“Kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” telah menjadi slogan umum. Namun memahami keduanya dan mengamalkan kandungannya, agar sesuai dengan yang dimaukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , merupakan persoalan tersendiri. Kepada siapa kita harus merujuk?
Pada edisi sebelumnya telah dijelaskan, siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan manhaj (jalan/metode) yang mereka tempuh. Mereka bukanlah manusia khusus yang diciptakan oleh Allah untuk membawa amanat syariat-Nya. Juga bukan malaikat yang diutus oleh Allah untuk mengajarkan manusia tentang agama-Nya. Mereka adalah kaum muslimin itu sendiri yang memahami agamanya dengan benar berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah di atas pemahaman salafus shalih (pendahulu yang shalih).
Mereka (para shahabat ridhwanullah ‘alaihim ajma’in) adalah umat terbaik yang diciptakan untuk mendakwahkan kebenaran agama ini kepada seluruh umat. Mereka adalah generasi terbaik umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti mereka di atas kebenaran. Mereka adalah salafus shalih, firqatun najiyah (orang-orang yang selamat), thaifah al manshurah (orang-orang yang selalu ditolong), ahlul hadits, ahlul atsar, dan mereka adalah salafiyyun.
Mereka adalah pilihan Allah dari segenap hamba-Nya yang akan menyuarakan kebenaran di mana saja dan kapan saja, bagaimanapun besar tantangan dan rintangan yang dihadapi. Slogan mereka adalah firman Allah:
“Kebenaran itu datang dari Rabbmu, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang ragu.” (Al- Baqarah: 147)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam : “Katakan yang benar walaupun pahit dan jangan kamu gentar cercaan orang yang mencerca.” ( HR. Al Baihaqi dalam Kitab Syu’abul Iman dari shahabat Abu Dzar. Lihat Al Misykat 3/ 1365)
Dari sinilah nama salafus shalih diabadikan oleh sejarah. Ditulis dengan tinta emas, terus dikenang, serta menjadi rujukan generasi sesudahnya. Bukankah ini merupakan satu kemuliaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala arena apa yang telah mereka berikan untuk agama-Nya? Dan karena apa yang mereka tempuh ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam masih hidup dan setelah wafat beliau?
Jawabannya adalah ya. Mereka mendapatkan yang demikian ini karena mereka berjalan di atas jalan Rasul-Nya. Abu Bakar , khalifah pertama yang menggantikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai pemimpin umat ini, telah mendapatkan jaminan masuk surga, padahal ketika itu beliau masih hidup. Bukankah ini kemuliaan bagi beliau? Apakah manhajnya Abu Bakar sesuai manhajnya Rasulullah Jawabannya tentu ya.
Begitu juga Umar, Utsman, Ali, dan para shahabat yang lain yang telah mendapatkan jaminan dari Rasulullah untuk masuk surga, padahal kaki-kaki mereka masih menapaki kehidupan. Merekalah yang juga disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Merekalah orang-orang yang telah diberikan nikmat oleh Allah dari kalangan para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih”. (An-Nisaa’: 69)
Siapa lagi yang dimaksud dalam ayat ini setelah para nabi, kalau bukan orang-orang yang mengikuti mereka di atas manhaj Allah dari kalangan shahabat?
Mereka adalah generasi yang berusaha untuk mendapatkan dan mengambil warisan terbanyak dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Duduk dan keluar dari majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam keadaan membawa kemurnian agama Islam, yang malamnya seperti siangnya dan tidak ada seorangpun dari mereka yang menyimpang, melainkan akan binasa seumur hidup jika tidak segera bertaubat kepada Allah.
Manhaj Salaf Cerminan Kemurnian Islam
Rentang waktu yang panjang sangat memungkinkan menyebabkan jauhnya umat dari kemurnian ajaran Islam. Apalagi, umat ini terus berganti generasi demi generasi. Hal ini telah dirasakan dan disaksikan oleh orang-orang yang diberikan bashirah (ilmu) oleh Allah. Banyak kita jumpai penampilan Islam yang berwarna-warni, baik dari amalan, ucapan, dan keyakinan.
“Warna-warni” inilah yang sering menimbulkan friksi di antara sesama muslim hingga berujung pada pudarnya persatuan dan kesatuan umat Islam. Walhasil, umat ini menjadi sangat lemah dan siap menjadi santapan musuh-musuhnya.
Munculnya kelompok-kelompok di dalam Islam, merupakan bukti konkrit adanya perbedaan yang besar dan warna-warninya penampilan Islam itu. Yang satu berpakaian serba merah dan mengangkat Islam sebagai simbol. Yang lain dengan warna hijau, hitam, kuning, putih, dan sebagainya. Masing-masing memiliki konsep, prinsip, jalan, dan tujuan yang berbeda dengan yang lainnya. Bahkan, karena perbedaan mendasar itu, ada yang siap menumpahkan darah yang lainnya. Apakah demikian Islam itu? Lalu manakah yang benar? Dan manakah yang harus diikuti?
Yang demikian ini, setelah berlalunya masa risalah (masa kenabian) dan pergantian generasi demi generasi, sangat terasa. Ironisnya, Islam dalam pandangan kaum muslimin saat ini hanya sebatas “yang penting Islam”, apapun alirannya, ajarannya, warnanya, jalannya, baunya, dan sebagainya. Padahal justru dengan sebab ini, hilanglah kemuliaan, kewibawaan, kejayaan, dan kekuatan umat Islam. Serta menjadikan musuh-musuh Islam berani dan memiliki kewibawaan di mata kaum muslimin.
Kemurnian dan kesempurnaan Islam itu pun kian jauh panggang dari api. Yang satu ingin menambah dan yang lain ingin mengurangi, bahkan mempretelinya. Hanya dengan mencari sumber kemurniannya kepada orang yang telah dinobatkan oleh Allah sebagai penelusur jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam -para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in- saja, niscaya kemurnian Islam itu akan diperoleh.
Manhaj Salaf adalah Ridha, Cinta, dan Ampunan Allah
Selain sebagai cermin kemurnian Islam, manhaj salaf juga merupakan perwujudan ridha Allah, cinta, dan ampunan-Nya. Allah berfirman tentang mereka yang berjalan di atas manhaj salaf ini:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
As Sa’dy1 dalam tafsir ayat ini mengatakan, mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam dan yang terlebih dahulu dalam keimanan, hijrah, jihad, dan memperjuangkan agama Allah. Kaum Muhajirin, adalah orang-orang yang dikeluarkan dari negeri mereka dan dipisahkan dari harta benda mereka, semata-mata hanya mencari keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya. Mereka membela agama Allah dan Rasul-Nya, dan mereka adalah orang-orang yang jujur.
Sementara kaum Anshar, adalah orang-orang yang menetap di kota Madinah, mencintai orang-orang yang berhijrah. Mereka tidak dihinggapi perasaan berat hati atas apa-apa yang mereka infakkan kepada kaum Muhajirin, serta mengutamakan kaum Muhajirin meskipun mereka membutuhkannya.
Merekalah kaum yang mendapatkan keselamatan dari cercaan dan mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah. Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah mempersiapkan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan kekal di dalamnya.
Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Al Qur’an berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali-Imran: 31)
As Sa’dy dalam tafsirnya mengatakan: “Ayat ini merupakan tolok ukur cinta seseorang kepada Allah dengan sebenar-benarnya cinta atau hanya pura-pura mengaku cinta. Tanda cinta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala adalah ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , yang Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan sikap ini (ittiba’) dan segala apa yang diserukan sebagai jalan untuk mendapatkan cinta dan ridha Allah Subhanahu wa ta’ala . Dan tidak akan didapati kecintaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala , ridha dan pahala-Nya, melainkan dengan cara membenarkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana yang ada di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dengan cara melaksanakan apa yang dikandung keduanya, dan menjauhi apa yang dilarangnya. Maka barangsiapa melakukan hal ini, sungguh ia telah dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala , dibalas sebagaimana balasan terhadap kekasih Allah Subhanahu wa ta’ala , diampuni dosanya, dan ditutupi segala aibnya. Maka (ayat ini) seakan-akan (menjelaskan) bagaimana hakekat mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bagaimana sifatnya.”
Simbol Kemenangan dan Kejayaan Umat
Meskipun Islam semakin kabur, namun pewaris kemurnian Islam akan tetap ada sepanjang kehidupan manusia ini sampai hari kiamat. Mereka telah dipersiapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk meneruskan perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan generasi beliau yang terbaik. Merekalah yang akan terus menyuarakan kemurnian Islam. Dan bersama merekalah kemenangan dan kejayaannya. Itulah janji Allah Subhanahu wa ta’ala yang tidak bisa dipungkiri.
Merekalah yang disebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai generasi pejuang yang telah mengambil pedang perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang diwariskan setelah wafatnya, untuk membabat gerakan-gerakan penjegalan terhadap syariat Allah Subhanahu wa ta’ala . Dan mereka pulalah yang dipersiapkan Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai perisai dan benteng terhadap kebenaran dalam pertarungan antara yang hak dan batil. Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan di dalam Al Qur’an:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin di dalam kitab Syarah Aqidah Wasithiyyah hal. 25 mengatakan, “Akan tetapi semua pujian bagi Allah semata. Tiadalah seseorang melakukan kebid’ahan, melainkan Allah Subhanahu wa ta’ala membangkitkan -dengan nikmat dan karunia-Nya- orang-orang yang akan menjelaskan kebid’ahan tersebut dan yang akan melumatkannya dengan kebenaran. Dan ini termasuk dari makna yang terkandung dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala (Al-Hijr: 9). Dan ini merupakan wujud nyata penjagaan Allah terhadap “Ad Dzikr” (maksudnya Al Qur’an, red) dan ini juga merupakan tuntutan hikmah Allah Subhanahu wa ta’ala .”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Mua’wiyah dan Mughirah bin Syu’bah dan diriwayatkan Imam Muslim dari shahabat Tsauban, Jabir bin Samurah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhum:
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku memperjuangkan kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang berusaha menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan yang demikian itu.” (Shahih, HR. Muslim dengan lafadznya)
Siapakah yang dimaksud oleh Rasulullah “satu kelompok dari umatnya itu yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu mendapatkan kemenangan?”
Imam Ahmad mengatakan: “ Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka saya tidak mengetahui (lagi) siapa mereka”.
Umar bin Hafsh bin Ghiyats mengatakan: “Aku telah mendengar ayahku ketika ditanyakan kepadanya: ‘Tidakkah kamu melihat ahlul hadits dan apa-apa yang mereka berada di atasnya?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah sebaik-baik penduduk dunia’.”
Abu Bakar bin ‘Ayyash mengatakan, “Aku berharap bahwa ahlul hadits adalah sebaik-baik manusia.” (Lihat kitab Makanatu Ahlil Hadits hal 53-54).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Tidak ada seorangpun dari nabi yang diutus sebelumku kepada suatu umat melainkan ada pada umatnya hawariyyun (para pembela) dan shahabatnya yang memegang sunnahnya dan yang mengikuti perintahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan pada setiap awal seratus tahun orang-orang yang akan mengadakan pembaharuan terhadap agama umat ini.” (Shahih, HR. Abu Daud dari shahabat Abu Hurairah dan dishahihkan Syaikh Al Albany dalam kitab “Shahih Sunan Abu Daud no. 3656” dan di dalam kitab “Silsilah Hadits Shahih no. 599” dan di dalam kitab “Shahih Jami’us Shaghir no. 1874”).
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, sebagaimana dinukil Imam Dzahabi dalam kitab As Siar 10/46: “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan pada umat di awal setiap seratus tahun orang-orang yang akan mengajarkan mereka sunnah dan membungkam setiap kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Maka tatkala kami melihat dan memeriksa, ternyata pada awal seratus tahun pertama muncul Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun kedua Imam Syafi’i.” (Lihat Silsilah Hadits Shahih 2/148)
Manhaj Salaf Manhaj yang Benar
Manhaj inilah yang mendapatkan pujian kebaikan dari lisan Rasulullah berikut dengan orang-orang yang berjalan di atasnya, sebagaimana sabda beliau:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, dan kemudian orang-orang setelah mereka.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Imran bin Husein dan Abdullah bin Mas’ud)
Maka, para pengikut manhaj ini adalah generasi terbaik yang diridhai oleh Allah. Di dalam kitab Manhajus Salaf Fit Ta’amul Ma’a Kutubi Ahlil Bida’i hal. 3 karya Abu Ibrahim Muhammad bin Muhammad bin Abdillah bin Mani’ dikatakan: “Pujian kebaikan menunjukkan kebenaran akidah, mengikuti Rasulullah tidak akan mencukupkan mereka.” Wallahu A’lam.
Sumber : qurandansunnah.wordpress.com