expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

22/05/2021

JAMILAH Kolocotronis : "RUNTUHNYA KEINGINANKU UNTUK MENJADI PENDETA



Jamilah : ‘Kenyataan Injil Bukan Kitab Sempurna, Jalan Untukku mengenal Islam’

JAMILAH Kolocotronis, seorang mahasiswa yang sebelumnya berkeinginan kuat menjadi seorang pendeta namun ditengah perjalanan ia mendapatkan hiddayah Allah SWT. Yang membuatnya mengucapkan dua kalimat syahadat dikemudian hari.

Kisah Jamilah dimulai sejak tahun 1976.

Keinginannya yang kuat untuk menjadi seorang pendeta membuatnya mendatangi seorang pastor gereja Lutheran. Keinginannya disambut baik oleh pastor tersebut lalu ia diminta untuk mewakili sang pastor diacara piknik para mahasiswa baru yang berasal dari negara lain.

Dalam acara tersebut, untuk pertama kalinya Jamilah bertemu dengan seorang Muslim untuk pertamakalinya. Muslim itu bernama Abdul Mun’im, ia berasal dari Thailand.

“Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah,” kata Jamilah.

Awalnya Jamilah mengaku merasa aneh ketika Mun’im selalu menyebut nama Tuhan. Sejak kecil ia diajarkan bahwa orang diluar penganut Kristen akan masuk neraka. Jamilah melihat Mun’im sebagai seorang yang santun dan baik, namun ketika itu ia sangat menyayangkan bahwa Mun’im termasuk orang yang akan masuk neraka karena Mun’im beragama Islam.

Sejak saat itu Jamilah bertekad untuk mengkristenkan Mun’im. Dalam upaya mengkristenkan Mun’im, Jamilah pun selalu mengundang Mun’im datang ke gereja. Namun betapa malu hatinya ketika Jamilah melihat Mun’im yang selalu datang ke gereja dengan membawa Al-Quran.

Usai kebaktian, Jamilah dan Mun’im selalu berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya mendengar istilah ‘Muslim’ dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Selama dua tahun, Jamilah tetap melakukan kontak dengan Mun’im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub International, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya.

Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era tahun ’70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.

Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta. Namun cuma satu semester Jamilah merasakan semangat belajarnya di seminari itu.

Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa.

Jamilah semakin kecewa ketika seorang profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitab bukan kitab suci yang sempurna, namun sebagai pendeta mereka tidak boleh mengungkapkan hal itu kepada para jamaah gereja.

Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta untuk menerima saja keyakinan itu.

Mengetahui kenyataan seperti itu, akhirnya jamilah memutuskan untuk meninggalkan seminari dan pulang ke rumah dan meluangkan waktu untuk mencari kebenaran.

Suatu hari Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan Al-Quran. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam Al-Quran. Ketika itu ia berpikir , sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan Al-Quran sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.

“Saya membaca Al-Quran dan mencari kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam Al-Quran. Namun saya sama sekali tidak menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca ayat-ayat Al-qur’an." Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam,” ujar Jamilah.

Jamilah memutuskan untuk kembali ke universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama. Disana ia banyak mendapat penjelasan dari teman-teman Muslimnya tentang berbagai keyakinan dalam Kristen. Selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha dengan tujuan ingin menemukan kebenaran.

Seiring berjalannya waktu, Jamilah merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat yang disaksikan oleh sejumlah jama’ah masjid.

“Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai,” tukas Jamilah.

Setelah menjadi seorang Muslim, awalnya Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika ia ingin mengenakan jilbab.

Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee.

Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika.(dm)

Buku tulisan Jamilah Kolocotronis :
http://www.amazon.com/Jamilah-Kolocotronis/e/B001JS3UZ4
http://www.islamicbookstore.com/b9710.html

Biografi Jamilah Kolocotronis :
http://en.wikipedia.org/wiki/Jamilah_Kolocotronis

Sumber: islampos.com

Subhanallah..
Semakin banyak para pendeta yang mendapatkan hidayah,,