berhasil mengalahkan rasa jijik seseorang yang membacanya pertama kali, tetapi mengubahnya menjadi takjub dan kagum. Karya semacam ini pasti hasil karya otak manusia yang luar biasa, yang merangsang minat para pengamat yang sungguh-sungguh memikirkan nasib umat manusia dan kemanusiaan.”
(Dr. Steingass, dikutib dalam P.T. Huges Dictiojary of Islam, hal 526 7)
           “Pernyataan-pernyataan tersebut menjadikan tuduhan kepada Muhammad sebagai penulis al-Qur’an dengan sendirinya gugur. Bagaimana bisa seorang yang buta huruf menjadi penulis agung, dilihat dari keindahan sastra di seluruh kesusastraan Arab?
      Bagaimana ia dapat menyatakan kebenaran ilmiah yang tidak seorang lain pun dapat mengembangkannya pada waktu itu, dan kesemuanya ini tanpa kesalahan sebesar gabahpun dalam kesimpulannya?”
(Maurice Bucaille, The Bible, The Qur’an and Science, 1978, hal 125)
        “Itulah sebabnya, nilai suatu hasil sastra barangkali tidak boleh diukur oleh banyaknya aksioma menurut selera pribadi dan nilai estetika melulu, namun harus juga diukur dari dampaknya terhadap para pengikut Muhammad serta sesama pemeluknya. Jika ajaran itu begitu lantang dan meyakinkan serta menembus hati pendengarnay yang semual berkaum-kaum serta bermusuhan, menjadi satu bangsa yang bersatu dan terorganisasi. Mereka digetarkan oleh gagasan yang jauh lebih tinggi dari pada yang sampai sekarangpun menguasai alam pemikiran bangsa Arab. Karena itu kefasihan lidahnya mestilah sempurna semata-mata karena ia berhasil membangun suatu bangsa yang semula liar menjadi bangsa yang berperadaban tinggi, serta telah menyuntikkan darah baru dari perjalanan sejarah tua yang bengkok.”
(Dr.Steingass, Dikutip dalam Hughess, Ditionary of Islam, hal 528)
             “Dalam upaya memperbaiki gambaran pendahuluku, dan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat diterima sebagai pantulan, betapapun samar-samarnya, keagungan retorika dalam al-Qur’an, saya bersusah payah mempelajari berbagai rama yang begitu kaya dan ruwet, yang selain isinya sendiri merupakan salah satu ciri hasil terbesar sepanjan g sejarah manusia. Ciri yang sangat menonjol ini, berupa satu ‘simfoni luar biasa’ seperti dikemukakan oleh Pickthall yang beriman, “keindahan suara yang membuat orang mencucurkan air mata dan tergiur”, hampir sama sekali terlupakan para penerjemah terdahulu. Sehingga tidak mengherankan apabila mereka menghasulkan suara datar dan suram ketimbang karya aslinya yang gemilang.”
(Arthur J. Arberry The Koran Interpreted, London, Oxford University Press, 1964, hal x)
               “Suatu kajian yang objektif terhadap al-Qur’an berdasarkan ilmu pengetahuan modern, membawa kita kepada pengertian tentang kesamaan antara keduanya, sebagaimana telah dikemukakan berulangkali. Pengertian yang menyatakan bahwa tidaklah masuk akal, seorang seperti Muhammad adalah penulis Kitab ini mengingat tingkat pengetahuan di masanya. Pertimbangan di atas adalah bagian dari kepercayaan tentang validitas kebenaran adanya wahyu yang diturunkan melalui al-Qur’an, yang memaksa para ilmuwan yang jujur mengakui ketidakmampuannya memberikan penjelasan yang hanya didasarkan penalaran materialistik belaka.”
(Maurice Bucaille, The Qur’an and Modern Science. 1981, hal 18)
Sumber : WAMY SERIES ON ISLAM