expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

28/08/2020

ANIES - LUHUT SATU HATI?


Anies Baswedan dan Luhut Binsar Pandjaitan (Foto: Kumparan)

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meyebut bakal melibatkan aparat penegak hukum dalam menindak pasien Covid-19 yang menolak dikarantina terpusat. Di saat yang sama, Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah bakal memaksimalkan peran TNI-Polri dalam mendisiplinkan masyarakat. Apa yang dapat dimaknai dari kekompakan Anies dan Luhut ini?


PinterPolitik.com

Siapa yang tak tahu trilogi The Maze Runner, film yang diangkat dari novel karya James Dashner ini muncul hampir bersamaan dengan tetralogi The Hunger Games dan Trilogi Divergent Series saat film-film bergenre dystopian science fiction mendominasi layar lebar sepanjang 2012-2016 lalu.

Film ini menceritakan keadaan dunia di tengah wabah penyakit akibat anomali pada matahari yang menghanguskan bumi. Wabah penyakit yang disebut The Flare ini menyerang otak dan membuat penderitanya bertingkah seperti zombie pemakan manusia.

Di tengah kekacauan ini, sekelompok ilmuwan yang menamakan diri World In Catastrophe: Killzone Experiment Department atau W.I.C.K.E.D melakukan percobaan untuk menemukan obat terhadap wabah The Flare. Eksperimen ini dilakukan dengan mengisolasi orang-orang yang dianggap kebal terhadap wabah di tengah labirin yang penuh dengan bahaya dan tantangan. Para ilmuwan ini ingin mempelajari aktivitas otak mereka, berharap menemukan jawaban untuk menanggulangi wabah.

Strategi yang dilakukan W.I.C.K.E.D ini agakya menginsipirasi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam penerapan Pembatasan Sosisal Berskala Besar (PSBB) Jilid II. Kebalikan dari W.I.C.K.E.D yang mengisolasi orang-orang sehat, Anies justru memutuskan untuk mengisolasi semua pasien positif Covid-19 secara terpusat.

Dengan kata lain, Anies tak mengizinkan pasien Covid-19 untuk melakukan isolasi mandiri di rumah. Hal ini dilakukan karena mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu menduga bahwa isolasi mandiri merupakan biang yang menyebabkan munculnya klaster penyebaran virus dari rumah tangga.

Keputusan Anies yang menghapus isolasi mandiri sebenarnya dapat dimaknai sebagai langkah mitigasi di tengah pandemi. Namun yang membuat langkah Anies ini menimbulkan polemik adalah karena adanya wacana pelibatan para 'penegak hukum' untuk menjemput paksa pasien-pasien yang menolak dikarantina.

Meski Anies tak secara spesifik menjabarkan penegak hukum yang dimaksud, namun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) khawatir pelibatan aparat seperti TNI dalam penjemputan paksa Covid-19 dapat memunculkan tindakan yang intimidatif.

Tak lama setelah itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan menyebut pengetatan PSBB hingga sepuluh kali lipat sekalipun tak akan berguna tanpa adanya kedisiplinan warga. Untuk itu dia menegaskan pemerintah akan memaksimalkan peran TNI-Polri dalam penegakan disiplin protokol kesehatan.

Meski terlihat saling silang pendapat, namun sikap Anies dan pernyataan Luhut ini sebenarnya mengindikasikan adanya kekompakan di antara mereka, yaitu sama-sama ingin melakukan pendekatan yang lebih represif dalam menangani pandemi Covid-19.

Pendekatan represif di tengah krisis sebenarnya banyak diterapkan di sejumlah negara di dunia. Salah satunya Vietnam. Meski korelasinya masih bisa diperdebatkan, namun faktanya negeri Naga Biru itu relatif mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 dengan memaksimalkan pelibatan aparat keamanan.

Lantas pertayaannya, akankah pendekatan yang sama akan efektif jika diterapkan di Indonesia?

Bencana dan Represi

Bencana, seperti pandemi, seringkali menimbulkan kerugian yang besar dan tidak terduga bagi negara-negara yang rentan. Bencana juga dapat memperburuk hubungan antara negara dan masyarakat, dan memengaruhi proses politik dalam negeri.

Ketika hubungan dengan masyarakat memburuk, rasionalnya negara akan kesulitan melakukan pendekatan persuasif dalam penanganan bencana. Oleh karena itu, di tengah situasi seperti ini, sejumlah negara memutuskan menggunakan pendekatan yang lebih represif.

Reed M Wood dan Thorin M Wright dalam tulisan mereka yang berjudul Responding to Catastrophe: Repression Dynamics following Rapidonset Natural Disasters mengatakan bahwa penggunaan pendekatan represif oleh negara saat bencana alam dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor yang saling berkaitan.

Pertama, bencana sering kali meningkatkan ketidakpuasan dan memperburuk ketegangan yang ada antara negara dan masyarakat. Kedua, bencana membebani kemampuan pemerintah untuk mengkalkulasi potensi ancaman dan melakukan kontrol yang efektif atas penduduk di daerah yang terkena dampak.

Meningkatnya ketidakpuasan masyarakat dan penurunan kontrol menimbulkan ketidakstabilan terhadap kekuasaan negara. Ketika ketidakstabilan ini terus meningkat, otoritas negara meresponsnya dengan cenderung menggunakan kekerasan koersif dalam upaya untuk melakukan kontrol.

Akan tetapi, pendekatan represif sekalipun dalam penanganan bencana tetap membutuhkan landasan hukum yang tepat. Tanpa adanya landasan hukum, setiap tindakan represif yang dilakukan negara berpotensi menimbulkan resistensi yang justru dapat memperburuk keadaan.

Terkait dengan hal ini, Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku mereka yang berjudul Law and Society in Transition membagi hukum dalam tiga klasifikasi, yaitu hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif.

Terlihat jelas dari namanya, pendekatan represif tentu membutuhkan landasan hukum yang represif pula. Nonet dan Selznick menyebut klasifikasi hukum jenis ini menghendaki adanya tertib hukum dengan sejumlah ciri. Pertama, pengadilan dan aparat hukum adalah instrumen penguasa yang mudah diatur. Kedua, institusi hukum melayani negara.

Ketiga, tujuan utama hukum adalah ketertiban umum. Keempat, Institusi-institusi hukum mempunyai sedikit sumber daya lain selain kekuatan pemaksa negara. Kelima, aturan hukum memberikan corak otoritas pada kekuasaan, tapi penggunaan aturan tersebut disesuaikan dengan kriteria kelayakan politik.

Hadirnya ciri-ciri penegakan hukum yang represif dapat dengan mudah diterawang dalam penanganan pandemi di Vietnam. Christina Farr dalam laporannya untuk CNBC menjabarkan sejumlah kunci keberhasilan Vietnam dalam mengendalikan pandemi, salah satunya dengan menerapkan contact tracing yang agresif dan karantina wilayah yang ketat.

Namun begitu, sejumlah organisasi masyarakat seperti Human Rights Watch mengkritik penanganan pandemi Vietnam. Mereka menyebut upaya pemerintah dalam memberlakukan karantina wilayah dan pembatasan sosial sangat berlebihan. Mereka khawatir sisi buruk dari penanganan pandemi yang represif tak pernah tersorot oleh  media karena publik terlalu takut mengkritik pemerintah.

Di sisi lain, sebagian orang berpendapat bahwa masyarakat Vietnam telah terbiasa dengan penegakan hukum represif. Christina menduga sebagian masyarakat mungkin tak keberatan mengorbankan kebebasan individu demi keamanan bersama selama pandemi. Hal ini sangatlah mencerminkan sistem hukum represif yang mengutamakan ketertiban umum di atas segalanya sebagaimana diungkapkan Nonet dan Selznick sebelumnya.

Melengkapi pendapat tersebut, Bill Hayton dan Tro Ly Ngheo dalam tulisan mereka untuk Foreign Policy menyebut pelibatan maksimal dari aparat penegak hukum termasuk tentara dalam penanganan pandemi di Vietnam memungkinkan dilakukan karena negara ini menganut sistem satu partai. Hal ini membuat sumber daya penegak hukum hanyalah kekuasaan negara, sehingga penguasa bisa dengan mudah mengatur aparat hukum.

Meski kesuksesan Vietnam dalam penanganan pandemi memang tak terbantahkan. Akan tetapi, Bill menyebut strategi tersebut akan sangat sulit diterapkan di negara lain. Lantas dengan mempertimbangkan adanya perbedaan sistem hukum, mungkinkah penanganan pandemi yang represif ala Vietnam bisa diterapkan di Indonesia?

Sumber : https://www.pinterpolitik.com/anies-luhut-satu-hati