expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

11/08/2021

PUASA SYAWWAL: 5 PELAJARAN BERHARGA DARI IMAM MALIK rahimahullah



Ada sebuah ungkapan bagi kita sebagai orang awam (dalam fiqih madzhab) yang cukup “mengherankan” yaitu dari ungkapan Imam Malik bin Anas rahimahullaah (wafat: 179-H) tentang sunnah puasa 6 hari di bulan Syawwal. Dalam al-Muwaththa’ Imam Malik[1] disebutkan:


قَالَ يَحْيَى: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: فِي صِيَامِ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ، «إِنَّهُ لَمْ يَرَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْفِقْهِ يَصُومُهَا. وَلَمْ يَبْلُغْنِي ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ. وَإِنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ ذَلِكَ. وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ. وَأَنْ يُلْحِقَ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ مِنْهُ، أَهْلُ الْجَهَالَةِ وَالْجَفَاءِ.

“Yahya berkata: aku mendengar Imam Malik mengatakan perihal puasa 6 hari setelah hari Idul Fitri, bahwasanya beliau (Imam Malik) tidak pernah melihat ada seorang pun dari kalangan ulama dan ahli fiqih yang mengamalkannya. Dan (kata beliau), ‘(kabar tentang sunnahnya) puasa tersebut belum sampai padaku dari salaf (para sahabat dan pengikutnya dari kalangan Taabi’iin). Bahkan para ulama tidak suka mengamalkan puasa tersebut, mereka juga mengkhawatirkan kebid’ahannya. Para ulama khawatir orang-orang bodoh dan keras akan menganggap puasa tersebut bagian dari Ramadhan.”

SEPINTAS,…KITA TERKEJUT

Ketika membaca baris demi baris kalimat tersebut, kita jadi bertanya-tanya. Masa sih, Imam ahlussunnah sekaliber Malik bin Anas rahimahullah yang menjadi tokoh sentral fiqih Madzhab Maliki, tidak mengetahui hadits shahih dari Abu Ayyub al-Anshari radhiallaahu’anhu berikut ini?

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu melanjutkannya dengan berpuasa 6 hari di bulan Syawwal (selain 1 Syawwal), maka seolah-olah dia telah berpuasa setahun penuh.” [Shahih Muslim: 1164]

Namun justru dibalik ungkapan Imam Malik rahimahullah yang terkesan “berlawanan arus” tersebut, terdapat beberapa pelajaran dan hikmah yang sangat berharga. Dengan penuh rasa anstusias, saya ingin membaginya, buat saudara-saudaraku tercinta, sesama penutut ilmu.

ALASAN IMAM MALIK

Para pen-syarah al-Muwaththa’ karya Imam Malik menjelaskan alasan beliau memakruhkan puasa sunnah 6 hari Syawwal. Di antaranya Sulaiman bin Khalaf al-Baajy al-Andalusy (wafat: 474-H) dalam al-Muntaqa Syarhul Muwaththa’[2]:

وَهَذَا كَمَا قَالَ إنَّ صَوْمَ هَذِهِ السِّتَّةِ الْأَيَّامِ بَعْدَ الْفِطْرِ لَمْ تَكُنْ مِنْ الْأَيَّامِ الَّتِي كَانَ السَّلَفُ يَتَعَمَّدُونَ صَوْمَهَا. وَقَدْ كَرِهَ ذَلِكَ مَالِكٌ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ، وَقَدْ أَبَاحَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ النَّاسِ وَلَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا، وَإِنَّمَا كَرِهَ ذَلِكَ مَالِكٌ لِمَا خَافَ مِنْ إلْحَاقِ عَوَامِّ النَّاسِ ذَلِكَ بِرَمَضَانَ وَأَنْ لَا يُمَيِّزُوا بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ حَتَّى يَعْتَقِدُوا جَمِيعَ ذَلِكَ فَرْضًا.

“Permasalahannya memang demikian sebagaimana yang dikatakan (oleh Imam Malik). Sesungguhnya puasa 6 hari setelah hari Idul Fitri, bukanlah termasuk hari-hari yang sengaja dihidupkan dengan berpuasa oleh para salaf. Imam Malik dan sebagian ulama yang lain memakruhkannya, sebagian lagi membolehkannya, menurut mereka tidak mengapa. Imam Malik memakruhkannya semata-mata karena kuatir orang-orang awam akan menganggap 6 hari tersebut sebagai bagian atau kelanjutan dari puasa Ramadhan. Beliau kuatir orang-orang nantinya tidak bisa membedakan (status hukum) antara 6 hari Syawwal tersebut dengan hari-hari Ramadhan, sehingga mereka meyakini semuanya bersifat fardhu (wajib).”

Sebagaimana sudah dimaklumi bersama, bahwa suatu amalan dikategorikan sebagai bid’ah yang tercela di mata Islam, manakala amalan tersebut dianggap wajib, padahal status hukum sebenarnya tidaklah demikian. Inilah yang dikuatirkan oleh Imam Malik terkait puasa 6 hari Syawwal yang dilakukan langsung setelah hari Idul Fitri. Seperti yang diisyaratkan oleh Muhammad Abdul Baaqy az-Zarqaany dalam komentarnya terhadap ucapan Imam Malik di atas:

وَيُحْتَمَلُ أَنَّهُ إِنَّمَا كَرِهَ وَصْلَ صَوْمِهَا بِيَوْمِ الْفِطْرِ، فَلَوْ صَامَهَا أَثْنَاءَ الشَّهْرِ فَلَا كَرَاهَةَ وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِهِ سِتَّةُ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ.

“Bisa jadi Imam Malik memakruhkan puasa Syawwal yang langsung dikerjakan setelah hari Idul Fitri. Sekiranya dikerjakan di tengah bulan, maka tidaklah makruh. Dan inilah makna tekstual dari ucapan beliau: ‘6 hari setelah hari Idul Fitri’”[3]

ALASAN LAINNYA

Ada yang mengatakan, hadits (Abu Ayyub al-Anshory radhiallaahu’anhu) di atas belum sampai kepada Imam Malik. Atau hadits tersebut tidak tsabit (tidak cukup kuat untuk dijadikan dalil) menurut beliau. Karena dalam rangkaian sanadnya—sekalipun diriwayatkan oleh Imam Muslim— terdapat nama Sa’ad bin Sa’iid yang dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. An-Nasaa’i mengatakan, ‘dia bukan perawi hadits yang kuat’. Ibnu Sa’iid mengatakan; ‘dia terpercaya namun sedikit haditsnya’. Ibnu ‘Uyainah dan ulama yang lain mengatakan; ‘hadits tersebut mauquf di Abu Ayyub al-Anshory, boleh jadi itu bukan ucapan Nabi namun pendapat dari Abu Ayyub sendiri karena memandang prinsip “1 kebaikan diganjar 10 kali lipat”. Jadi tidak tsabit-nya hadits Abu Ayyub di mata Imam Malik—menurut para ulama—kemungkinan disebabkan oleh dua hal ini; adanya khilaf ulama dalam menghukumi sosok Sa’ad bin Sa’iid sebagai salah satu periwayat hadits tersebut, dan adanya kemungkinan hadits tersebut mauquf (pendapat pribadi Abu Ayyub al-Anshory)[4].

SEJATINYA IMAM MALIK TIDAK MELARANG….

Beliau sebenarnya tidak melarang orang untuk mengamalkan puasa 6 hari Syawwal jika sesuai dengan tuntunan sunnah. Al-Muththarif mengatakan:

إنَّمَا كَرِهَ مَالِكٌ صِيَامَهَا لِئَلَّا يُلْحِقَ أَهْلُ الْجَهْلِ ذَلِكَ بِرَمَضَانَ، وَأَمَّا مَنْ رَغِبَ فِي ذَلِكَ لِمَا جَاءَ فِيهِ فَلَمْ يَنْهَهُ

“Imam Malik memakruhkan puasa Syawwal semata-semata karena alasan tersebut (di atas). Adapun bagi orang yang mengamalkannya karena ingin meraih keutamaan puasa sebagaimana keterangan yang datang dari hadits, maka beliau tidak melarangnya.”[5]

KESIMPULANYA…?

Alhasil, apa yang diungkapkan Imam Malik dalam masalah ini, adalah pendapat beliau selaku seorang mujtahid. Beliau juga telah mengutarakan alasannya. Para ulama yang lain menjelaskan beberapa kemungkinan, mengapa Imam Malik berkata seperti itu.

Adapun sikap yang benar dan arif dalam masalah ini, adalah seperti apa yang dikatakan oleh al-Lajnah ad-Daa-mah[6] dalam komentarnya terhadap ucapan Imam Malik tersebut. Berikut, saya nukilkan untuk pembaca:

فهذا حديث صحيح يدل على أن صيام ستة أيام من شوال سنة، وقد عمل به الشافعي وأحمد وجماعة من أئمة من العلماء، ولا يصح أن يقابل هذا الحديث بما يعلل به بعض العلماء لكراهة صومها من خشية أن يعتقد الجاهل أنها من رمضان، أو خوف أن يظن وجوبها أو بأنه لم يبلغه عن أحد ممن سبقه من أهل العلم أنه كان يصومها، فإنه من الظنون، وهي لا تقاوم السنة الصحيحة، ومن علم حجة على من لم يعلم.

“Ini adalah hadits (Abu Ayyub al-Anshory) yang shahih, yang menunjukkan bahwa puasa 6 hari di bulan Syawwal adalah sunnah. Para Imam seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan sekelompok ulama yang lain, mengamalkan hadits tersebut. Bukanlah sikap yang benar, melawan hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh sebagian ulama, seperti karena alasan kekuatiran puasa Syawwal bakal dianggap bagian dari puasa Ramadhan oleh orang-orang bodoh, atau kuatir dianggap wajib, atau karena alasan belum sampainya kabar bahwa ada para pendahulu yang mengamalkan hadits tersebut. Semua alasan tersebut adalah persangkaan belaka[7] yang tidak bisa dihadapakan pada sunnah yang shahih. Dan orang yang mengetahui adalah hujjah (argumen dan bukti) bagi orang yang belum mengetahui.”

5 PELAJARAN BERHARGA

Lantas, apakah Imam Malik bersalah dalam masalah ini? Tidak, sama sekali tidak. Jawaban yang sama saya yakin juga keluar dari lisan Anda, setelah membaca penjabaran di atas. Justru ada pelajaran berharga yang bisa kita petik dari ucapan Imam Malik tersebut:

🎯 Pertama: dari alasan Imam Malik rahimahullah di atas, kita bisa melihat begitu kuatnya prinsip beliau dalam mengikuti jalan para pendahulu yang shalih (salaf) dari kalangan ulama dan ahli fiqih.

🎯 Kedua: saat beliau tidak mendapati adanya riwayat yang tsabit dari salaf, beliau menempuh jalan kehati-hatian dalam beragama. Karena ketergelinciran dalam mengamalkan agama, bisa mengantarkan seseorang ke jurang bid’ah[8].

🎯 Ketiga: Imam Malik rahimahullah sangat kuatir dan takut terhadap amalan bid’ah yang “mungkin” muncul di masa depan atau generasi Islam berikutnya. Padahal di masa beliau (abad ke-2 Hijriyah), bid’ah di Madinah (tempat beliau menetap kala itu) belum berani menampakkan tanduknya. Para ulama, ahul ‘ilmi, dan orang-orang shalih adalah mayoritas dan dominan di tengah masyarakat beliau saat itu. Kita, di zaman ini, di mana kebodohan akan ilmu agama dan hawa nafsu merajalela, seharusnya lebih pantas untuk takut terhadap bid’ah.

Lihat juga bagaimana Imam Malik mengkuatirkan munculnya kebid’ahan dari suatu amalan sunnah (yaitu puasa 6 hari Syawwal), suatu hal yang mungkin kita anggap sepele atau malah tidak mungkin terjadi.

🎯 Keempat: jika memang benar, Imam Malik belum mengetahui hadits Abu Ayyub al-Anshory di atas, maka inipun memberikan kita pelajaran berharga, bahwa Imam ‘Alim Rabbani sekaliber Imam Malik sekalipun, bisa luput dari hadits yang shahih dan tidak mengetahui sesuatu yang diketahui oleh ulama yang lain. Lantas, di mana kira-kira posisi kita dalam hal ilmu? Kesempurnaan ilmu hanya milik Allah semata.

🎯 Kelima: kalaupun Imam Malik menganggap hadits Abu Ayyub tidak kuat untuk dijadikan dalil, inipun menunjukkan betapa Imam Malik sangat selektif dalam masalah hadits dan riwayat yang sampai kepadanya. Beliau menjunjung tinggi prinsip-prinsip ilmiah dalam menghukumi suatu riwayat. Karena hal tersebut berujung pada benar tidaknya sikap beragama yang akan beliau tempuh. Inilah metode beragama yang sepantasnya kita jadikan sebagai panutan.

Wallaahu a’lam bish-shawaab.

Sumber : www.alhujjah.com