expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

22/12/2019

MENCELA AGAMA ISLAM KARENA MARAH, SALAH UCAP ATAU TIDAK SENGAJA


Tidak diragukan lagi istihza’ (menghina) agama Islam, menghina Allâh Azza wa Jalla , menghina Rasûlullâh, menghina al-Qur’an atau syari’at Islam adalah perbuatan dosa besar yang bisa menyeret pelakunya menjadi kafir dan dihukumi murtad. Namun, bagaimana jika ucapan penghinaan itu terucapkan dalam kondisi sangat marah atau terlontar karena salah ucap atau tidak bermaksud menghina? Apakah tetap dihukumi murtad?

Berikut kami bawakan jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas.
ISTIHZA DALAM KEADAAN MARAH
Jika ucapan penghinaan itu terucapkan dalam kondisi sangat marah sehingga membuatnya tidak menyadari ucapannya bahkan tidak menyadari dimana dia sedang berada, maka ketika itu ucapannya tidak berkonsekuensi hukum. Orang ini tidak dijatuhi vonis murtad atau kafir. Karena ucapan itu terlontar begitu saja, tanpa ia sadari dan tanpa ada kesengajaan untuk mengucapkannya. Semua ucapan yang terlontar begitu saja tanpa diawali dengan keinginan dan kesengajaan, maka Allâh Azza wa Jalla tidak akan menyiksa orang yang berucap dengan sebab ucapannya itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Allâh tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allâh menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun [Al-Baqarah/2:225]
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ
Allâh tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja (QS. Al-Maidah/5:89)
Namun, jika seseorang merasa dirinya sudah mulai emosi dan marah, seyogyanya dia segera menurunkan tensi amarahnya dengan wasiat Rasûlullâh n ketika ada seseorang yang berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Berilah wasiat kepadaku!” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَغْضَبْ
Janganlah kamu marah!
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi beberapa kali, “Janganlah kamu marah!”
Hendaklah dia menjaga dirinya, dengan memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla dari segala bisikan syaitan yang terkutuk. Jika dia emosi dalam keadaan berdiri, segeralah duduk. Jika dia dalam posisi duduk, hendaklah segera berbaring. Jika emosi kian membara, lawanlah dengan berwudhu’.
Langkah-langkah di atas bisa menghilang kemarahan dari seseorang. Jika tidak, penyesalanlah yang akan menghampiri. Betapa banyak orang yang didera rasa sesal yang begitu mendalam setelah melampiaskan emosi.
Semoga kita semua senantiasa dalam perlindungan Allâh Azza wa Jalla .
ISTIHZA TANPA TUJUAN MENCELA ATAU ISTIHZA KARENA SALAH UCAP
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya tentang orang yang tidak sengaja mencela agama atau salah ucap, antara hati dan lidahnya berbeda, beliau t menjelaskan, “orang yang mencela agama maka dia telah kafir, baik dia benar-benar memang sengaja mencela ataupun hanya sekedar untuk bergurau, kendatipun dia masih menganggap dirinya seoang Mukmin. Sejatinya dia sudah bukan Mukmin lagi. Bagaimana dia mengaku beriman kepada Allâh Azza wa Jalla , kitab-Nya, rasul-Nya dan agama-Nya sementara ia melakukan celaan terhadap agama-Nya?
Bagaimana dia mengaku beriman, sementara lisannya mencela agama yang Allâh Azza wa Jalla jelaskan dalam firman-Nya:
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [Al-Mâidah/5:3]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman tentang Islam ini:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali Imrân/3:85]
Juga berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allâh hanyalah Islam. [Ali Imrân/3:19]
Orang yang sengaja mengucapkan kata celaan terhadap agama ini, baik dia bersungguh-sungguh untuk mencela ataupun sekedar untuk bersenda gurau, maka dia telah kafir, keluar dari agama Islam. Dia wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla .
Alhamdulillah, agama ini telah sempurna, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [Al-Maidah/5:3]
Agama ini juga merupakan karunia teragung dari Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla di atas.
Jika ada seseorang yang mencelanya, meskipun sekedar bergurau, maka dia dihukumi kafir. Dia wajib bertaubat, menarik diri dari semua yang dia perbuat dan kembali mengagungkan agama ini dalam hatinya, sehingga dia beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengannya dan tunduk kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjalankan syari’at agama ini.
Adapun mengenai orang yang salah ucap (sabqun lisan), misalnya, dia ingin memuji agama ini, tapi dia salah ucap, justru yang terucap kalimat celaan, maka orang yang seperti ini tidak hukumi kafir. Karena dia tidak sengaja mengucapkan celaan itu, berbeda dengan orang yang sengaja mengucapkan kalimat celaan, meskipun untuk tujuan bergurau. Orang yang sengaja berucap ini sudah ada niatan dalam hatinya untuk mengucapkannya, sehingga hukumnya disamakan dengan orang yang memang benar-benar mencela. Sedangkan yang tidak sengaja berucap, tidak terbetik dalam hatinya untuk mengucapkannya, sehingga ketika terucap kata celaan, maka celaan itu tidak membahayakannya.
Dalam hadits shahih dijelaskan tentang sebuah kisah:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
Sungguh Allâh Azza wa Jalla lebih bahagia dengan taubat seorang hamba ketika dia bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla  dibandingkan kebahagiaan yang dirasakan oleh seseorang yang sedang berada disebuah tanah tandus gurun, lalu hewan tunggangannya itu hilang, padahal bekal makanan dan minumannya berada pada hewan tersebut. Akhirnya ia berputus asa. Lalu dia mendatangi sebatang pohon, dia berbaring dibawah bayangan pohon tersebut dalam keadaan putus asa. Ketika dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba hewan tunggangannya yang carinya itu ada didekatnya. Melihatnya, dia bergegas memegang tali kekang hewan tunggangannya itu kemudian karena sangat bahagianya, dia mengatakan, “Wahai Allâh! Engkaulah hambaku dan akulah Rabbku.” Dia salah ucap karena saking gembiranya.[1]
Orang ini tidak disiksa, karena ucapan yang terlontar tidak sengaja diucapkan, terlontar begitu saja karena terlalu gembira. Ucapan seperti ini tidak membahayakan orang yang mengucapkannya.
Kita harus membedakan antara sengaja atau tidak sengaja mengucapkan dengan sengaja atau tidak sengaja menghina. Karena dalam masalah ini, para pencela itu terbagi menjadi tiga tingkatan:
  1. Orang yang sengaja mengucapkan dan sengaja mencela. Ini dia berarti benar-benar mencela, sebagaimana celaan yang dilakukan para musuh Islam terhadap Islam.
  2. Orang yang sengaja mengucapkan kalimat celaan tapi tidak bermaksud mencela, misalnya untuk tujuan candaan, bukan bermaksud mencela. Orang seperti ini hukumnya sama dengan orang yang pertama. Dia dihukumi kafir, karena apa yang dia lakukan itu adalah penghinaan dan celaan.
  3. Orang yang tidak sengaja mengucapkan kalimat celaan, apalagi bermaksud mencela. Celaan yang keluar dari mulutnya, terlontar begitu saja, tanpa ada niatan mencela sama sekali. Orang yang seperti inilah yang tidak akan disiksa karena ucapannya yang terlontar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Allâh tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allâh menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun [Al-Baqarah/2:225]
TAUBAT ORANG YANG MELAKUKAN PENCELAAN
Perbuatan istihzâ’ (pencelaan) terhadap agama Allâh Azza wa Jalla , atau mencela Allâh dan Rasul-Nya atau mencela dua-duanya adalah perbuatan kufur yang menyebabkan pelaku murtad (keluar dari agama Islam). Namun meski demikian, kesempatan bertaubat tetap terbuka bagi orang yang melakukan penistaan tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Az-Zumar/39:53]
Jika seseorang yang telah melakukan perbuatan apa saja yang bisa menyebabkan dia murtad lalu dia bertaubat dengan taubat nasuha yang memenuhi lima syarat, maka taubatnya akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla .
Lima syarat taubat itu adalah:
Pertama; Ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dalam taubatnya.
Maksudnya, yang mendorong dia untuk bertaubat itu bukan riya’ (supaya dilihat orang), sum’ah (supaya didengar orang), bukan pula karena takut kepada makhluk ataupun mengharapkan dunia. Jika dia mengikhlas taubatnya untuk Allâh Azza wa Jalla dan yang mendorongnya untuk bertaubat adalah ketakwaannya kepada Allâh Azza wa Jalla , takut terhadap siksa-Nya dan keinginan untuk meraih pahala dari-Nya, itu berarti dia benar-benar telah ikhlas.
Kedua; Menyesali perbuatan dosa yang telah dia lakukan.
Dia mendapati rasa sesal dan perasaan sedih yang mendalam atas perbuatan buruk yang telah dia lakukan dan menganggapnya sebagai sebagai kesalahan besar yang harus dia singkirkan dari dirinya.
Ketiga; Berhenti dari perbuatan dosa, yaitu dengan tidak melanjutkan perbuatan dosa tersebut.
  • Jika perbuatan dosa itu berupa perbuatan meninggalkan kewajiban, maka dia harus bergegas melakukan kewajiban tersebut dan berusaha mengganti yang telah lewat, jika memungkinkan.
  • Jika perbuatan dosa itu berupa melakukan perbuatan yang diharamkan, maka dia harus berhenti dan menjauhkan diri darinya.
  • Jika perbuatan dosa itu terkait dengan hak sesama manusia, maka dia harus menunaikan hak itu atau meminta kerelaan orang yang memiliki hak itu untuk menghalalkannya.
Keempat; Bertekad kuat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu di masa-masa yang akan datang.
Kelima; Taubat itu dilakukan saat pintu taubat masih terbuka. Jika pintu taubat sudah tertutup, artinya masanya sudah terlewatkan, maka taubatnya tidak akan diterima. Tertutupnya pintu taubat itu ada dua; ada yang bersifat umum dan bersifat khusus.
Yang bersifat umum yaitu ketika matahari terbit dari arah barat. Ketika itu terjadi, maka taubat dari siapapun tidak akan diterima. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan Malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Rabbmu atau kedatangan beberapa ayat Rabbmu (beberapa tanda kedatangan hari kiamat). Pada hari datangnya ayat (tanda kiamat itu) dari Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. [Al-‘An’am/6:158]
Sedangkan yang bersifat khusus yaitu ketika ajal telah datang. Ketika kematian (sekaratul maut) mendatangi seseorang, maka taubatnya ketika itu tidak bermanfaat sama sekali. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Dan tidaklah taubat itu diterima oleh Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’ dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. [An-Nisa’/4:18]
Menurut syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah , sesungguhnya jika seseorang bertaubat dari dosa apa saja, meskipun itu dosa akibat mencela agama, maka taubat akan diterima, jika telah memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas.
Semoga bermanfaat
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]